Penyerangan terhadap sipil, tembak pesawat sipil atau membakar fasilitas pendidikan yang akhir2 ini terjadi di Yahukimo membingungkan banyak pihak. Pertanyaan besarnya: siapakah pelakunya. Kebanyakan informasi menyudutkan TPNPB.
Jika benar dilakukan TPNPB, maka sungguh sangat disayangkan. Perjuangan TPNPB adalah perjuangan bersenjata untuk merebut kedaulatan yang telah dirampas penjajah. Dengan mengangkat senjata, maka jelas lawannya adalah kelompok bersenjata penjajah.
Kalau yang diserang adalah masyarakat sipil, apa bedanya dengan kelakuan aparat bersenjata milik penjajah?
Sudah menjadi rahasia umum kalau aparat bersenjata penguasa menembak warga sipil Papua. Mereka juga membakar rumah warga.
Namun terhadap fasilitas umum seperti sekolah atau kantor, mereka tidak akan bermain kasar. Mereka bisa juga membakarnya atau merusaknya, tetapi sejauh itu tersembunyi atau agar bisa menuduh dan menyudutkan TPNPB.
Jika tembak warga sipil, mereka akan beralasan itu bagian dari TPNPB atau karena melawan. Namun ketika bakar sekolah, mereka harus bisa mempengaruhi publik bahwa itu dilakukan oleh TPNPB.
Apakah penjajah senang kalau layanan pendidikan, kesehatan dll berjalan baik di Papua? Tidak!!! Mereka justeru menginginkan agar layanan publik itu buruk agar rakyat Papua tidak terdidik atau tidak mendapatkan layanan kesehatan yang baik.
Karena itu, penjajah tidak pernah peduli kalau puluhan tahun banyak sekolah di Papua tidak aktif. Mereka tidak peduli, sekolah di Papua banyak yang tidak ada aktivitas karena guru tidak ada. Mereka senang-senang saja kalau ada ribuan hingga puluhan ribu anak tidak sekolah tiap tahunnya.
Penjajah semakin senang karena terhadap kondisi itu, yang bisa disalahkan adalah pemerintah daerah, yaitu orang Papua sendiri. Masyarakat Internasional sulit untuk menekan penjajah karena ada UU Otsus yang memberikan kewenangan kepada pemerintah di Papua (walaupun OTSUS sesungguhnya hanya nama, kekuasaan masih tetap dipegang Jakarta).
Mereka pun tertawa gembira karena yang jadi kepala sekolah adalah putra-putri asli Papua, anak kampung/distrik tempat sekolah itu berada. Guru-guru juga sebagian besar anak asli kampung/distrik tersebut.
Demikian juga dengan kesehatan. Banyak puskesmas tidak aktif. Tenaga kurang dan juga malas ke pos-pos. Siapa kepala puskesmas atau kepala pustu? Anak asli setempat.
Jangankan di pedalaman, coba perhatikan kinerja berbagai dinas di kota. Berapa banyak yang aktif tiap hari, berapa banyak dinas yang bekerja bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat? Lalu siapa pegawainya? Banyak orang asli.
Atau mari kita pergi ke rumah para wakil rakyat. Adakah orang di sana yang betul jadi wakil rakyat. Pernahkah mereka bekerja memikirkan masalah rakyat, berjuang untuk rakyat? Berapa sering kantornya dibuka? Lalu siapa saja yang jadi wakil rakyat? Semuanya putra asli.
Terhadap kondisi ini, apakah pernah aparat melakukan penyelidikan? Mereka sibuk tertawa girang karena semuanya tidak berjalan. Padahal kalau mau diusut, ada banyak sekali orang yang dipenjara atau dipecat karena korupsi dan tidak melaksanakan tugasnya hingga berbulan-bulan bahkan tahun.
Para pejabat atau pegawai yang tidak menjalankan tugasnya dan membiarkan rakyat tidak mendapatkan pelayanan adalah bagian dari penjajahan. Sebab tidak ada penjajahan yang menginginkan rakyat tanah jajahan mendapatkan pelayanan akan hak-haknya.
