Oleh: Pato
Wajah Papua dalam bulan Agustus seringkali menjadi sesuatu yang aneh apalagi bagi orang non Papua yang baru pertama kali ke Papua. Gencarnya propaganda di media sosial dan seringnya berita tentang demonstrasi menuntut referendum, bagi orang luar yang datang pada bulan Agustus, wajah Papua jadi aneh.
Wajah Papua dalam bulan Agustus terlihat ketika KNPI Yahukimo mengumumkan pembukaan pendaftaran peserta turnamen bola voli, publik Yahukimo pun riuh. Pasalnya, turnamen itu untuk memeriahkan HUT RI ke-77. Ada yang protes, mengeluh dan marah. Namun banyak juga yang senang, mendukung dan balik memarahi orang yang protes.
Yang luar biasa menurut saya, dalam waktu yang sangat singkat-sekitar dua hari- 34 tim voli mendaftar. Luar biasa karena cukup banyak orang muda Papua yang terlibat dalam agenda negara. Padahal selama ini, gerakan perlawanan terhadap negara berasal dari kelompok generasi muda.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Yahukimo. Banyak tempat di Papua mengalami hal serupa. Euforia perayaan kemerdekaan Indonesia telah merasuk jauh ke dalam diri orang Papua yang menjadi korban, terpinggirkan dan selama ini angkat tangan kiri. Wajah Papua pada bulan Agustus adalah gambaran bagaimana dua ideologi berbeda bertarung merebut massa.
Perayaan kemerdekaan Indonesia seperti menjadi oase pemuas dahaga bagi orang Papua. Sebab dalam perayaan itu, masyarakat Papua, apalagi yang paling keras memberontak, akan dielu-elukan jika mau belok kanan dan terlibat dalam perayaan itu.
Hal seperti ini bukan barang baru bagi rakyat Papua. Setiap Agustus rakyat Papua pun sudah sering mendengar acara kembalinya anggota OPM ke Pangkuan RI atau acara serupa lainnya.
Entah benar atau rekayasa, yang jelas itu menjadi petunjuk bahwa kondisi keterjajahan seringkali kalah dari tawaran menggiurkan berupa hadiah, uang, atau hiburan selama Agustus. Ini juga tanda bahwa kesadaran politik masih belum atau bahkan sudah tidak menjadi kesadaran bersama. Kesadaran politik hanya jadi kesadaran golongan pejuang garis keras.
Honai Papua Sudah Dingin, Dunia Maya makin Panas
Tentu saja kondisi ini tidak muncul dengan sendirinya. Ada kerja negara di balik kondisi itu. Penciptaan ketergantungan melalui dana Otsus adalah salah satunya. Selain itu, propaganda dan Pendidikan politik kelompok pejuang jauh dari gerakan negara yang berlimpah sumber daya.
Para aktivis saat ini menumpuk di perkotaan dan melupakan kampung-kampung yang sedang digerogoti kesadaran politiknya melalui dana desa. Para aktivis ramai berjuang di media sosial hingga saling kritik-saling mengajar- karena perpecahan dll. Sementara di kampung-kampung tak ada guru yang mengajar, tak ada tenaga kesehatan yang mengobati orang sakit. Maka ketika negara sesekali hadir dengan program bantuan tenaga kesehatan ketika ada KLB misalnya, rakyat kecil tidak punya pilihan lain selain melihat negara adalah pahlawan. Padahal para aktivis tahu bahwa KLB terjadi karena negara tidak becus mengurus hak rakyat akan kesehatan.
Demikian pun ketika angka buta huruf meninggi-walaupun sudah sangat tinggi – negara hadirkan bantuan tenaga guru. Maka anak-anak yang merindukan pendidikan tentu bahagia karena penjajah yang tidak menyiapkan guru bertahun-tahun kini terlihat sebagai malaikat.
Karena itu, jangan heran ketika dalam bulan Agustus, peringatan Hari Mambesak, peringatan Hari Masyarakat Adat atau peringatan New York Agreement hingga Rasisme berada jauh di bawah bayang-bayang HUT RI.
Papua di bulan Agustus bisa jadi sudah menggambarkan bagaimana sesungguhnya gerakan pembebasan di tanah Papua.
Apakah Agustus tahun depan masih seperti ini? Jawabannya ada pada pundak rakyat Papua sendiri, apakah masih asik saja berselancar di dunia maya tanpa menyentuh basis? Apakah masih bergantung pada dana desa, BLT, dana Otsus, dana beasiswa atau bangkit dan mandiri?
Ingat hutan semakin punah, kasuari semakin sulit ditemui, kebun-kebun sudah penuh ilalang, honai-honai makin dingin, tetapi dunia maya makin panas, togel dan miras pun makin memabukkan.
Discussion about this post