dr. Rony Oagay, melayani psien di Palu
Palu, nokenwene.com – Perjalanan jauh telah Rony Oagay tempuh dari Wamena Papua menuju Palu di Sulawesi Tengah. Lebih dari tujuh jam perjalanan pesawat, telah dilaluinya pada Jumat, 23 November 2018. Sebagai seorang dokter, Rony terpanggil untuk menjadi relawan pascabencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Palu, Sigi dan Donggala. Rony, yang merupakan putra asli suku Dani dari lembah Baliem pegunungan Jayawijaya, bergabung dengan Yayasan Kemah Peduli untuk bisa mewujudkan niatnya itu.
Bersama Yayasan Kemah Peduli, dr. Rony telah pergi ke puluhan tempat pengungsian di Palu, Sigi dan Donggala. Diantaranya, dirinya pergi ke desa Bora dan Birumalu. Disana dr. Rony memberikan pelayanan kesehatan bagi para pengungsi. Dia banyak menemui pengungsi, terutama para ibu yang menderita sakit, seperti: diare dan tensi yang naik.
Namun, ada juga pengungsi yang sakitnya sulit ditangani. Sakitnya sudah lama, tetapi tidak cepat diobati. Seperti yang dialami seorang ibu di pengungsian desa Bora. Ibu tersebut menderita kista sehingga menyebabkan perutnya bengkak dan tidak bisa berjalan lagi. “Sungguh kasihan, karena kami juga tidak bisa tangani di lapangan karena keterbatasan alat medis dan obat. Untuk itu, kami merujuk ibu tersebut untuk segera dibawa ke rumah sakit,” ujar dr. Rony.
Mengenai penyakit-penyakit yang sering dirinya temui di tempat pengungsian, dr. Rony menemukan beberapa pengungsi mengalami ISPA atau infeksi saluran pernafasan akut dan diare. Selain itu, persoalan kekurangtersediaan kamar mandi dan kakus juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan karena ini berkaitan erat dengan tingkat kesehatan warga di pengungsian.
Menurut dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih Jayapura Papua tahun 2013 ini, penting bagi pemerintah pusat maupun provinsi, khususnya Dinas Kesehatan untuk memastikan ketersediaan obat yang cukup dalam situasi pascabencana seperti ini, terutama untuk Rumah Sakit dan Puskesmas dan juga bagi para relawan tenaga kesehatan yang akan melakukan pengobatan di tempat-tempat pengungsian.
“Kami, para relawan kesehatan terhalang dengan stok obat yang kurang. Mungkin Dinas Kesehatan bisa bantu kami, Mungkin juga ada jalur khusus bagi relawan untuk dapat lebih mudah mengakses obat. Ketika kami melakukan pelayanan tetapi tanpa obat, sulit buat kami untuk melakukan pengobatan di lapangan. Obat yang harus selalu tersedia itu cukup obat-obatan ringan saja tidak apa-apa, seperti: obat rawat luka, obat batuk pilek, obat cacing, dan lain lain,” tutur dr. Rony.
“Tidak mungkin kami dari Papua membawa obat sampai kesini. Itu timbangannya berat,” lanjutnya berkelakar.
Pengalaman pertama
Meski sudah berpengalaman memberikan pelayanan kesehatan ke daerah-daerah pedalaman dan sulit dijangkau di tanah Papua, tetapi menjadi relawan untuk wilayah yang baru saja mengalami bencana alam, ini merupakan pengalaman dr. Rony yang pertama. Banyak hal menarik dan berkesan baginya selama berada di Palu dan sekitarnya ini.
“Kami senang sekali karena disini kami bisa melayani kawan-kawan dari suku lainnya di Indonesia yang berbeda bahasa dan budaya dengan kami orang Papua. Disini juga kami bisa belajar tanpa memandang ras, suku dan agama karena kami juga datang ke Palu untuk membantu,” tutur dr. Rony.
Masyarakat di pengungsian juga antusias, ramah dan sangat menghormatinya. Mereka senang menerima para relawan, terutama saat mengetahui bahwa dirinya seorang dokter dari tanah Papua.
“Ketika kami datang ke tempat pengungsian di desa-desa, kami selalu disambut hangat dan bahkan disediakan makan. Ketika mereka senang, kami juga gembira. Sebab, itulah tujuan kami agar mereka bisa tertawa juga bersama kami dan melupakan sejenak peristiwa bencana yang telah mereka alami,” lanjut dr. Rony.
Mengenai Yayasan Kemah Peduli, ini merupakan yayasan yang relawannya terdiri dari hampir seluruh wilayah di Indonesia. Selain dari Papua, juga ada relawan yang berasal dari Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
Kepada Yayasan Kemah Peduli, dr. Rony juga menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk bisa menjadi relawan di Palu hingga 15 Desemer 2018 nanti, saat dirinya harus kembali ke bumi Cendrawasih, Papua.
Menurut dr. Rony, motivasinya datang ke Palu ini untuk saling menolong sesama saudara setanah air yang sedang mengalami musibah. Namanya bencana, lanjut pria kelahiran tahun 1986 ini, bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Karena itu, butuh banyak orang untuk membangun kembali kerusakan akibat bencana terutama trauma psikis pascabencana.
“Bisa saja suatu saat bencana terjadi di Papua, dan kami juga butuh bantuan dan para relawan seperti kami saat ini. Kami juga bersyukur dengan wadah Yayasan Kemah Peduli yang bisa menyatukan kami dari berbagai pelosok Indonesia untuk dapat menolong saudara-saudara kami disini,” ujarnya.
Dirinya juga berharap masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya Palu, Sigi dan Donggala tetap semangat dan bangkit lagi dalam membangun kembali wilayah tempat tinggal mereka.
“Pace-mace, adik-kaka dorang semua, kita datang dan mari sama-sama bangun kembali Palu dengan semangat. Tanpa kalian semangat, para relawan juga tidak akan semangat. Jika kalian semangat, pasti relawan juga akan lebih semangat lagi untuk membantu. Seperti semboyan dalam bahasa suku asli saya, suku Dani: Yogotak hubuluk motok honorogo, hari esok harus lebih baik lagi dari hari ini,” begitu harapannya.
* Penulis & Editor: Firmansyah MS
* Tulisan ini sebelumnya terbit di Kabar Sulteng Bangkit, dan atas persetujuan penulis diterbitkan di nokenwene.com
Discussion about this post