Wamena, nokenwene.com – Tanpa di sadari, Pemerintah Republik Indonesia (RI) sedang mengakui dan membenarkan bahwa sejumlah persoalan yang terjadi di Papua bukan menuntut soal kesejahtraan dan pembangunan infrastruktur melainkan soal perjuangan hak politik untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa yang merdeka bagi bangsa Papua Barat.
Pengakuan itu sepertinya terlihat jelas, ketika Pemerintah Indonesia melalui kekuatan militernya TNI dan Polri dengan berseragam lengkap melakukan penangkapan terhadap warga sipil termasuk mahasiswa Papua yang hendak melakukan aksi demonstrasi dan akhirnya menjerat pasal maker.
Seperti hal yang terjadi terhadap tiga Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) yang hendak melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora pada tanggal 10 November 2022 yang kemudian Pengadilan Negeri Jayapura dalam sidang perdananya didakwa pasal makar.
Simion R.W.A Surabut, Menteri Sekretaris Parlemen pada Pemerintahan Sementara ULMWP, dalam rilis yang di terima media ini di Wamena, belum lama ini, mengatakan dakwaan pasal makar terhadap mahasiswa Papua atas nama; Ambrosius Elopere dan Devio Tekege oleh Pengadilan Negeri Jayapura itu, sama sekali tidak ada solusi domokratis bagi penyelesaian masalah.
Dikatakan dakwaan itu malah mengakui bahwa masalah West Papua adalah masalah pelanggaran hak Politik Bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri atau Merdeka.
“Pasal makar tersebut, justru akan membenarkan dan membuktikan bahwa masalah West Papua adalah masalah pelanggaran hak politik bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri, untuk itu segera bebaskan mahasiswa papua yang didakwa pasal makar,” tegas Simion.
Ambrosius Elopere dan Devio Tekege ditudu pasal makar oleh Jaksa Penuntut Umum, Pengadilan Negeri Jayapura dalam sidang perdana yang di laksanakan pada, Selasa, (4/4/2023).
Tuduhan pasal maka itu dikarenakan Ambrosius Elopere dan Devio Tekege bersama kawan – kawannya yang berjumlah 11 mahasiswa hendaka melakukan aksi damai mimbar bebas di halaman Kampus USTJ pada tanggal 10 November 2022, sambil mengibarkan bendera Bintang Kejora (BK).
“Aksi mimbar bebas ini kemudian ditanggapi dengan kekerasan aparat keamanan Indonesia. TNI dan Polri dengan berseragam lengkap masuk ke dalam kampus dan melakukan pembubaran paksa, menembakan gas air mata, menembakan peluru, melakukan pemukulan dan penangkapan terhadap para mahasiswa” Katanya.
Dikatakan, ada sekitar 11 orang mahasiswa ditangkap dan diperiksa. 8 mahasiswa lainnya dipulangkan, sedangkan 3 mahasiswa; yaitu Ernesto Yoseph Matuan, Devio Bastian Tekege dan Ambrosius Elopere ditahan dan dijerat pasal makar.
Aksi Mimbar bebas itu, dilalakukan dalam rangka memperingati 21 tahun penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh bangsa Papua, Dortehys Hiyo Eluay. Dalam aksi tersebut, mahasiswa Papua menuntut enam poin ;
Pertama, Kami meminta pengakuan dari semua pihak dan lebih khusus Negara Indonesia bahwa, tanggal 10 november adalah hari yang harus di peringati oleh seluruh rakyat bangsa Papua sebagai hari tokoh pejuang bangsa Papua.
Kedua, Kami dengan tegas menolak Negara Indonesia yang memaksa rakyat Papua untuk menerima DOB dan mekarkan tiga Propinsi secara sepihak dan melibatkan oknum orang Papua tertentu. Pada tanggal yang sama diisukan bahwa akan melantik Pjs di tiga Propinsi tersebut. Maka kami menialai, hal ini merupakan penghianatan Negara Indonesia terhadap Rakyat Papua.
tiga, Kami dengan tegas menolak Negara Indonesia melalui Komnas HAM RI yang melaksanakan dialog versinya Indonesia. Karena, Mana Mungkin “pelaku mengadili pelaku….???” ini sangat tidak masuk akal dan mustahil. Karena “Masalah Papua Bukan Masalah Nasional, tetapi masalah Papua menjadi masalah Internasional. Sehingga, harus di selesaikan pula dengan cara dan mekanisme Internasional.
keempat, Kami dengan tegas menolak keterlibatan beberapa oknum orang papua yang terlibat dalam dialog versi Indonesia melalui Komnas HAM RI.
Kelima, Kami meminta dan mendesak kepada Negara Indonesia untuk segera membuka akses bagi kunjungan Dewan HAM PBB ke West Papua.
Dan yang keenam, Kami mendesak kepada Indonesia dan PBB, segera berikan pengakuan “self determination fort West Papua”.
Terhitung, sejak 10 November 2022 hingga 3 April 2023, sudah 4 bulan tiga hari, Mahasiwa Papua ditahan atas tuduhan melakukan Makar. Alasan makar itu didasarkan pada spanduk dan pamphlet di mana ada motif Bintang Fajar, tulisan Self Determination for West Papua, Free West Papua, Referendum Yes dan Masalah Papua adalah Masalah Internasional.
“Oleh karena itu, kami segenam rakyat Bangsa Papua menyampaikan; satu, segera bebaskan Mahasiswa West Papua tanpa syarat. Dua, Indonesia segera membuka akses kunjungan Komisioner Tunggi HAM PBB ke West Papua. Dan yang ketiga, segera menggelar Referendum di West Papua sebagai Solusi Demokratis,”
Sementara itu, Chris Dogopia, melaporkan bahwa sidang perdana terhadap mahasiswa Papua pengibar fajar atau kejora (BK) di halaman Kampus USTJ pada tanggal 10 Nevember 2022 lalu, atas nama Ambrosius Elopere dan Devio Tekege berlangsung di Pengadilan Negeri Jayapura, Papua dan didakwa melakukan makar oleh Jaksa Penuntut umum (JPU).
“Dalam sidang perdana ini, JPU mendakwa Amrosius dan Devio dengan dakwaan pasal makar 162 KUHP, 110 KUHP Junto 55 KUHP. Dan alasan dakwaan itu tidak berbeda dengan Anesto Matuan, yaitu; membawa spanduk dan pamflet yang bertuliskan, self determination for West Papua, Referendum, free west papua, membentangkan bintang fajar, menolak dialog versi Komnas HAM RI, masalah Papua masalah Internasional,” jelas Dogopia dalam laporan tertulisnya.
Dalam laporan tambahan, pelapor khusus tahanan politik Mahasiswa Papua ini, menerangkan bahwa sejak dipidanahkan pada tanggal 11 Maret 2023 hingga 4 april 2023, suda 24 hari tiga tapol mahasiswa West Papua di tahan dan diisolasi di LP Abepura.
“Rencananya, sidang lanjutan akan dilaksanakan pada, Selasa 11 april 2023,” tutup Chris Dogopia.(*)
Pewarta: Jurnalis Warga Noken Wamena*