Oleh: Soni Lani*
Agar selaras dengan Sistem Pertanian Nasional, pemerintah menganjurkan pentingnya menerapkan sistem pertanian Lokal atau sistem pertanian tradisional. Tentu terdapat konsep atau metode khusus yang amat baik diterapkan demi pembangunan sektor pertanian dalam arti luas.
Sebagaimana dikenal, Kopi Kintamani Bali, Kopi Gayo Aceh dan kopi Toraja, dalam pembudidayaan dan pengolahannya menerapkan sistem pertanian lokal/tradisional yang super ketat. Para petani di sana, dalam pengembangan kopi, diharapkan menggunakan sistem dan pengetahuan lokal.
Hal ini berdampak pada kualitas biji kopi yang dihasilkan. Kementrian Hukum dan Ham pun telah mengeluarkan sertifikat Masyarakat Perlindungan Identifikasi Geografis (MPIG). Ini semacam hak paten atas produknya, yang tidak bisa di campurkan dengan biji kopi dari daerah lain. Kopi-kopi di sana pun sangat terkenal dalam pemasaran lokal, nasional bahkan pasar internasional.
Lantas bagaimana dengan kopi Papua? Sebagai sampel saya ambil kopi Arabika Baliem Kab. Jayawijaya, mewakili kopi papua lainnya. Kondisi alam kawasan Pegunungan Tengah Papua sangat cocok untuk mengembangkan kopi jenis arabika. Hal ini terbukti dengan pengembangan budidaya kopi yang dilakukan pada Zaman Pemerintahan Belanda. Mereka melakukan program demplot/percontohan. Titik demplot perkebunan kopi saat itu berada di Wesaput, Honelama, Wouma, Jagara, Kurulu, Assologaima, Wollo dan lain sebagainya. Pemerintah Kab. Jayawijaya dari masa ke masa pun semakin mengembangkan areal perkebunan kopi.
Kondisi alamnya, seperti PH Tanah, ketinggian, Suhu dan iklim kabupaten Jayawijaya sangat mendukung dalam program pengembangan areal perkebunan kopi rakyat. Kualitas biji kopi pun sangat baik, bahkan memiliki aroma khas dan unik yang tidak dimiliki oleh kopi dari daerah lainnya di Indonesia.
Kualitas Biji Kopi Wamena merebut urutan/peringkat ke Dua, setelah Kopi Gayo Aceh dalam uji coba kualitas di laboratorium Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember.
Mengapa kopi Wamena hanya meraih peringkat kedua, bukannya urutan pertama? Faktor permasalahannya adalah pada kurang tepatnya pengelolaan biji kopi oleh petani. Hal ini karena para petani kopi belum memiliki sarana prasarana yang memadai.
Nilai tawar utama kopi Wamena dalam pasar lokal, nasional bahkan pasar internasional adalah kopi organik. Keorganikan kopi Wamena sangat diminati oleh berbagai level pasaran. Pembudidayaan dan pengolahan kopi di Wamena rata-rata menggunakan sistem pertanian tradisional dan tidak menggunakan pupuk anorganik atau pun pestisida. Hal ini sangat diminati oleh masyarakat Amerika dengan permintaan sebanyak 36 Ton/tahun.
Melalui KSU Baliem Arabika pada tahun 2012, 2013 dan 2014 pernah mengekspor biji kopi sebanyak 12 ton/tahun. Sisa permintaan pasar AS tersebut dilengkapi oleh PT Pangansari Makasar.
Seiring dengan berjalannya waktu, produksi kopi Wamena bukannya meningkat melainkan menurun sehingga menyebabkan hilangnya pasar tersebut.
Pertanyaannya adalah Mengapa produksi Kopi Wamena semakin menurun? Ada beberapa faktor yang menyebabkan produksi biji kopi menurun, sebagai berikut:
• Tidak Adanya Regenerasi Tani Kopi (Minim Petani Pemula)
Para petani kopi terdahulu, telah bertekun membuka lahan besar untuk areal perkebunan kopi. Semangat pada saat itu, melalui dinas Pertanian Jayawijaya telah membentuk kelompok tani kopi, hampir rata-rata di dalamnya beranggotakan 50-70 Kepala keluarga.
