Dekai,nokenwene.com—Sebuah bangunan sederhana beratap seng biru tanpa dinding dikerumuni oleh sekelompok anak muda. Panas terik tidak menghalangi mereka berkumpul.
Di bawah atap biru itu, sejumlah buku diletakkan pada para-para. Sementara di kolong para-para tiga orang pemuda berebutan tempat sambil memegang buku di tangan.
Tak peduli lalu lintas yang begitu ramai di depan tenda sederhana itu, para pengelola maupun pengunjung tekun menatap buku di tangan.
Rabu (01/09/2021) menjadi hari bersejarah di kota Dekai Yahukimo. Kelompok literasi yang menamakan dirinya Dekaibooks membuka Lapak Baca untuk pertama kalinya.
Semangat awal yang menggerakkan para pengelola Lapak Baca ini adalah menggerakkan literasi di tengah masyarakat Yahukimo.
Gideon, salah satu pengelola Lapak Baca Dekaibooks terus membaca sambil sesekali melayani pengunjung yang datang. Ia menjelaskan dan menggugah pengunjung untuk mulai membaca buku.
“Silahkan memilih dan baca, ini gratis. Baca di sini saja”, jelas Gideon.
Gerakan literasi ini diinisasi oleh Louis Kabak, seorang mahasiswa asal Yahukimo yang sedang kuliah di Semarang. Ia tergerak saat bergabung bersama Jurnalis Warga Sagu di Dekai selama hampir dua tahun sejak 2019.
Saat itu Louis terpaksa meninggalkan studinya karena kasus rasisme. Di Dekai, ia bergabung dengan komunitas Jurnalis Warga Sagu. Ia aktif mengikuti pelatihan bersama maupun membuat liputan jurnalistik.
Dalam berbagai diskusi komunitas Jurnalis Warga Sagu, seringkali diangkat soal pendidikan dasar di Yahukimo yang penuh masalah. Sekolah-sekolah di pelosok Yahukimo seringkali tidak aktif karena tidak ada guru. Anak-anak baru melihat guru saat menjelang ujian.
Saat SD di kampungnya di Hogio, Louis seperti anak-anak lainnya yang tidak merasa bahwa guru yang tidak ada berbulan-bulan telah merugikan masa depannya. Ketika tak ada guru, Louis bermain bola bersama teman-temannya atau pulang membantu orangtua ke kebun dan berburu di hutan.
Akibatnya banyak anak yang sulit membaca dan menulis. Bahkan di komunitas JW Sagu pun, para fasilitator harus rutin melatih para peserta tentang cara membuat kalimat.
Kondisi pendidikan dasar ini menyebabkan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Yahukimo masuk dalam kelompok terendah. Pada tahun 2020, IPM Yahukimo berada di angka 49,37. Angka ini jauh di bawah IPM Papua yang berada di angka 60,44 dan menempatkan Yahukimo pada urutan ke-21 dari 29 Kabupaten di Provinsi Papua. Sementara secara umum IPM Papua pun jauh di bawah IPM Indonesia. Pada tahun 2020, IPM Indonesia adalah 71,94.
Sementara rata-rata lama sekolah di Yahukimo adalah 4,26 tahun. Artinya pada tahun 2020, rata-rata penduduk Yahukimo berusia di atas 25 tahun hanya sekolah sampai Kelas IV SD.
Kondisi pendidikan inilah yang membuat pasangan Bupati dan Wakil Bupati Didimus Yahuli dan Esau Miram menjadikan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama pembangunan.
Pasangan Didimus Yahuli dan Esau Miram telah mencanangkan Yahukimo Cerdas sebagai program unggulan dalam semangat pemulihan. Di atas kertas, program Yahukimo Cerdas sangatlah bagus, namun implementasinya membutuhkan komitmen dan keseriusan mengawasi berjalannya program itu.
Semangat Pemulihan yang diusung pasangan Bupati dan Wakil Bupati Yahukimo, mesti dimulai dengan menemukan masalah dan mulai mengatasinya. Maka masalah pendidikan di Yahukimo yang sudah berlangsung bertahun-tahun pun harus disentuh sampai akar-akarnya. Guru-guru yang tidak ke tempat tugas diberi sanksi tegas. Nota Dinas yang sering jadi jalan mulus ASN meninggalkan tempat tugasnya pun mesti dihentikan.
