Oleh Louis kabak
Pelaksanaan PON XX Papua melahirkan euforia bagi sebagian rakyat Papua. Ini sebagian kecil saja karena sebagian besarnya bahkan tidak tahu tentang pelaksanaan PON itu. Mereka yang tidak tahu dan tidak terjerumus dalam euforia PON adalah orang-orang di pedalaman Papua. Akses informasi dan transportasi yang sulit menyelamatkan sebagian besar rakyat Papua dari kemeriahan sesaat itu.
Sementara sebagian kecil terjebak dalamnya. Umumnya adalah mereka yang berada di kota pelaksanaan PON. Mereka adalah para elit politik dan yang memiliki akses informasi dan transportasi dengan mudah. Termasuk di dalamnya adalah para intelektual dan aktivis Papua.
Secara sepintas, pelaksanaan PON dengan berbagai drama kehadiran presiden seperti menunjukkan perhatian luar biasa negara terhadap orang-orang Papua. Gemerlap acara pembukaan PON dan berbagai kegiatan setelahnya membuat semua orang lupa bahwa ada sejuta persoalan rakyat Papua yang belum tersentuh perhatian.
Saat PON berlangsung, hampir tiga tahun rakyat Nduga mengungsi. Demikian pun rakyat di Intan Jaya, Pegunungan Bintang dan berbagai tempat lainnya di tanah Papua. Entah berapa jumlah pasti rakyat Papua yang mengungsi dan meninggal dalam pengungsian, yang pasti negara tidak peduli dengannya.
Itulah watak penjajah. Hak masyarakat di tanah jajahan tidak pernah menjadi perhatian penjajah di seluruh dunia. Nyawa, adat istiadat, tanah, hutan dan segala isi tanah jajahan dengan mudah dihancurkan untuk kepentingan penjajah.
Dalam daerah jajahan, segalanya adalah milik penjajah yang bisa direnggut kapan pun penjajah inginkan. Halangan atasnya akan berhadapan dengan moncong senjata.
West Papua sudah lama mengalaminya. Sebelum Indonesia, Papua berada dalam kekuasaan Belanda hingga tahun 1960-an. Indonesia menganeksasi Papua dan mulai mengeruk kekayaan alam Papua hingga nyawa orang Papua.
Kehadiran Indonesia di Papua penuh dengan persoalan. Sejak awal itulah, orang Papua dianggap tidak ada, atau kalau ada tidak memiliki hak atas diri dan tanahnya sendiri. Bangsa Papua bahkan tidak dilibatkan dalam acara transaksi pengalihan kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia. Bangsa Papua dan tanahnya hanya seperti barang komoditas yang diperjualbelikan oleh para penjajah.
PT Freeport hadir di Papua pada tahun 1967. Itu terjadi sebelum peristiwa penuh tipu muslihat, PEPERA dilaksanakan. Freeport hadir tepat saat Papua belum menjadi bagian Indonesia tetapi saat masa-masa pelaksanaan transaksi tanah Papua antara Belanda dan Indonesia di hadapan Amerika. Masuknya Freeport di Papua adalah biaya yang dikeluarkan Papua untuk menjadi bagian dari Indonesia. Namun sekali lagi, itu bukanlah keputusan Bangsa Papua, tetapi para penjajah.
Freeport dalam perjalanan bisnisnya menguasai berbagai hasil tambang di Papua dengan tipu muslihat. Freeport menguasai, merampok, merusak, menghancurkan alam dan sumber penghidupan masyarakat Papua sejak 1967 hingga saat ini.
Dari perjalanan bisnis Freeport di Papua, kita dapat melihat paling kurang ada dua cara menaklukkan bangsa Papua.
Pertama, melalui kekuatan militer. Militer Indonesia senantiasa menjadi garda terdepan untuk mengamankan proses penghancuran alam dan sumber penghidupan di tanah Papua. Mulai dari proses merampas lahan hingga menjaganya, wajah militer Indonesia ada di sana.
Rakyat Papua pemilik tanah harus berhadapan dengan moncong senjata ketika mempertahankan haknya. Tak terhitung lagi berapa banyak nyawa rakyat Papua yang gugur karena memperjuangkan haknya.
Kedua, melalui tipu muslihat. Ketika kekuatan militer menjadi sorotan dunia terkait pelanggaran HAM, penaklukan terhadap rakyat Papua harus terus berlanjut. Kekayaan alam yang telah dikuasai harus tetap dipertahankan dan yang belum mesti segera dikuasai.
Penaklukan dengan kekuatan militer tentu masih terus berlangsung. Namun ada cara lain yang berperan memberi citra negara jadi baik di mata dunia. Caranya banyak, mulai dengan pendekatan bantuan bagi masyarakat, kehadiran presiden dengan senyuman manis dan pelukan hangat di tanah Papua, proyek infrastruktur hingga kegiatan akbar seperti PON.