Setiap KK wajib memiliki lahan kebun kopi satu Hektar. Penulis sendiri bisa menempuh pendidikan semata-mata hasil orang tua dalam bertani kopi Jagara. Tentu saja banyak anak-anak tani kopi lainnya yang bisa sukses karena kopi. Artinya, hal ini tidak terlepas dari ketekunan usaha yang dilakukan oleh orang tua petani kopi. Situasi ini membawa dampak pada produksi kopi cukup besar.
Sayangnya seiring berjalannya waktu, para petani kopi, sudah berlanjut usia dan meninggal dunia. Tentu tenaga pun semakin berkurang. Kedua faktor ini, berpengaruh pada lahan kebun kopi sudah tidak terawat, hingga kebun kopi saat ini bagaikan hutan rimba. Fenomena ini akan berdampak pada semakin menurunnya produksi biji kopi Wamena ini.
Generasi saat ini enggan mewarisi kebun kopi yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Entah, apa masalahnya sehingga generasi saat ini tak mau merawat kebun kopinya? Apakah karena faktor gengsi, tak mau dipanggil sebagai petani karena ia sudah berpendidikan tinggi? Ataukah, memang faktor malas? Atau memang ada faktor lainnya? Disini perlu dicarikan solusi, pertama mulai dari diri sendiri dan Pemerintah.
Pemerintah sendiri, memiliki kebijakan strategis, harus memberikan ruang untuk membentuk kelompok tani baru atau biasa disebut dengan Petani pemula. Petani pemula adalah kumpulan orang-orang muda yang memulai berprofesi sebagai petani. Kebijakan pemerintah ini memberi peluang bagi petani muda untuk berkembang.
Pemerintah tentu menyediakan pendidikan/pelatihan, kursus dan modal usaha serta bantuan peralatan yang dibutuhkannya. Ini bisa terjadi bagi mereka yang sungguh-sungguh bertekun dalam mengembangkan usaha taninya.
Penulis sendiri telah melakukannya dan saat ini kami memiliki satu hektar kebun kopi, dan pemerintah selalu memperhatikan kami. Kami diikutkan dalam berbagai kegiatan pelatihan/kursus di Puslit Koka Jember, di Jayapura dan di Wamena sendiri.
Bagi generasi muda (tani muda/pemula) khusus untuk tani kopi, harus dan segera bertekun dalam usaha perkebunan kopi. Kita sudah punya modal awal yang sangat baik yakni Tanah/lahan dengan ketersedian pupuk alamiah. Kalau di tempat lain tanah harus disewa, pupuk harus dibeli dan bibit kopi pun harus dibeli. Kita di wamena tidak demikian.
Artinya kita tidak perlu memikirkan modal usaha yang besar. Oleh karena itu, sekali lagi generasi mudah harus bangkit, bertekun dalam usaha tani kopi. Menjadi seorang petani adalah pekerjaan sangat mulia. Kita tidak harus menjadi ASN, politikus Calon DPR sana-sini, dan pengangguran setia. Sebagai putra daerah tidak boleh ada kata menganggur alias tak punya pekerjaan.
Slogan menjadi tuan dinegeri sendiri bisa terwujud jikalau kita dengan tekun bekerja/berusaha menggarap lahan yang ada. Anugerah Tuhan memberikan kita dengan kondisi geografis yang sangat amat baik dan subur untuk mengembangkan usaha tani kopi. Pemberian ini harus disyukuri dan dinikmati dengan pengelolaan yang baik, tentu Tuhan akan berpihak pada kita.
• Para Petani Beralih Profesi
Penulis mengamati saat ini banyak petani yang pindah profesi. Semisal, ada ketua kelompok tani kopi yang sukses memimpin dan menggerakkan anggota kelompok untuk membudidayakan kopi, tiba-tiba ia mencalonkan diri sebagai calon anggota DRPD. Hari-hari ia disibukan dengan aktivitas politiknya. Kebun kopi pun tak terawat baik.
