Dekai,nokenwene.com—Peresmian pembangunan smelter Freeport di Gresik Jawa Timur mulai menuai kontroversi. Aktivis Sonamappa, Pilipus Robaha mengungkapkan bahwa pembangunan Smelter Freeport di Gresik menunjukkan bagaimana watak kolonial terhadap Papua.
“Ini jelas menunjukkan watak kolonial terhadap Papua. Kita yang memiliki bahan tambangnya, tetapi pengelolaannya dibuat di luar Papua”, ungkap Robaha kepada nokenwene.com.
Menurutnya, pembangunan smelter di Gresik adalah bentuk sikap negara yang diskriminatif terhadap orang Papua. Negara hanya mau menghisap kekayaan dari Papua untuk kepentingannya.
Robaha menduga bahwa pembangunan Smelter di luar Papua adalah akibat deal politik dengan sejumlah elit politik di Papua yang menginginkan keberlanjutan otsus dan pemekaran wilayah.
“Keputusan pembangunan smelter itu patut diduga sebagai buah deal-deal politik Jakarta dengan politisi di Papua terkait otsus jilid II dan pemekaran provinsi serta kabupaten”, jelas Robaha.
Namun Robaha pun menegaskan bahwa itulah bentuk politik berwajah ganda yang dilakukan Jokowi. Ia datang di Papua seolah-olah dekat dan mendengarkan rakyat Papua. Namun sesungguhnya ia tidak mendengarkan suara orang Papua.
“Ini wajah ganda politik Jokowi di Papua. Seolah-olah dia baik dan mendengarkan orang Papua tetapi nyatanya tidak. Jadi orang-orang seperti Olvah Alhamid atau Ngabalin stop mengagungkan Jokowi yang penuh intrik politik”, jelasnya.
Pembangunan smelter Freeport di Gresik akan menghabiskan anggaran lebih dari Rp 40 T. Tenaga kerja yang akan direkrut mencapai 40,000 orang.
“Dalam masa konstruksi saja akan ada 40,000 tenaga kerja yang bisa bekerja. Artinya yang terbuka lapangan pekerjaan ini akan banyak sekali di kabupaten Gresik dan provinsi Jawa Timur, belum nanti kalau sudah beroperasi,” kata Jokowi saat peresmian pembangunan smelter.
Robaha menjelaskan bahwa pemberian kategori provinsi miskin tidak mempengaruhi kebijakan pemerintah. Papua selalu berada pada urutan provinsi termiskin, namun kebijakan pemerintah malah membuat Papua semakin miskin.
“Papua selalu jadi provinsi termiskin. Tetapi smelter yang bisa mendongkrak Papua malah dibangun di Jawa,” Tambah Robaha.
Menurutnya smelter terbesar di dunia itu ada karena Freeport mengeruk kekayaan alam Papua. Mestinya negara tidak menambah jurang kemiskinan dengan Papua.
“Dampak pembangunan smelter itu luar biasa. Jumlah tenaga kerja yang sangat besar akan mengurangi pengangguran di Papua. Sayangnya itu tidak dibangun di Papua,” keluh Robaha.
Akibat pembangunan smelter Freeport di luar Papua, orang Papua semakin sulit mendapatkan peluang kerja atas hasil tambang di Papua. Robaha pun menambahkan bahwa harga barang berbahan baku hasil tambang Papua pun akan tetap mahal bagi rakyat Papua.
“Smelter itu akan diikuti pembangunan pabrik-pabrik pengelolaan hasil tambang menjadi barang jadi. Nah, dampak bagi Papua nihil karena orang Papua harus tetap datangkan barang dari Jawa dengan harga mahal,” jelasnya.
Menurutnya, yang dilakukan negara ini justeru semakin memupuk keinginan bangsa Papua untuk merdeka. Baginya negara sedang memperjelas watak kolonialisme Indonesia terhadap orang Papua.
“Inilah watak kolonial. Mereka mengeruk kekayaan tanah Papua dan mengolahnya di luar Papua. Orang Papua tidak masuk dalam bahan pertimbangan keputusan itu. Tentu sangat menyakitkan hati orang Papua. Jadi jelas hal ini tidak menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua tetapi malah memupuk semangat perjuangan untuk merdeka,” tutup Robaha.(EG)