
Oleh: Florianus Geong
Kegelisahan tampak jelas dari wajah seorang pria paruh baya ketika Diakon Damian Uropmabin Pr bertanya. Wajahnya yang ceriah berubah murung. Matanya berkaca-kaca. Bukan apa-apa, pertanyaan sederhana Diakon Daniel seperti memukulnya tepat di ulu hati.
“Bagaimana pendidikan anak-anak Nopase (bapak)?” pertanyaan Diakon Damian yang mengubah kecerahan di wajah Emanuel Esema.
“Sudah bertahun-tahun anak-anak kami di sini tidak sekolah Nopase. Kami tidak tahu lagi bagaimana anak-anak kami selanjutnya. Anak saya seharusnya sudah kelas VI tapi hingga sekarang belum bisa baca tulis dengan baik”, cerita Emanuel Esema, salah satu Kepala Suku di Haleroma distrik Samenage.
“Sejak awal Pater John Djonga datang ke Samenage ini, Pater selalu beritahu kondisi pendidikan dan kesehatan di sini kepada bupati Yahukimo, tapi hanya bulan Januari 2015 setelah Natal 2014 Pater lapor ke bupati baru seorang mantri datang. Itu pun tidak lama, hanya sebulan di sini lalu kembali ke kota.” sambung Jhon Esema yang berjalan di samping kanan Emanuel.
Pembicaraan itu pun terputus saat ketiganya menginjakkan kaki di pintu gereja sementara kabut mulai menyelimuti Samenage pada pukul 10 pagi itu. Di dalamnya umat sudah berkumpul, duduk rapi di atas rumput yang menjadi lantai Gereja Stasi St. Stefanus Haleroma tersebut. Anak-anak duduk berbaris di bagian depan, sementara di belakangnya mama-mama Papua dengan noken menggantung di kepala duduk berbaris dengan bapak-bapak. Hari itu, hari Minggu Paskah, umat gereja Katolik dari 6 Kampung di distrik Samenage berkumpul merayakan Paskah di pusat Stasi.
Kesederhanaan begitu kental terasa. Tak ada aroma parfum, baju pun seadanya tanpa disetrika. Beberapa bapak berusia 60 an dengan pakaian aslinya, koteka, duduk bersila di antara umat lainnya. Dalam gereja ini semua orang sama, tak ada pejabat tak ada masyarakat. Semuanya sederajad di dalam gereja ini.
Misa pun berlangsung sederhana tanpa lagu Gregorian, yang ada hanyalah etai, lagu khas Pegunungan Tengah Papua yang dinyanyikan bersahut-sahutan. Kata “Alleluia” yang biasanya dinyanyikan dalam setiap gereja saat Paskah pun tak terdengar kecuali dalam doa.
Dengan terbata-terbata, seorang Wenewolok atau Katekis membacakan Bacaan dari Kitab Suci untuk direnungkan bersama. Semua umat hening. Dalam pengumuman sebelum misa berakhir, Jhon Esema mengundang orang-orang tua untuk berkumpul berdiskusi dengan staf Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP) yang datang bersama Diakon untuk memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang ada di Samenage.
Sementara beberapa orang mendapat pengobatan dari suster Geno Wetipo, belasan orang tua-tua duduk menanti giliran diobati sambil berdiskusi. Masing-masing orang menumpahkan segala persoalannya, mulai dari anak-anak yang meninggal karena tidak diobati, masalah petugas kesehatan yang tidak ada hingga soal anak sekolah yang bertahun-tahun tidak ke sekolah.
“Apa yang bisa dibuat oleh orangtua-orangtua di sini?” tanya Naomi Kwambre, seorang staf YTHP.
“Soal kesehatan, kami hanya bisa harapkan kader yang ada di sini. Namun kader juga hanya bisa beri kami obat kalau Pater bawa obat banyak. Sedangkan untuk pendidikan anak-anak, kami minta Pater untuk usahakan guru untuk kami karena hanya wenewolok yang bisa baca tulis di sini itupun tidak lancar.” ungkap Dan Esema seorang Wenewolok.
Diskusi itupun berlangsung lama hingga diputuskan agar wenewolok mulai mengajar anak-anak SD untuk sementara sambil Pater dan YTHP mencari guru yang bersedia menetap di Samenage. Orangtua murid diminta untuk mengumpulkan uang atau hipere (ubi jalar) seadanya untuk diberikan kepada wenewolok yang mengajar.
Hari itu, Hari Minggu Paskah 2015. Diskusi hanya berlangsung sehari itu saja. Namun anak-anak yang mendengar informasi itu sangat gembira. Sambil berjalan menuruni dan mendaki bukit menghantar Diakon dan staf YTHP ke bandara, anak-anak mengharapkan agar Diakon dan staf YTHP mengupayakan perlengkapan sekolah.