Ada kasus lain lagi ada ketua kelompok diangkat/ditunjuk menjadi kepala kampung. Seluruh pikiran dan tenaga seutuhnya beralih pada urusan pemerintahan kampung dan perhatiannya ke kebun kopi minim.
Kedua situasi pada kasus di atas sungguh nyata terjadi. Bukan petani kopi saja, petani lainnya pun mengalaminya. Sayang ia lupa akan dirinya. Profesi awal merupakan rahmat Tuhan yang harusnya tidak boleh ditinggalkan. Mestinya ketika beralih profesi tidak tinggalkan profesi lama sebagai petani.
Situasi ini pun, sedikitnya turut mempengaruhi jumlah produksi kopi di Baliem semakin menurun tiap tahunnya.
• Stakeholder Kurang Serius Menangani kopi Wamena
Sebelum menjelaskan lebih jauh, para stakeholder yang dimaksud disini adalah orang/perseorangan, Kelompok/asosiasi, badan usaha/Koperasi yang mengelola atau menjual beli kopi asal Wamena.
Biasanya sering terjadi praktek monopoli. Kadang harga perkilo biji kopi sangat baik untuk petani, namun ada pula harga tidak sesuai dengan keinginan para petani. Di sini terjadi ketidakpercayaan antara petani dan para stakeholder.
Contoh kasusnya pada era pemerintahan Bupati David Huby. Pemerintah pernah membentuk sebuah badan usaha untuk masyarakat tani kopi dengan nama KOPERMAS (Koperasi Peran Masyarakat). Kopermas ini dibentuk di hampir semua sebaran kelompok tani kopi Jayawijaya.
Untuk mengelola dan menjual hasil panen kopi satu arah, maka dibangunlah sebuah pabrik olahan biji kopi terlengkap di Jln. Bayangkara Wamena. Unit pengolahan atau pabrik ini dikelolah oleh bapak Pdt. Saul Elopere.
Pada awal pembangunan pabrik ini, dikelolah dengan baik dan lancar. Adalah kebanggaan khusus masyarakat tani kopi pada saat itu. Entah mengapa faktor masalahnya pabrik ini macet di pertengahan jalan. Bapak Saul Elopere pindah profesi menjadi seorang politikus saat itu. Seluruh aset pabrik tersebut hilang seketika.
Sayang semangat para petani kopi untuk membudidayakan kopi sudah mulai pudar. Hal ini berdampak pada jumlah produksi kopi menurun.
Contoh lainnya adalah tidak konsistennya mengurus kopi oleh para pengurus Asosiasi kopi Jayawijaya yang diketuai oleh Bapak Philipus Huby. Tujuan pembentukan asosiasi tani kopi adalah, mencari pasar, mengurus kopi satu arah dan sekaligus bermitra dengan Pemerintah daerah. Entah apa masalahnya assosiasi petani kopi pun tidak berjalan normal hingga sekarang.
Lembaga internasional USAID pun telah melakukan program AMARTA di kabupaten Jayawijaya. Aksi nyata dari program ini terbentuklah KSU Baliem Arabika, untuk membeli/menampung, hasil produksi kopi dari petani kopi di Jayawijaya.
Selanjutnya KSU Baliem Arabika mengolah biji kopi tersebut untuk dijual ke pasaran lokal, nasional bahkan internasional. KSU Baliem Arabika pun berhasil mengekspor biji kopi Wamena ke Amerika pada tahun 2012, 2013 dan 2014.
Namun, Mr. Selion Karoba, ketua KSU Baliem Arabika diduga sering memainkan harga biji kopi perliter dari petani RP. 5.000 – 8.000. Harga ini menjadi kecemburuan sosial antar petani Jayawijaya. Rupanya tidak membawa kebaikan bagi petani kopi di wamena.
Fenomena di atas tidak dapat merangsang semangat petani kopi untuk lebih giat menanam kopi. Tetapi kondisi ini menuntut petani kopi sendiri untuk mencari pasar sendiri. Mereka tidak mau lagi berhimpun dalam Assosiasi Kopermas dan KSU Baliem Arabika untuk menampung hasil olahannya. Mereka ingin menjadi pelaku usaha langsung dengan pelanggannya.
