Oleh: Pilipus Robaha*
Mengapa kebanyakan masyarakat di Papua terutama orang asli Papua menolak vaksinasi virus corona? Jawaban atas pertanyaan ini tak sesulit upaya dari kartel-kartel biofarma berjuang menemukan vaksin untuk melawan pandemic mematikan yang diakibatkan virus corona Alpa dari Wuhan yang telah bermutasi menjadi varian Delta di India yang ternyata sudah masuk ke Papua. Simple saja untuk menemukan jawaban atas pertanyaan di atas tanpa energi atau tidak sesulit menjawab pertanyaan soal fisika.
Ketidakpercayaan public terhadap negara dan pemerintah serta pelayanan kesehatan adalah jawaban atas pertanyaan di atas. Ini terbaca sangat politis, tapi itu adalah faktanya. Fakta bahwa masyarakat Papua terutama orang asli Papua telah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan negara Indonesia dalam mengurus orang asli Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketidakpercayaan orang asli Papua terhadap pemerintah dan negara Indonesia dalam mengurus orang Papua telah menjadi darah dalam daging tiap orang Papua.
Ketidakpercayaan rakyat Papua yang telah mendarah daging secara jujur diakui oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe melalui hasil wawancara yang dilakukan tim Tempo pada 15 Desember 2015 di rumah dinas Gubernur di Angkawasa. Hasil wawancara tersebut dipublis pada 10 Januari 2016 di Tempo.co dengan judul “Gubernur Papua: Belum Ada Orang Papua Berjiwa Indonesia”. Judul yang sangat jujur ini menurut penulis merupakan kesimpulan dari jawaban Lukas Enembe atas pertanyaan berani dari sang wartawan.
“Kalau dibelah hati orang-orang Papua sekarang, kira-kira berapa persentase mereka dukung NKRI” tanya wartawan tempo. “Kalau dibelah sekarang hatinya, mereka akan bilang: saya mau merdeka, itu pasti akan bicara begitu” jawab Gubernur.
Selain ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan negara yang kemudian melahirkan keinginan merdeka dan membuat orang Papua enggan melakukan vaksinasi di bawah kekuasan pemerintahan Indonesia, orang asli Papua pun mengalami perasaan takut yang akut ketika bicara soal akses dan layanan kesehatan di rumah-rumah sakit yang ada di Papua. Baik pengalaman pribadi maupun kelompok (sanak saudara dari orang Papua) yang tidak puas bahkan kecewa terhadap layanan kesehatan di Papua mengkristalkan ketidakpercayaan dan ketakutan itu.
Perasaan tidak puas atas akses dan layanan kesehatan pada rumah sakit rujukan di Papua telah membentuk semacam konsensus kolektif bagi orang Papua, bahwa walau secara fisik rumah sakit semakin berkembang dibanding peninggalan kolonialisme Belanda, tetap saja rumah sakit yang dibangun Indonesia di Papua merupakan tempat transit orang Papua menuju rumah Bapa di Sorga. Perasaan ini cukup mendasar mengingat presentase kematian orang Papua sangat tinggi, terutama ibu melahirkan di rumah sakit lebih tinggi dibanding orang non-Papua, sebagaimana pernyataan kepala perwakilan UNICEF.
“Memang benar tingkat kematian ibu melahirkan di Papua masih lebih tinggi dibanding daerah lainnya di Indonesia…,” kata Trilaksono. Antara, Jayapura (12/2019).
Rumah sakit pun telah dianggap sebagai tempat untuk menekan laju jumlah penduduk Papua atau tempat terjadinya depopulasi orang Papua. Pendapat ini pun benar-benar telah menjadi kesepakatan bersama orang Papua tanpa sebuah sidang di kalangan orang Papua sehingga orang Papua takut pergi ke rumah sakit untuk di vaksinasi.
Berbeda dengan zaman penjajahan Belanda dulu, dimana campak dan kolera menjadi penyakit yang sangat mematikan tapi orang Papua dengan suka rela pergi ke rumah sakit untuk diobati, sesuatu yang berbeda dengan yang hari ini terjadi.
Hal di atas menurut hemat penulis, dipengaruhi oleh penilain orang Papua terhadap pemerintahan Belanda dan Indonesia. Orang Papua tidak melihat Belanda sebagai penjajah tapi peletak peradaban modern di Papua. Berbeda dengan penilaian orang Papua atas pendudukan Indonesia di Papua. Indonesia dianggap sebagai penjajah. Ini yang menjadi factor bawah sadar yang mempengaruhi orang Papua enggan ke rumah sakit untuk divaksinasi.
