Wamena, nokenwene.com – Akademisi Lapago di Provinsi Papua Pegunungan menilai, kondisi pendidikan di Wilayah Papua Pegunungan tidak sedang baik – baik dan justeru memprihatinkan, pasalnya masih ditemukan mahasiswa yang masih belum bisa membaca dan menulis.
Hal tersebut disampaikan Marthen Medlama, S.Pd, M.Si, MTSOL salah seorang akademisi Lapago di Wamena, Provinsi Papua Pegunungan pada sesi talk show penjaringan aspirasi yang digelar Komunitas Analis Papua Strategis (APS), selasa (19/12/2023) di Wamena.
Situasi pendidikan kita di Papua Pegunungan ini ternyata sangat menyedihkan” Pertanyaan kita sama-sama sekarang apakah situasi pendidikan kita di Papua Pegunungan berjalan baik atau tidak? Kalo kita mau jujur, saya di perguruan tinggi, saya ketemu mahasiswa ada yang belum tahu tulis” kata Marthen Medlama ketua Stimik Agamua Wamena.
“Dan jujur saya anak Wamena ini kadang air mata jatuh. Saya suruh dosen-dosen saya untuk satu bulan ajar tulis dan membaca, jadi semacam materikulasi itu ada. Ini kit S1 suruh ajar membaca dan menulis ulang satu bulan. Kalo kita mau biarkan mereka trus mau kemana mereka, itu pertanyaan saya, jadi kita didik dulu baca dan tulis” katanya lagi.
Bertoalak dari kondisi itu, Marthen Medlama menyebutkan situasi Pendidikan di Papua Pegunungan sangat menyedihkan. Terdapat beberapa fakto penyebab pendidikan Papua Pegunungan memprihatinkan diantarahnya minimnya fasilitas pendidikan dan kualitas sekolah di setiap daerah.
“Ada perbedaan pendidikan di kota dan di daerah pinggiran. Penumpukan orang asli Papua itu terjadi di pinggiran bukan di kota, di kota itu kebanyakan teman-teman kita dari luar, mereka menerima pendidikan yang luar biasa baik karena gurunya lengkap tapi kita punya anakan-anak (OAP) ada di pinggiran kota dan kebetulan gurunya tidak ada sama sekali, kalopun ada mereka (guru) kembali ke kota lagi” katanya.
Factor lain buruknya pendidikan adalah, terjadinya kekurangan guru pada sejumlah fasilitas sekolah di daerah ini. Kata Medlama, banyak guru yang diangkat setiap penerimaan CPNS, formasinya selalu lebih besar namun para guru PNS itu tidak betah melaksanakan tugas di luar kota.
“Setelah penempatan sekolah di Distrik-distrik (luar kota) 1 tahun atau 6 bulan mereka pindah ke kota. Jadi saya mau bilang teman-teman ini datang hanya cari NIP saja setelah itu balik lagi pulang atau buka usaha” katanya.
“Banyak teman-teman guru tidak mampu bertahan lama di kampung. Tapi kalo yang dikirim oleh Pesat dan Indonesia Cerdas itu mereka stey di kampung, tapi kalau guru yang kita angkat jadi PNS tidak lama di kampung langsung masuk kota, ada yang buka kios di kota” jelasnya lagi.
Oleh karena itu, Marthen Medlama berharap melalui forum diskusi Talks Show yang digelar APS Papua hendaknya bersama-sama menemukan solusi atas masalah pendidikan yang terjadi di Provinsi Papua Pegunungan untuk kemudian menjadi rumusan bersama.(*)
Pewarta: Jurnalis Warga Noken Wamena*