Pilihan opsi ini sangat tepat bagi mereka. Bapak Hubertus Marian di kampung Waga-waga Kurulu adalah seorang petani kopi, kini sukses menjadi penjual hasil olahan kopi baik pasaran lokal maupun nasional. Ada lagi Bapak Maksimus Lani, petani kopi di kampung Jagara Welesi, kini sukses menjadi pengumpul dan penjual olahan kopi baik pada pasaran lokal maupun pasaran nasional.
Uraian di atas dapat memberi kesimpulan bahwa adanya ketidakseriusan dalam pengelolaan kopi Wamena. Terlihat juga adanya permainan harga kopi yang merugikan para petani kopi di Wamena. Situasi ini tentunya berdampak pada menurunnya semangat para petani untuk merawat dan menanam kopi lagi. Dengan demikian akan menurun juga jumlah produksi kopi wamena.
• Kurang proteksi Oleh Pemerintahan
Pada sektor pembudidayaan kopi di Wamena, perlu mengapresiasi Pemerintah Kab. Jayawijaya. Pemda Jayawijaya sudah berhasil melakukan program pengembangan budidaya kopi arabika. Hal ini terbukti beberapa wilayah sudah memiliki banyak kebun/lahan kopi. Hal ini disertai dengan program penyuluhan, sekolah lapang, serta bantuan peralatan kerja seperti sekop, parang, gunting pangkas, gergaji dan pangkas lainnya.
Pada sektor pengolahan atau pasca panen pun, pemerintah sering memberikan berbagai program pelatihan serta menyediakan bantuan peralatan seperti mesin pengupas kulit merah (mesin luwak), Terpal jemur, ember/loyang, gudang penampungan serta mesin pengupas kulit Gaba dan lain sebagainya. Proteksi Pemerintah daerah pada sektor budidaya kopi dan penanganan pasca panen sangat baik.
Adalah kurang sempurna, bila pemerintah hanya proteksi pada kedua sektor di atas saja, sedangkan upaya perlindungan hukum tentang hak paten atas produksi biji kopi dalam kepentingan pemasaran masih tersendat.
Kopi Wamena merupakan kopi yang sangat terkenal di berbagai level pasaran. Masih banyak orang kesulitan mencari kopi Wamena, seakan kopi Wamena sudah tinggal nama. Di sini sebenarnya terjadi permainan para pebisnis kopi.
Sebagaimana sudah diutarakan di awal, bahwa Kopi Gayo Aceh, Kopi Kintamani Bali dan Kopi Toraja, telah dilindungi dengan hak patennya oleh kementerian Hukum dan Ham dengan menerbitkan Sertifikasi MPIG.
Pasaran hasil olahan biji kopi mereka sudah jelas dengan merek dagangnya sendiri. Pemerintah Kab. Jayawijaya melalui Dinas Pertanian dan BAPEDA, telah melakukan upaya perlindungan ini.
Beberapa kali penulis diundang untuk membahas hal ini. Niat ini pun sangat baik, agar kopi Wamena harus memiliki merek dagangnya sendiri. Dengan demikian kopi Wamena tidak hilang di pasaran, kita harus sama derajatnya seperti Aceh, Bali dan Toraja.
Sayangnya upaya yang dikoordinasi oleh BAPEDA kab. Jayawijaya untuk melakukan Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) kopi Wamena tersendat di tengah jalan hingga kini. Entah apa faktornya, sampai saat ini perkembangan MPIG kopi Wamena, penulis belum mendapatkan informasi yang akurat.
Masyarakat petani kopi sangat merindukan sertifikasi MPIG tersebut segera diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan Ham. Pemerintah daerah harus mendorong atau memproteksi upaya perlindungan hukum ini.

SEMANGAT GERAKAN TANAM KOPI (GERTAK)
Sebagaimana telah diuraikan kopi Wamena dengan karakteristik permasalahanya di atas, penulis ingin menyampaikan kepada kita sebagai generasi yang mewarisi tanah ini, agar membongkar lahan-lahan besar yang sedang tidur ini.
