(Dari lagu Tanah Papua cipt. Frangky Sailatua)
Pada Hari Raya Santo Fransiskus Asisi, Duta Damai, aparat keamanan di Wamena telah melakukan untuk kesekian kalinya pembunuhan terhadap warga masyarakat Papua. Kiranya kita semua sudah mendapat informasi lengkap dan obyektif mengenai kejadian tersebut. Tanah Papua telah berulang-ulang kali diproklamasikan sebagai Tanah Damai yang harus diindahkan dan dipertahankan baik oleh masyarakat biasa maupun oleh para pemimpinnya. Meskipun demikian, peristiwa di Wamena pada tanggal 4 Oktober 2010 tersebut bisa terjadi lagi di masa mendatang sebagai akibat dari suatu kebijakan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya yang sadar atau tidak, sengaja atau tidak, menciptakan dan memelihara suatu potensi konflik yang seharusnya tidak ada. Saya menjelaskan pernyataan di atas ini sebagai berikut:
Di zaman Orde Baru ruang gerak masyarakat, dan kebebasan untuk mengungkapkan aspirasinya sangat dikontrol dan dibatasi. Hal itu dialami pula oleh masyarakat adat Papua. Salah satu produk dari Orde Baru adalah: Lembaga Musyawarah Adat (LMA) sebagai satu-satunya wadah, yang menghimpun masyarakat adat serta aspirasinya. Tetapi oleh karena LMA ber-plat merah, maka melalui wadah itu Pemerintah lebih mengatur masyarakat adat dari atas daripada mendengarkan aspirasi mereka yang datang dari bawah. Dengan demikian kebudayaan dan adat Papua dalam prakteknya hampir tidak dihargai dan diakui oleh Pemerintah, malah sering justru dinilai sebagai bersifat separatis. Padahal kalau dikatakan bahwa Indonesia tidak lengkap tanpa Papua maka kebudayaan Indonesia juga tidak akan lengkap tanpa kebudayaan Papua.
Dengan pemberian Otonomi Khusus (Otsus), Pemerintah mengizinkan masyarakat adat Papua untuk memperjuangkan jati diri dan hak-hak dasar mereka serta mengembangkan potensinya sebagai mitra Pemerintah secara dewasa dan otonom. Maka pada awal masa Otsus, Presidium Dewan Papua (PDP) telah membentuk suatu wadah baru yaitu Dewan Adat Papua (DAP) dengan jaringannya di semua wilayah, daerah, suku, sub-suku dan klen. Dewan Adat adalah pemilik, pewaris dan pemelihara Tanah Papua dan segala kekayaannya, khususnya adat dan kebudayaannya. Dengan adanya Dewan Adat sebenarnya LMA tidak diperlukan lagi dan lebih baik dibubarkan saja. Pada waktu DAP didirikan pada tahun 2002, alm. Bapak Theys H. Eluay menjabat sebagai ketua LMA tingkat Provinsi Papua dan ia langsung meleburkan LMA ke dalam wadah baru, DAP, secara resmi baik dengan Surat Keputusan maupun dengan upacara adat di pendopo kediamannya. Tetapi bagaimana kenyataannya sekarang?
Di Kabupaten Biak misalnya, dan juga di sejumlah kabupaten lain, tidak ada LMA lagi melainkan DAP yang diakui, dihormati dan didengar oleh Pemerintah Daerah. DAP itu mendapat bantuan berupa fasilitas dan dana, termasuk sebuah kantor representatif di mana masyarakat adat Biak dapat berkumpul untuk membicarakan segala sesuatu berkaitan dengan adat mereka dan menkomunikasikannya dengan Pemerintah Daerah tersebut. Bahkan Dewan Adat itu mempunyai pengadilan adat yang memutuskan kasus-kasus yang tidak sesuai dengan adat mereka, karena hukum adat pada prinsipnya diakui dan dihormati oleh Pemerintah Kabupaten. Melalui wadah baru ini Dewan Adat di Biak merupakan organisasi pendukung kuat program Pemerintah Kabupaten namun kadang-kadang juga mengambil sikap kritis, yang mana merupakan dinamika demokrasi. Maka di Biak tidak ada dualisme yang dapat memecahbelahkan atau mempertentangkan masyarakat dengan masyarakat atau dengan Pemerintah.
Di Kabupaten Jayawijaya dan di daerah Pegunungan tengah pada umumnya (mungkin juga di beberapa kabupaten lain) situasinya lain sekali. Disini hanya LMA-lah yang diakui dan dimanja sebagai anak bangsa yang manis. Di daerah pegunungan ternyata Orde Baru untuk sebagian masih dipertahankan. Pada bulan Desember 2010 ini rencananya akan diresmikan kantor LMA di Wamena, yang didirikan atas bantuan dana Pemerintah Daerah. Acara itu pasti akan dihadiri oleh semua instansi Pemerintah, Gereja dlsb. Tetapi kita dapat mempertanyakan apa yang dapat dibuat oleh LMA bagi masyarakat adat, selain melaksanakan perintah-perintah dari atas? Sebaliknya Dewan Adat Wilayah La-Pago, yang sementara ini berpusat di Kabupaten Jayawijaya, meskipun tidak dilarang namun juga tidak diakui dan tidak diberikan bantuan, malah DAP sering dicurigai dan dituduh sebagai berbau separatis. Menurut pengamatan kami selama ini apabila DAP Balim mengadakan suatu acara, pihak Pemerintah dan LMA tidak hadir kecuali beberapa anggota intel dan keamanan yang hadir secara tersembunyi. Dewan Adat Wilayah Balim Lapago memiliki sebuah honai tradisional sebagai kantor dan program kerjanya mengandung suatu potensi besar dan positif untuk mendukung program pembangunan Pemerintah Kabupaten.
