Pohon plastik menjadi heboh baru-baru ini. Beberapa pihak menganggap ini hal remeh temeh dibandingkan persoalan lain nan besar di Indonesia. Namun karena pohon plastic tersebut ditanam di Jakarta, maka ia pun menjadi bahan pembicaraan dan ramai diberitakan media-media di Indonesia dibandingkan manusia Papua yang terus kehilangan nyawanya karena kekerasan Negara atau ketiadaan petugas kesehatan atau pelayanan kesehatan di kampung-kampung.
Pohon plastik tersebut menghabiskan anggaran sebesar Rp 8 M namun dianggap hanya menghabiskan anggaran dan minim manfaat malah mencaplok sebagian hak pejalan kaki. Anggaran Negara pun banyak dihabiskan untuk menggaji oknum-oknum alat Negara yang melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM. Demikian pun miliaran rupiah setiap tahunnya habis untuk menggaji para petugas kesehatan yang tidak menjalankan tugasnya dengan alasan tempat tugasnya sulit diakses. Namun karena pohon plastik tersebut ditanam di Jakarta, maka seluruh energi Negara ini diarahkan ke persoalan pohon plastik tersebut. Sedikit sekali yang peduli terhadap kemanusiaan rakyat Papua yang terus dilanggar.
Tentang pohon, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan mengeluarkan data deforestasi di Indonesia dalam periode 2016-2017 sebesar 495.370 hektar. Angka ini sangat besar meski diungkapkan juga bahwa terjadi penurunan dibandingkan periode tahun sebelumnya. Deforestasi periode sebelumnya adalah sebesar 630.000 hektar (dikutip dari mongabay.co.id).
Papua kini menjadi tempat perusahaan tambang dan sawit melakukan alih fungsi hutan menjadi lahat tambang dan perkebunan sawit. Selain perusahaan, Negara pun turut serta berperan dalam alih fungsi hutan dengan menjadikan jutaan hektar hutan menjadi areal persawahan di Merauke.
Sebagaimana pohon plastik yang ditanam pemerintah DKI Jakarta dipandang sebagai cara menambah keindahan Jakarta yang makin gerah akibat kehilangan pohon-pohon hidup dan polusi udara yang luar biasa, alih fungsi hutan di berbagai daerah di Indonesia pun dipandang perlu oleh pemerintah. Izinan untuk pertambangan atau sawit dilihat sebagai sumber pendapatan Negara. Sementara lahan sawah adalah cara membangun ketahanan pangan nasional.
Namun Negara tak peduli bahwa ada masyarakat pemilik hutan tersebut yang sejak dulu menggantungkan hidupnya pada hutan tersebut. Di Papua, hutan sagu dan tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan sumber kehidupan masyarakat Papua dihacurkan. Rakyat Papua pun terpaksa mulai beralih mengkonsumsi beras. Padahal sejak dahulu kala makanan pokok masyarakat Papua adalah sagu dan ubi. Dan perubahan makanan bagi masyarakat Papua adalah ancaman tersendiri atas kelangsungan hidup masyarakat Papua itu sendiri.
Tak banyak orang yang peduli terhadap jutaan hektar hutan tersebut dibandingkan pohon plastik dengan anggaran Rp 8 Miliar di Jakarta. Tak banyak orang yang peduli dengan kehidupan masyarakat pemilik hak ulayat hutan yang dihancurkan tersebut. Padahal hutan adalah hidup dan mati bagi masyarakat pemilik hutan.
Bisa jadi, pohon plastik yang menjadi heboh tersebut adalah awal dari kepedulian masyarakat Indonesia terhadap hutan-hutan di berbagai tempat di Indonesia yang sedang dirusakkan dengan tujuan mendatangkan pendapatan bagi Negara. Sebab hutan-hutan itu adalah kehidupan bagi masyarakat pemiliknya.
Semoga saja masyarakat Indonesia yang ramai membicarakan pohon plastik tersebut tidak ikut menjadi seperti plastik yang bisa berubah sehingga perusakan hutan yang makin menjadi-jadi atau kekerasan hingga kealpaan petugas kesehatan yang menyebabkan hilangnya masyarakat Papua pun menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Artinya jika pohon plastik itu begitu penting untuk dibahas dan diliput media hingga berhari-hari, penghancuran hutan dan kehidupan masyarakat pemilik hutan serta pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Papua mestinya lebih mendapat perhatian.
Discussion about this post