Secara antropologi orang Wamena, tidak relevan membangun usaha mol, kios dan lain sejenisnya, melainkan usaha pertanian dan peternakan sangat relevan bagi orang asli Wamena. Secara konseptual dalam praktek hidup, masyarakat asli wamena sudah memiliki cara bercocok tanam. Sebagaimana lazimnya masyarakat lain di Indonesia. Masyarakat Wamena memiliki keunikan dalam usaha sektor pertanian dalam arti luas. Penerapan metedologi pertanian, bagaimana mengolah/mencangkul tanah, menanam, memilah bibit, merawat, panen dan pasca panen yang dipraktekkan masyarakat Wamena, tidak jauh dari anjuran penerapan metode Kementerian Pertanian.
Hal ini merupakan kekayaan pengetahuan masyarakat Wamena yang dapat terus diwariskannya. Kita memiliki pengetahuan, tenaga dan tanah untuk dikelolah semaksimal mungkin. Merupakan modal awal yang besar. Mengapa kita harus menjadi pengangguran setia?
Gerakan Tanam Kopi (GERTAK), adalah semangat mengajak generasi muda untuk mengolah segala sumber daya yang ada pada kita. Pada tahun 2012 pada era pemerintahan bupati Jhon Wempi Wetipo dan Wakil Bupati Jhon Richard Banua, pernah mencanangkan Gertak di Distrik Hubikosi.
Sayang gaung semangatnya tidak terserap di seluruh pelosok penghuni kabupaten ini. Faktor masalahnya sudah dikemukakan di atas.
Mengacu pada beberapa permasalahan di atas, penulis ingin mendorong dan menggambarkan bagaimana menanamkan semangat Gertak dari nilai luhur orang Wamena. Kita harus mengacu pada semangat hidup kita sendiri dalam penerapan usahanya.
Orang Wamena dahulu dikenal dengan keunikannya memelihara dan merawat Wam-Ena. Keunikan ini, terbukti menjadi perhatian pihak lain akhirnya berhasil nama ibu kota Jayawijaya diabadikan menjadi Wamena, dari kata Wam – Ena.
Di sini penulis hanya memotret bagaimana orang Wamena dengan penuh kasih sayang dalam memelihara Wam/babi untuk menjadi Ena/jinak dan bertumbuh sehat sampai jadi besar untuk disembelih dalam Wene. Bahkan Wam – Ena memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Memang ada banyak wam/babi lain, tetapi khusus untuk Wam -Ena diberi perhatian khusus dan manja oleh pemiliknya. Betapa besarnya cinta dan kasih sayang terhadap hewan peliharaan ini.
Semangat dan nilai kasih sayang terhadap Wam – Ena ini, harus ditransformasikan pada Gerakan Tanam Kopi dewasa ini. Praktek kasih sayang pada hewan peliharaan ini harus sama diperlakukan terhadap tanaman kopi. Kasih sayang Wam – Ena segera diterapkan pada Kopi – Ena. Sebagaimana orang Wamena memandang Wam mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidupanya, tentu kopi juga akan mampu menyelesaikan persoalan hidupnya.
Suatu ketika, pada tahun 2014, penulis mengikuti kegiatan Pekan Nasinonal (PENAS) Tani dan Nelayan Seluruh Indonesia di Malang, Jawa Timur. Pada kesempatan itu penulis bertemu dengan seorang senior tani Kopi dari Aceh. Diskusi kami seru dan alot, beliau banyak berbagi pengalaman bertaninya. Satu kalimat motivasi yang beliau sampaikan kepada saya waktu itu adalah, “Cintailah Apa Pun Usahamu itu. Jika kopi, cintalah tanaman kopimu. Jika engkau hendak berpergian keluar daerah, hormatlah pada tanamanmu itu”.
Semoga Generasi kita tidak terjebak pada situasi instan yang menghancurkan diri kita. Marilah kita bersama-sama berantas kemiskinan dengan bekal ilmu pengetahuan yang ada, memulai gaungkan semangat Gertak. Agar menjadi Tuan di negeri sendiri.
* Penulis berkecipung dalam:
• Anggota Kelompok Tani Kopi Okesa Jagara
• Wakil Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan KTNA kab. Jayawijaya
• Anggota KPU kab. Jayawijaya
Discussion about this post