Namun karena tidak diakui keberadaannya, tidak dilihat potensi positifnya dan tidak juga dihargai sebagai mitra Pemerintah, bahkan sebaliknya dicurigai, maka DAP menjadi terpojokkan dan dianggap sebagai lawan Pemerintah. Situasi ini berpotensi besar untuk menjadi konflik vertikal antara DAP dan Pemerintah, maupun horisontal antara masyarakat dan masyarakat. Bukti nyata adalah tertembaknya Opinus Tabuni pada tanggal 8 Agustus 2008 di Wamena dan tertembaknya Ismail Lokobal pada tanggal 4 Oktober 2010. Penembakan yang kedua ini berawal dengan curigaan berlebihan terhadap suatu kiriman dengan pesawat udara bagi Dewan Adat serta penyitaannya oleh pihak kepolisian (KP3) atas permintaan pihak TNI. Hal tersebut menyebabkan rasa jengkel pada sejumlah anggota Penjaga Tanah Papua (PETAPA) yang kemudian melempari kantor KP3 Bandar Udara. Mereka bubar setelah penembakan peringatan oleh pihak aparat namun mereka dikejar dan ditembaki dengan peluru tajam kaya gerombolan separatis atau teroris kelas kakap. Satu orang menjadi korban penembakan brutal itu. Banyak Kepala Suku dan masyarakat biasa menjadi bingung dan takut, karena mereka dikelompokkan dan dinilai sebagai pro-Pemerintah dan pro-integrasi di satu pihak atau pro-seperatisme di lain pihak. Apakah situasi ini justru diharapkan dan dipertahankan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang kalau Tanah Papua merupakan Tanah Damai? Siapa dapat menjawab pertanyaan ini?
Pertanyaan lain ialah: apakah benar kalau Dewan Adat disamakan dengan separatisme? Belum tentu! Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus lebih dahulu mengakui dengan jujur, bahwa aspirasi M ada di masyarakat Papua, tak terkecuali di kalangan para pegawai negeri maupun di umat beragama dan di mana-mana. Aspirasi itu tidak dapat disalurkan melalui LMA, sebagai wadah milik Pemerintah, tetapi hal itu tidak berarti bahwa aspirasi itu tidak ada dalam tubuh LMA, meskipun ada beberapa anggotanya termasuk Barisan Merah P:utih. Sebaliknya dalam DAP sebagai wadah murni masyarakat adat, aspirasi itu kadang-kadang disuarakan dengan lantang. Biar keluhan-keluhan didengar daripada ditutupi. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa DAP sendiri harus dituduh sebagai berbau separatisme. Stigmatisasi seperti itu adalah tidak adil dan tidak tepat.
Masyarakat non-Papua pada umumnya tidak melibatkan diri dalam problematik masyarakat Papua dan mengambil jarak dari mereka, mungkin karena takut. Posisi mereka memang agak sulit namun dengan mengambil sikap netral atau abstain, mereka memberi kesan sebagai tidak peduli dan tidak bersimpati dengan masyarakat asli Papua. Hal itu merupakan hambatan bagi integrasi. Tetapi bagaimana sikap gereja, para petugas pastoral, para pastor dan pendeta, kaum religius, termasuk para pengikut Sang Duta Damai, Santo Fransiskus? Masyarakat adat Papua, baik dalam LMA maupun dalam DAP adalah masyarakat dan umat kita, kita kan berada di Tanah Papua. Kita tidak boleh mengambil jarak dari problematik dan perjuangan mereka untuk mempertahankan jati diri dan hak-hak dasar mereka. Cobalah kita memperlihatkan keprihatinan serta simpati kita bagi mereka secara terang-terangan. Memang kita tidak dapat mengubah suatu kebijaksanaan dari Pemerintah tetapi kita boleh mengungkapkan harapan kita agar Dewan Adat diakui dan dihargai. Ini bukan soal politik melainkan soal keadilan sosial. Kita berwajib karena panggilan kita untuk memperjuangkan Tanah Papua sebagai Tanah Damai dengan melepaskan stigmatisasi dan curigaan terhadap masyarakat Papua dan dengan melawan segala usaha dari pihak-pihak tertentu untuk menciptakan atau mempertahankan benih-benih konflik antara mereka dengan Pemerintah atau antara mereka sendiri. Kita harus berani untuk mengangkat hal ini di mimbar gereja, agar juga umat kita dengan lebih sungguh merangkul masyarakat Papua, menyatu dengan mereka dan turut merasakan kegembiraan maupun penderitaan mereka: bagaimana pun, mereka tetap saudara dan saudari kita. Biar kita menjadi sedikit hitam dan kriting, black is beautiful. Dengan demikian kita dapat memberikan suatu sumbangan besar bagi integrasi Papua dengan Indonesia maupun Indonesia dengan Papua.
Pastor Frans Lieshout OFM Wamena, 8 Oktober 2010
Discussion about this post