
Tahun ini, genap 17 tahun tragedi Wasior Berdarah. Pada 13 Juni 2001 tersebut, kita mengenangkan tragedi kemanusiaan yang kesekian kalinya terjadi di Papua. Empat orang masyarakat sipil dibunuh, Lima orang hilang, satu orang diperkosa dan Tiga Puluh Sembilan orang lainnya disiksa dalam tragedi tersebut.
17 Tahun tragedi kemanusiaan tanpa kepastian hukum adalah suatu tragedi baru. Bukan hanya Wasior, ada tragedi kemanusiaan lainnya yang terus berulang tahun. Di Indonesia sendiri ada berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang juga terus berulang tahun namun belum ada kepastian hukum dan keadilan bagi korban pelanggaran HAM.
Sudah ratusan kali para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta aktivis melakukan aksi Kamisan di depan Istana Presiden, namun belum ada jawaban Negara atas tuntutan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Sementara pelanggaran HAM terus saja terjadi. Papua menjadi wilayah yang masih sering jatuh korban pelanggaran HAM.
Terkait pelanggaran HAM di Papua, presiden ganti presiden pun tak ada yang mampu menyelesaikan satu pun kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Bahkan baru beberapa bulan Jokowi dilantik menjadi presiden Indonesia, pada 8 Desember 2014 empat pelajar di Enarotali-Paniai Papua kembali menjadi korban pelanggaran HAM.
Pada perayaan natal 2014 di stadion Mandala, Jokowi berjanji menuntaskan pelanggaran HAM di Papua khususnya pelanggaran HAM besar termasuk peristiwa Enarotali. Melalui Menkopolhukam saat itu, Luhut Binsar Panjaitan, negara membentuk sebuah tim untuk penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM di Papua, beberapa kasus pelanggaran HAM besar didaftar untuk diselesaikan. Dalamnya ada kasus Wasior Berdarah, Wamena Berdarah, dan Enarotali (Paniai Berdarah).
Dibentuk pada tahun 2016, tim terpadu penyelesaian pelanggaran HAM tersebut redup setelah kurang lebih setahun berjalan. Kini dengung penyelesaian pelanggaran HAM di Papua pun tak terdengar lagi. Hingga di ujung masa kepemimpinan Jokowi sebagai presiden Indonesia, kasus pelanggaran HAM yang disebutkan tak kunjung dituntaskan. Padahal, penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah salah satu janji Jokowi sendiri.
17 tahun kasus Wasior menjadi catatan penting untuk direfleksikan. Ini hanya satu dari sekian banyak kasus yang bisa disebut. Sebagai sebuah Negara yang telah meratifikasi sekian banyak kovenan HAM PBB, pembiaran atas kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi adalah satu masalah sendiri.
Apakah Negara ini masih memiliki komitmen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM? Kita bisa dengan mudah menemukan dokumen-dokumen tentang komitmen Negara terhadap perlindungan HAM. Namun agaknya masih sulit bagi kita untuk melihat adanya aksi serius dari Negara ini untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Namun kita masih akan terus mendengar janji kampanye para calon presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Selain membohongi publik, janji-janji penyelesaian pelanggaran HAM tanpa ada proses hukum yang memberikan keadilan bagi para korban berarti kembali melukai para korban dan keluarganya.
Di Papua, lebih menyakitkan lagi ketika Negara malah memberikan kenaikan jabatan bagi mereka yang diduga bahkan telah dihukum karena menjadi pelaku pembunuhan bagi masyarakat Papua.
Telah 17 tahun kasus pelanggaran HAM Berat Wasior terjadi. Hingga kini, belum ada kejelasan penyelesaiannya. Namun, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM seperti kasus Wasior itu seringkali menjadi janji kampanye serta bahan lobi internasional tentang komitmen Indonesia atas penghargaan HAM. Sampai kapan para korban pelanggaran HAM menanti komitmen itu? Tak ada garansi untuk itu selama Negara ini masih terus mengglorifikasi para pelaku pelanggaran HAM sebagai pahlawan atau dengan berbagai promosi jabatan.
Discussion about this post