Apa lagi dengan viralnya penyampaian belasungkawa di media sosial terutama facebook dengan narasi vaksin ko jahat, membuat orang Papua semakin takut melakukan vaksinasi. Sudah begitu, penyampaian belasungkawa dengan narasi vaksin ko jahat tidak tanpa alasan. Namun sangat beralasan karena ada orang Papua yang terlihat sehat bugar tetapi beberapa hari setelah vaksinasi meninggal dunia. Kejadian orang Papua yang terlihat sehat bugar namun setelah menerima vaksinasi lalu meninggal ini pun tak mendapat penjelasan medis secara public dari pihak rumah sakit, padahal kasusnya sudah menyebar seperti penyebaran virus corona sendiri. Sehingga orang Papua semakin curiga dan takut pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan vaksinasi.
Yang menjadi pertanyaan serius lagi adalah; ini salah siapa, sampai rakyat Papua enggan atau takut untuk melakukan vaksinasi secara sadar dan penuh sukarela!? Padahal vaksinasi sangat penting untuk menciptakan kekebalan kelompok karena imun alami manusia berbeda-beda sehingga tidak dapat menciptakan kekebalan kelompok dalam waktu cepat.
Jawaban yang tepat atas pertanyaan siapa yang salah, bagi penulis adalah pemerintah dan kelompok oposisi. Bukan kesalahan masyarakat yang dituduh malas taati prokes dan tidak mau divaksinasi. Masyarakat dalam hal ini orang asli Papua yang enggan melakukan vaksinasi tidak bisa disalahkan walau pun alasan penolakan vaksinasi sangat politis. Kenapa? Karena pemerintahan di Papua sendiri, mulai dari tingkat pusat hingga daerah terutama pemerintah daerah Papua terlihat tidak serius dalam menangangi pandemic virus corona. Kecuali serius urus proyek PON.
Sementara kelompok oposisi (Gerakan sipil politik di Papua) mengalami dilema dalam mengambil sikap terkait vaksinasi, aman atau tidak. Sehingga Gerakan oposisi pun tidak membangun kesadaran rakyat dengan cara mereka terkait apa itu vaksin dan pentingnya vaksinasi. Padahal keduanya (penguasa dan oposisi) berpolitik atas nama rakyat, tapi rakyat terus mati di depan mata mereka yang seakan tertutup. Padahal sudah menjadi kewajiban moral (penguasa dan oposisi) untuk membangun kepercayaan diri masyarakat agar memahami apa itu vaksin dan pentingnya vaksin. Mengingat peluang di depan mata untuk melawan pandemic virus corona hari ini adalah vaksin, bukan vitamin.
Terlepas dari kelompok oposisi yang penulis maksudkan. Jika pemerintah di Papua serius dalam menangangi pandemic virus corona, maka pemerintah daerah akan menahan napsu mereka untuk melaksanakan Pekan Olaraga Nasional (PON) XX di Papua dan menghentikan mega proyek pembangunan lima kantor yakni; gedung MRP Papua, gedung Dinas Penataan Ruang (PUPR), gedung Badan Pengadaan Barang/Jasa (BPPB) Papua, gedung kantor KPU dan gedung kantor Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Papua yang tentunya akan menghabiskan dana triliunan rupiah di saat orang Papua lagi terancam pandemic virus corona. Dengan fasilitas kesahatan yang minim, tabung oksigen yang tidak mencukupi pasien covid-19 serta tenaga kesahatan yang terus gugur, pemerintah baik di Papua maupun pusat mesti menghentikan proyek PON dan berbagai pembangunan itu.
Sebaliknya jika pemerinah di Papua serius dalam menangani pandemic virus corona dengan kebijakan atau langkah medis yakni vaksinasi. Maka Gubernur Lukas Enembe segera menunda napsunya untuk maraup untung dari lima proyek yang sedang dicanangkan dan segera memfokuskan perhatian pemerintah terhadap perjuangan melawan pandemic virus corona melalui vaksinasi.
Dan juga sebagai Gubernur Papua, Lukas Enembe segera memerintahkan Yunus Wonda, Wakil Ketua DPR Propinsi yang juga adalah ketua PB PON Papua untuk menunda pelaksanaan PON sampai dengan presentasi vaksinasi di Papua mencapai standart atau target vaksinasi di seluruh tanah Papua.
Untuk bisa mencapai standar vaksinasi, maka hal utama yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Propinsi yang membidangi bidang promosi kesehatan masyarakat adalah segera melakukan sosialisasi apa itu vaksin dan pentingnya vaksinasi. Dan mereka yang melakukan sosialisasi tersebut haruslah mereka yang benar-benar memiliki kompetensi tentang vaksin yang digunakan dalam perang melawan virus corona dan efek sampingnya, agar masyarakat mendapat pemahaman yang baik. Dari kesadaran dari sosialisasi tersebut, masyarakat akan dengan sadar dan keberanian untuk melakukan vaksinasi. Dan untuk kegiatan vaksinasi bagi orang asli Papua bisa dilakukan di gereja-gereja mengingat orang Papua masih takut ke rumah sakit, tapi rindu ke gereja.
*Penulis adalah aktivis SONAMAPPA.