Dekai,nokenwene.com—Jurnalis Warga diharapkan untuk sensitif gender. Hal tersebut diungkapkan Ence Geong, Fasilitator Jurnalis Warga Sagu Yahukimo dalam pelatihan yang diadakan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) tentang Gender, Kelompok Rentan dan Media di Dekai, Selasa (16/11/2021).
Geong menjelaskan bahwa persoalan gender seringkali tidak menjadi perhatian masyarakat dan media. Menurutnya wacana yang dominan di tengah masyarakat adalah wacana yang patriarki.
“Baik masyarakat maupun media seringkali kurang menyadari tentang persoalan gender. Bahkan, ketidakadilan gender di tengah masyarakat tidak disadari sebagai masalah tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja,” jelas Geong.
Hal tersebut dibenarkan oleh para peserta ketika fasilitator mengajak peserta untuk berdiskusi tentang konsep gender dan seks. Awalnya peserta melihat bahwa pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang kodrati dan tidak bisa berubah.
“Dilihat dari penjelasan tadi, Gender berarti sesuatu yang bisa berubah karena dipengaruhi oleh factor budaya, agama atau factor sosial lainnya. Padahal selama ini kita seringkali melihat bahwa pekerjaan seperti memasak adalah tugas perempuan yang tidak bisa diubah,” ungkap Marthen Tehes menjawabi pertanyaan fasilitator.
Natan Sama pun mengungkapkan bahwa selama ini dirinya terbiasa melihat bahwa pekerjaan dalam rumah tangga adalah tugas yang melekat pada perempuan. Dirinya menambahkan bahwa penjelasan narasumber membuatnya sadar.
“Anggapan seperti itu membuat masalah ketidakadilan gender dalam bentuk beban ganda seringkali tidak dipandang sebagai masalah. Penjelasan tadi menyadarkan saya bahwa perempuan menanggung beban besar dalam keluarga sementara laki-laki lebih banyak akses dan kontrol pada sumber daya dalam keluarga,” jelas Sama.
Dirinya berharap agar pelatihan seperti ini mesti sering dilakukan agar Jurnalis Warga bisa menyadari berbagai persoalan yang ada dan menuangkan dalam karya jurnalistik.
“Perlu banyak pelatihan seperti ini supaya JW sadar akan persoalan seperti ini dan menghasilkan karya jurnalistik yang bisa menyadarkan banyak orang,”tambah Sama.
Sementara itu, Nelis Elopore menambahkan bahwa saat ini banyak pekerjaan yang dulunya menjadi tugas laki-laki tetapi terpaksa dikerjakan oleh perempuan. Namun pekerjaa perempuan enggan disentuh oleh laki-laki.
“Dulu pekerjaan laki-laki adalah membuka kebun, membuat pakar hingga kebun siap ditanami. Tetapi sekarang pekerjaan seperti itu dilakukan oleh perempuan juga karena banyak laki-laki yang jalan ke kota,” keluh Elopore.
Dalam kesempatan yang sama, Geong menegaskan bahwa perlu adanya gerakan bersama untuk menyadarkan semua orang tentang persoalan ketidakadilan gender. Media, menurut Geong, adalah salah satu cara bagi kelompok jurnalis warga Sagu untuk menyadarkan masyarakat umum tentang keadilan gender.
“Jurnalis Warga mesti menggali masalah termasuk dari perspektif gender. Jangan hanya menulis sesuatu yang kelihatan saja. Cobalah menggunakan perpektif gender dalam merencanakan dan membuat liputan lalu menulis laporan jurnalistik dengan sudut pandang dari perspektif gender,” jelas Geong.
Geong menambahkan bahwa dalam banyak isu, sudut pandang gender bisa digunakan untuk memperdalam suatu karya jurnalistik.
“Cobalah menulis dengan sudut pandang dari perspektif gender. Pasti akan membuat karya jurnalistik itu lebih mendalam dan menarik. Misalkan ketika kita menemukan ada puskesmas yang berbulan-bulan tidak aktif, kita bisa bertolak dari pertanyaan sederhana bagaimana proses melahirkan yang dialami ibu-ibu tanpa adanya petugas?”
Menurutnya, pertanyaan seperti itu bisa membantu seorang jurnalis warga menggali kisah-kisah kelompok rentan dan menghasilkan laporan jurnalistik yang lebih hidup dan menggugah pengambil kebijakan untuk membenahi pelayanan yang ada.
Pewarta Arni Kepno