Sambil memikul barang, anak-anak sekolah ini bercerita kalau sekarang hampir semua siswa tidak ada buku tulis dan balpoin apalagi buku bacaan.
“Kaka tolong bantu buku dan balpoin buat kami. Sudah dua tahun kami tidak ada buku dan balpoin. Nanti kalau ada orang Samenage yang turun ke Wamena bisa titip lewat mereka” Ungkap Merince Esema, siswa yang sudah dua tahun lebih tertahan di kelas 4 karena tidak ada kegiatan belajar mengajar.
Sebulan berlalu, informasi itu menyebar cepat. Manius Esema, putra Samenage yang tahun 2014 lalu menamatkan kuliah keguruan di Wamena memutuskan kembali ke kampung. Ia merasa terpanggil karena kasihan dengan adik-adiknya di Samenage. Baginya, meminta para wenewolok yang tidak memiliki dasar keguruan untuk mengajar tidak terlalu banyak membantu 242 siswa di SDK Haleroma Samenage.
“Ketika saya dengar bahwa Diakon dan YTHP meminta para wenewolok mengajar adik-adik saya untuk bisa baca tulis, saya sedih. Saya merasa harus kembali ke Samenage untuk mengajar adik-adik saya di sana. Bukan karena para wenewolok tidak bisa, tetapi juga karena para wenewolok hanya bisa mengajar baca tulis. Buku pelajaran sebagai panduan untuk guru sangat minim dan itupun buku keluaran bertahun-tahun lalu. Adik-adik saya tidak boleh hanya diajarkan baca tulis, mereka harus mendapatkan pelajaran sebagaimana seharusnya.” Ungkap Manius Esema ketika ditemui di Haleroma Desember 2015 lalu.
Sebulan setelah Manius Esma mulai mengajar, Yotham Asso, seorang guru PNS yang selama ini bertugas di Pasema datang ke Samenage. Ia baru saja diangkat menjadi kepala Sekolah SDI Haleroma. Selain itu, Melki Esema, seorang putra Samenage yang telah menamatkan SMA pun ikut mengajar. Kini ada tiga orang guru di sekolah ini, dua di antaranya adalah guru relawan yang tidak digaji.
“Saya ditugaskan di sini sejak bulan Juni 2015 lalu. Guru di SDK Haleroma ini hanya saya sendiri yang PNS. Saya dibantu oleh dua anak muda di sini. Namun kasihan mereka tidak ada gaji, jadi saya biasanya beri mereka uang apa adanya agar mereka bisa beli makan. Saya berharap agar pemerintah bisa menambah guru PNS di sini. Kalau dua guru relawan ini tidak ada pasti sekolah ini tidak bisa berjalan. Saya bersyukur orangtua-orangtua di sini mendukung penuh sekolah ini sehingga walaupun susah mereka bisa bantu kami para guru.” Ungkap Yotham Asso saat diwawancarai di Haleroma 6 Februari 2015 lalu.
“Anak-anak sekarang rajin datang ke sekolah meskipun setiap jam pelajaran hanya ada tiga kelas yang ada guru. Mereka yang tidak ada guru biasanya bermain bola di halaman sekolah atau membuat kerajinan tangan seperti gelang. Kondisi ini berubah sekali karena orangtua murid selalu mendorong anak-anak pergi ke sekolah.
Selain itu, para wenewolok dalam setiap kesempatan ibadah selalu mengingatkan baik anak-anak maupun orangtua agar rajin ke sekolah.” Tambah Manius Esema.
Mendengar kondisi ini, Naftali Yogi, Biro Kesra Provinsi Papua yang berkesempatan datang ke Samenage dalam rangka peresmian Kapela St. Stefanus Mukhe-Samenage menjelaskankan kepada masyarakat bahwa dirinya akan segera melapor ke Gubernur.
“Saya akan segera lapor ke Gubernur. Memang ini kelemahan pemerintah juga karena kondisi Samenage ini sangat sulit dan hanya bisa ditempu dengan pesawat kecil yang disewa 9 Juta Rupiah per flight. Namun kami akan bekerjasama dengan gereja agar pemerintah menyiapkan dana namun gereja yang mencari guru dan perawat untuk ditempatkan di sini. Gereja sangat berperan karena gereja ada di kampung-kampung termasuk yang sangat terisolasi” Ungkap Yogi dalam diskusi bersama masyarakat.
“Kami orangtua murid dan masyarakat di sini berharap agar apa yang sudah terjadi saat ini sejak diskusi paskah lalu bisa semakin baik. Kalau ada tambahan guru, kami yakin anak-anak kami yang masih susah baca tulis ini akan jauh lebih berkembang. Kalau pendidikan sudah bagus, generasi yang akan datang ini akan menjadi jauh lebih baik dari kami saat ini sehingga Samenage ini semakin berkembang. Kami punya harapan besar dengan perbaikan pendidikan di sini.” Ungkap Emanuel Esema saat menutup diskusi.
Discussion about this post