Maka ketika TPNPB membakar sekolah, alangkah bahagianya penjajah. Mereka akan tersenyum bahagia karena semakin banyak anak-anak Papua yang tidak bisa sekolah.
Alasan untuk guru-guru tidak mengajar, petugas kesehatan tidak melayani di puskesmas dan pegawai tidak bekerja sudah diberikan oleh tindakan seperti itu. Siapa yang rugi? Masyarakat Papua sendiri yang rugi.
Hormati Setiap Perjuangan
Perjuangan untuk merebut kemerdekaan di Papua ini sangatlah berat. Terlalu banyak kepentingan negara-negara besar di Papua. Mereka ingin agar kepentingan mereka di Papua tetap terjaga. Maka negara-negara besar dengan kepentingan di Papua akan selalu menutup mata terhadap persoalan Papua.
Tetapi itu bukan hal yang tidak mungkin diubah. Negara-negara besar dan dunia internasional akan bangkit untuk ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Papua.
Hal itu hanya mungkin kalau Bangsa Papua berjuang membangun solidaritas yang besar, solidaritas internasional. Namun untuk bisa membangun solidaritas internasional itu, mulailah dari dalam negeri sendiri yaitu solidaritas sesama bangsa Papua.
Jangan mimpi masyarakat di negara lain mau dukung Papua kalau orang Papua sendiri tidak bersatu. Bagaimana kita bisa mempengaruhi masyarakat internasional kalau untuk mempengaruhi orang Papua sendiri masih sulit. Bahkan yang terjadi di Papua justeru saling bermusuhan antara sesama anak Papua, bermusuhan antara sesama pejuang atau tidak ada komunikasi baik antara sesama pejuang sehingga semua terkesan berjalan masing-masing, sendirian.
Selama masih jalan masing-masing, kemerdekaan itu masih jauh digapai.
Kemerdekaan suatu negara bukan hanya dengan klaim bahwa sudah merdeka, bahkan bukan juga dengan menang perang dan menguasai wilayah negara, tetapi mesti dengan pengakuan internasional.
Tetapi bagaimana dunia internasional mau mengakui kalau di tanah Papua sendiri tidak ada persatuan? Para pejuang hanya mau menang sendiri.
Karena itu mulailah dengan membangun kesadaran bersama bahwa bangsa ini sedang dijajah bukan saja secara langsung oleh Indonesia tetapi juga melalui anak-anak Papua sendiri.
Bangsa Papua butuh perjuangan bersama dengan berbagai bentuk dan cara. Dan setiap perjuangan itu, sekecil apa pun mestinya dihargai dan dihormati. Tidak ada bentuk perjuangan yang lebih besar atau lebih mulia dari perjuangan lainnya. Perjuangan dengan mengangkat senjata sama berharganya dengan perjuangan diplomatik, sama mulianya dengan perjuangan advokasi HAM, sama pentingnya dengan perjuangan masyarakat kecil yang mengurus anaknya dengan baik. Perjuangan seperti mama-mama yang bekerja di kebun untuk kehidupan keluarga, perjuangan anak-anak sekolah yang belajar, atau perjuangan para aktivis sipil untuk membangun kesadaran bersama, semuanya penting dan mestinya dihormati.
Kalau ada orang yang menganggap bahwa dirinya jauh lebih penting dari perjuangan orang lain, maka yakinlah kemerdekaan itu masih jauh. Itu adalah virus yang akan menghancurkan harapan akan kemerdekaan.
Maka mulailah menghargai perjuangan sekecil apa pun itu. Ingan seorang pemimpin besar sekalipun tidak akan mampu berjuang kalau tidak ada orang yang memastikan bahwa makanan ada dan aman dari racun.
Saling menghargai dan bangun solidaritas jadi kunci. Solidaritas bukan lagi hanya sesama Papua tetapi mesti semakin mempengaruhi masyarakat dari negara penjajah. Selama ini, tidak sedikit pula masyarakat Indonesia yang berjuang dan bahkan menempatkan diri dalam resiko besar karena membela dan mendukung kemerdekaan Papua.
