Wamena, nokenwene.com – Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat di Tanah Air.
Peluncuran program tersebut diselenggarakan di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh pada Selasa, 27 Juni 2023 dan diikuti secara daring pada beberapa daerah di Indonesia termasuk Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Presiden Jokowi mengatakan, sebelumnya pemerintah telah memutuskan untuk menempuh penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat yang berfokus pada pemulihan hak-hak korban. Presiden pun bersyukur program pemulihan tersebut dapat mulai direalisasikan.

“Kita bersyukur alhamdulillah bisa mulai direalisasikan pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat di 12 peristiwa yang sekaligus menandai komitmen bersama untuk melakukan upaya-upaya pencegahan agar hal serupa tidak akan pernah terulang kembali di masa-masa yang akan datang,” kata Presiden yang disaksikan secara daring.
12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang disebutkan Jokowi itu, 2 diantarahnya terdapat di Papua yaitu, kasus Wasior Papua Barat dan kasus pembobolan gudang senjata di Wamena pada tahun 2003 silam. Kepala negara berkomitmen kasus-kasus tersebut diselesaikan secara non yudisial.
Kendati demikian, keluarga korban kasus Wamena menyatakan kecewa karena tidak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat dalam forum daring itu sebagaimana kesempatan yang diberikan kepada korban di daerah lain.
“Sasarannya itu korban dan keluarga korban, tapi kami keluarga korban sangat kecewa karena tadi kami tidak punya kesempatan, begitu masuk ke Manokwari (untuk kasus Wasior) tutup, itu selalu, selalu tidak bisa buka ruang untuk kami orang Papua” ungkap Linus Hiluka, koordinator keluarga korban peristiwa Wamena usai mengikuti peluncuran itu.
Kekecewaan Linus itu karena saat moderator memberikan kesempatan kepada keluarga korban HAM di Wasior untuk berkominikasi dengan Presiden tentang wacana penyelesaian non yudisial tersebut, tiba-tiba jaringan terganggu dan komunikasi tidak dapat dilanjutkan.
Dengan demikian, Linus Hiluka berpendapat, pemerintah tidak akan berani dan jujur untuk membuka kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
Linus menyatakan, ia bersama keluarga korban lain masih pada komitmen awal bahwa tidak akan menerima tawaran apapun dari pemerintah Republik Indonesia tentang penyelesaian kasus HAM.
“Tapi soal penyelesaian pelanggaran HAM non Yudisial kami tetap tolak. Yudisial pun kami sudah tolak” Tegas Linus.
Lanjut Linus Hiluka, untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Wamena yang sudah termasuk dalam 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia, pihaknya bersama kelaurga korban lainnya telah menyurat ke Presiden tentang prosedur yang harus ditempuh, maka penyelesaiannya harus berdasarkan permintaan korban.
“Buka ruang dialog prespektif HAM yang difasilitasi oleh dewan HAM PBB” ungkp Linus salah satu poin surat yang pernah ia sampaikan ke Presiden.
Tuntutan lainnya, keluarga korban mendesak Pemerintah Republik Indonesia mengijinkan komisi dewan HAM PBB dan jurnalis internasional untuk melakukan pemantauan kasus pelanggaran HAM berat Wamena dan kasus HAM lain di Papua.
“Itu saja, yang lain tidak, itu surat kami ke presiden tapi belum jawab, kalo belum jawab surat ini jangan masuk ke Papua” tegas mantan tahanan politik Papua itu.*
Pewarta: Iberanus Hilapok / Jurnalis Warga Noken Wamena*