Semua cara itu seakan memberi gambaran betapa luar biasanya perhatian negara terhadap rakyat Papua. Sebagian rakyat Papua pun terbius dengan pendekatan seperti itu hingga tak sadar ada harga yang mesti dibayar. Proyek penaklukan berwajah manis tersebut menjadi bius yang menyebabkan orang Papua sendiri lupa akan penderitaannya, perjuangannya hingga sesama saudaranya yang sedang menderita dalam pengungsian dan penjara karena menyuarakan haknya.
Tentu para pembela negara akan protes karena melihat pendekatan pemerintah secara negatif. Mereka akan berargumen bahwa apa yang dilakukan pemerintah adalah hal baik yang mestinya disyukuri.
Mari kita melihat bagaimana tipu muslihat itu tergambar jelas dalam proses pembangunan smelter yang saat ini sedang ramai dibahas.
Sejak pemerintah mengambil alih sebagian saham Freeport, salah satu hal yang ikut dibahas adalah tentang smelter. Sejak awal itu pula, pemerintah telah merencanakan untuk membangun smelter di Gresik. Namun penolakan terhadap rencana itu pun mencuat di tanah Papua.
Bahkan Gubernur Papua, Lukas Enembe mengancam akan mengusir Freeport jika Smelter tidak dibangun di Papua. Ancaman Gubernur Papua dan protes masyarakat Papua ditanggapi negara dengan mendiamkan isu tersebut.
Pemerintah Papua dan rakyat Papua pun dininabobokan oleh berbagai pembangunan infrastruktur dan janji manis pemekaran wilayah. Selain itu, otsus yang akan berakhir waktu itu pun menjadi bahan lain untuk memecah perhatian bangsa Papua akan rencana smelter.
Terakhir ketika euforia pemerintah dan rakyat Papua sedang mencapai puncaknya saat pelaksanaan PON, Presiden meresmikan pembangunan Smelter di Gresik. Saat asiknya menikmati momen gegap gempita PON, rakyat Papua kaget ketika acara peresmian itu jadi pemberitaan media. Keterkejutan itu tidak mampu membangunkan kesadaran sebagian rakyat Papua yang sedang terlena menikmati PON.
Kesadaran akan tipu muslihat pemerintah pusat baru akan terjadi setelah gema PON telah meredup. Ketika rakyat dan pemerintah Papua sadar, itu sudah terlalu terlambat. Bahkan ancaman Lukas Enembe pun sudah tinggal kenangan. Pembangunan telah dimulai dan rakyat Papua sekali lagi dikelabuhi.
Dari kejadian ini, kita bangsa Papua mestinya belajar. Ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Kehadiran penguasa dengan senyuman manis dan pelukan hangat tidak untuk mendengarkan rakyat Papua. Mereka datang untuk menjadi opium yang menghancurkan kesadaran bangsa Papua sekaligus menunjukkan citra positif. Tetapi di balik itu senantiasa ada rencana besar untuk mengukuhkan kolonialisme.
PON XX Papua dan kehadiran Jokowi tidak lebih dari upaya semakin menancapkan gigi kolonialisme dalam tubuh dan tanah orang Papua. Ia masuk melalui penghancuran kesadaran bangsa Papua.
Karena itu, rakyat bangsa Papua mesti belajar dari pengalaman ini bahwa watak kolonialisme adalah untuk menguasai dan merampok. Kolonial tidak peduli dengan manusia di tanah jajahan. Yang jadi fokus adalah berapa banyak yang akan dirampoknya. Kolonial hadir baik dalam wajah manisnya maupun dengan moncong senjata untuk menguasai apa yang dimiliki bangsa jajahan untuk dikeruk dan bawa pulang demi kepentingannya sendiri.
Kesadaran akan hal inilah yang harus dibangun di antara rakyat bangsa Papua. Strategi pembungkaman melalui moncong senjata hingga penaklukan melalui kehadiran dengan wajah penuh senyuman manis dan perhatian mesti selalu menjadi awasan bagi bangsa terjajah.
Para terdidik Papua harus mulai menyadari hal ini dan membangun kekuatan di akar rumput. Pendidikan bagi masyarakat Papua mesti jadi gerakan bersama. Jangan pernah berharap kolonial akan memperhatikan itu, tetapi mari kita mulai sendiri. Pada terdidik Papua mesti turun ke masyarakat mendidik masyarakat. Banyak sekolah yang dibiarkan tidak aktif oleh kolonial harus menjadi sekolah Rakyat Papua menuju pembebasan.
Kita mesti lebih serius membangun kesadaran bersama untuk melawan kolonialisme. Ingatlah bahwa kolonialisme bisa hadir dalam wajah garang moncong senjata tetapi juga dalam manisnya kehadiran, perhatian, proyek infrastruktur dan gegap gempita perayaan seperti PON.
Discussion about this post