Wamena, nokenwene.com – Kualitas pendidikan dasar di sejumlah Kabupaten di Papua Pegunungan tidak sedang baik-baik. Itu bisa ditunjukan dengan adanya temuan siswa tamatan SD, SMP bahkan SMA yang belu bisa membaca, menulis dan berhitung atau Calistung.
Andri Kristian, salah seorang guru yang juga pemerhati pendidikan di Papua Pegunungan mengakui, situasi pendidikan di Papua Pegunungan tidak sedang baik-baik, masih banyak ditemukan lulusan SMA dan sarjana yang rata-rata belum bisa membaca dan menulis dengan baik dan benar,termasuk berhitung dasar juga masih rendah.
Katanya, rata-rata di pedalaman, baik SD maupun PAUD anak murid tidak mendapatkan pendidikan yang konsisten sesuai kalender akademis yang berjalan, terkadang satu semester hanya beberapa kali pertemuan saja atau satu sampai dua semester tanpa pertemuan sama sekali.
“Namun dapat nilai dan naik kelas. Jadi standar pendidikan beberapa tahun terakhir, mingkin satu dasawarsa terakhir itu sudah mengalami degradasi, menurun standardnya, walaupun ada kurikulum merdeka, namun kurikulum merdeka juga memiliki standard yang semuanya mungkin harus lulus ya, sehingga agak sulit diterapkan di papua sebenarnya” katanya di Wamena, senin (26/08/2024).
Andri Kristian yang sudah berada di Kabupaten Nduga pada tahun 2012 itu mengakui, sudah menemukan siswa SMA dan SMTK sederajat SMA di wilayah itu tidak bisa membaca, menulis dan berhitung atau Calistung.
“Khusus dalam bahasa Indonesia ya, kalo bahasa daerah di (Distrik) Mbua (Kabupaten) Nduga biasanya lancar, sejak tahun 2012 saya temukan itu” kata Kristian yang pernah mengajar di SMTK di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga.
Dengan kondisi demikian, maka siswa lulus SMA yang hendak melanjutkan pendidikan ke strata satu perlu dilakukan pelatihan terlebih dahulu selama satu atau dua tahun meski belum tentu maksimal .“ sering kali menulis satu kata saja keliru, padahal sudah lulus SMA” kata Kristian.
Kesalahan ini terjadi bukan karena factor siswa saja, tapi semua pihak baik pemerintah, guru, orang tua dan semua pihak. “Karena kita tidak terlalu peka, tidak terlalu peduli dengan masa depan generasi kita sehingga pendidikan menjadi abai. Kesalahan utama sebenarnya ada di pendidikan dasar, ini yang paling diabaikan” ungkap Andri.
Akibat dari pendidikan dasar yang lemah, anak-anak Papua yang lulus SMA akan mengalami berbagai kesulitan ketika hendak melanjutkan pendidikan di luar Papua. Calon mahasiswa dari Papua harus mati-matian belajar bahasa Indonesia, termasuk mental juga harus siap.
“Ada yang mengatakan, kualitas pendidikan SMA di Papua Pegunungan itu sama dengan SD kelas dua atau kelas tiga di Jakarta, Surabaya atau Medan, jadi kita bukan meremehkan tapi realitanya begitu” kata Andri Kristian.
Merujuk kondisi pendidikan yang kian berat dan dilema, Andri Kristian tidak tinggal diam, dari Distrik Mbua Kabupaten Nduga, ia lalu pindah ke Wamena Kabupaten Jayawijaya dan mulai merintis program pendidikan dan pelatihan pra kulia atau matrikulasi bagi siswa tamatan SMA sebelum melanjutkan pendidikan strata satu.
Melalui dukungan Yayasan Misi John Wesley Horse, Andri Kristian menghadirkan program matrikulasi pada tahun 2021 di Wamena. Latihan ini khusus bagi siswa yang memilki panggilan untuk menjadi guru pada sekolah dasar di Papua Pegunungan.
“Anak-anak Papua yang tamat SMA dipersiapkan di sini melalui matrikulasi, sedikit pelatihan untuk meneguhkan ketertinggalan belajar, belajar materi yang tertinggal di jenjang sebelumnya, kita latih lebih banyak mate-matika dan bahasa Indonesia. Ini khusus yang punya panggilan jadi guru SD, karena masalah besar di sini adalah pendidikan dasar” ujarnya.
Setelah dilatih selama satu tahun atau lebih (tergantung kesiapan siswa), selanjutnya para calon mahasiswa ini akan dikirim ke Universitas Quality Medan dan Universitas Quality Berastagi di Medan Sumatera Utara. Semua pembiayaa ditanggung oleh Yayasan Misi John Wesley Horse.
“Biaya kualia sampae dengan wisuda di tanggung Yayasan termasuk tiket ke medan dibiayai yayasan, dari 2021 hingga saat ini sudah 16 orang di kirim ke medan. Para siswa ini setelah tamat wajib pulang ke kampung halaman di Kabupaten masing-masing dan menjadi guru SD di sana” jelas Kristian yang diwawancarai di sebuah kamar kos berukuran sekitar 3 x 4 yang juga sebagai tempat matrikulasi dilakukan (*).