Adanya orang Indonesia yang sejalan dengan keinginan bangsa Papua itu, bukan muncul dengan sendirinya tetapi dengan membangun solidaritas. Bangsa Papua butuh solidaritas bangsa Indonesia untuk menekan pemerintahnya. Kalau saat ini masih sedikit saja orang Indonesia yang dukung Papua, itu karena mayoritas bangsa Indonesia masih belum tahu, belum sadar dan belum yakin bahwa Papua dijajah. Maka tugas bangsa Papua juga untuk menyadarkan mereka.
Tetapi bagaimana kesadaran dan solidaritas bangsa Indonesia dan dunia internasional itu terbangun kalau yang mereka dengar atau baca atau nonton adalah tentang serangan terhadap sipil, penembakan pesawat sipil atau pembakaran sekolah?
Manfaatkan Fasilitas Penjajah Untuk Perjuangan
Aksi penyerangan terhadap masyarakat sipil, membakar sekolah atau fasilitas publik atau menembak pesawat sipil tidak ada keuntungan sedikitpun untuk perjuangan kemerdekaan. Malahan membawa banyak kerugian bagi bangsa Papua.
Pertama, perjuangan Papua mendapatkan sorotan negatif. Dunia internasional tidak pernah setuju dengan serangan seperti itu.
Kedua, menyebabkan kurangnya orang bersolidaritas dengan perjuangan bangsa Papua
Tiga, masyarakat Papua sendiri semakin rugi karena kurangnya pendidikan bagi generasi penerus.
Empat, solidaritas internal di Papua pun melemah.
Kelima, Aksi bakar sekolah dll adalah alasan yang kuat untuk makin banyak aparat didatangkan. Selain itu, kaki tangan penjajah di Papua senang karena akan ada proyek pembangunan yang menguntungkan mereka.
Daripada merusak itu semua, mengapa tidak memanfaatkan fasilitas dari penjajah untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua?
Manfaatkan sekolah-sekolah yang ada untuk mendorong anak-anak Papua mendapatkan pendidikan yang baik. Untuk itu, jangan pernah diam kalau sekolah tidak aktif. Paksa pemerintah daerah untuk hadirkan guru. Pastikan bahwa guru-guru itu mengajar setiap hari sekolah.
Siapkan anak-anak Papua yang berpengetahuan, kritis dan militan untuk berjuang dalam berbagai level. Jangan lagi ada anak-anak Papua yang tidak sekolah tetapi dapat ijazah. Pastikan itu tidak terjadi.
Bangun solidaritas di setiap kampung untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan pendidikan. Lalu siapkan orang untuk membangun kesadaran kritis tentang kondisi keterjajahan dan mengapa orang Papua mesti berjuang.
Namun untuk bisa seperti itu, maka perlu ada jaminan keamanan terhadap para guru dan juga tenaga kesehatan di pos-pos. Meskipun mereka adalah orang Indonesia, yakinlah bahwa ketika mereka bersedia mengajar anak-anak Papua di pedalaman, maka mereka tanpa sadar sedang mendukung pejuang kemerdekaan Papua. Tentu dengan syarat bahwa pendidikan itu tidak 100% tugas guru. Pendidikan ideologi tetap jadi tanggung jawab masyarakat Papua sendiri. Kecuali guru yang sudah sadar akan penjajahan Papua, dia akan dengan sendirinya ikut mengajarkan pentingnya perjuangan Papua.
Manfaatkan juga layanan kesehatan dengan baik. Jangan biarkan puskesmas tidak aktif. Tuntut pemerintah untuk hadirkan tenaga kesehatan. Kalau takut tenaga kesehatan dari bangsa Indonesia akan meracuni atau membunuh, maka siapkan tenaga orang Papua sendiri. Untuk itu butuh pendidikan.
“Barangsiapa Tidak Melawan Kita, Ia ada di Pihak Kita,” (Markus 9:40)
Catatan Seorang Pendatang