Persoalan pendidikan seperti itu seringkali menjadi tema diskusi dalam pertemuan JW Sagu. Tak jarang jurnalis warga melakukan liputan tentang masalah pendidikan, tentang sekolah yang tak ada guru atau tentang fasilitas pendidikan yang minim.
Louis dan para JW Sagu lainnya ingin ada perubahan. Liputan yang dibuat diharapkan bisa menjadi pemicu agar para pengambil kebijakan bertindak menyelamatkan generasi masa depan Yahukimo.
Dalam proses menghasilkan sebuah karya jurnalistik, para anggota JW Sagu sudah terbiasa untuk menerima kritikan dan perbaikan. Kualitas pendidikan dasar yang buruk disadari bersama oleh komunitas JW Sagu telah menyebabkan para anggota JW harus belajar dan melatih diri lebih tekun untuk bisa menghasilkan karya yang layak dipublikasikan.
Louis sendiri tidak putus asa ketika tulisan hasil liputan di lapangan digodok habis-habisan agar layak dipublikasikan. Sesama peserta seringkali memberi masukan atas tulisan-tulisan yang dibahas agar sesuai dengan kaidah jurnalistik.
Kegiatan Jurnalis Warga Sagu membuat Louis berpikir tentang persoalan yang ada di sekitarnya. Sebelum bergabung dengan JW Sagu, berbagai persoalan di sekitar bahkan yang dialaminya sendiri dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Diskusi dan liputan membuatnya sadar ada banyak persoalan yang sudah dianggap biasa.
“Kegiatan bersama JW membuat saya lebih dekat pada realitas sosial di sekitar”, ungkap Louis.
Saat menempatkan dirinya sebagai Jurnalis Warga, Louis menemukan ada segudang persoalan yang mestinya menjadi kegelisahan Pemerintah, Gereja atau mahasiswa.
“Salah satu realitas yang membuat saya berpikir untuk membuka Dekaibooks adalah pendidikan yang buruk yang saya alami sendiri dan kini dialami juga oleh anak-anak lain di kampung-kampung bahkan hingga kota Dekai”
Kualitas pendidikan yang rendah ditambah tidak adanya perpustakaan yang memadai bagi masyarakat umum bahkan bagi para pelajar membuat Louis tergerak membentuk Dekaibooks.
“Idenya sederhana, menyiapkan sebuah perpustakaan jalanan gratis bagi masyarakat di Kota Dekai”, terang Louis.
Louis memimpikan sebuah Perpustakaan Jalanan dimana setiap orang bisa membaca di tempat secara gratis. Disebut Perpustakaan Jalanan karena Lapak Baca ini akan digelar di jalanan kota Dekai. Sasaran utamanya adalah masyarakat kecil yang sulit mengakses buku.
Namun rencana besarnya harus dipendam sementara ketika tahun 2020 TB Paru menyerang dan memaksa Louis mendekam lama di RSUD Dok II Jayapura.
Baru awal 2021 dirinya kembali ke Semarang dan mulai mengumpulkan buku dari teman-taman mahasiswanya.
“Buku-buku kami kumpulkan dari donasi teman-temannya mahasiswa. Sementara itu biaya pengiriman saya usahakan sendiri dengan menjual baju”, cerita Louis.
Kini masih ada sejumlah buku di Semarang yang belum bisa dikirim. Louis dan kawan-kawannya sedang mengumpulkan uang untuk mengirim buku ke Dekai.
Lapak Baca yang Louis sebut sebagai Perpustakaan Jalanan ini dibuka di tengah kota Dekai untuk menggerakkan literasi di Kabupaten Yahukimo. Lapak Baca ini bisa berpindah-pindah tergantung situasi dan kebutuhan.
Hari pertama Lapak Baca digelar, para penggerak Dekaibooks memanfaatkan sebuah pondok dengan para-para yang terletak di sudut kompleks Ruko Blok C.
Entah siapa pemiliknya, para penggerak Dekaibooks meminjam sementara pondok jualan itu karena beberapa waktu ini tempat itu tidak pernah digunakan.
Bertempat di pertigaan Ruko Blok C, sekumpulan anak muda mengelilingi Lapak Baca tersebut. Kebanyakan orang mampir karena penasaran dengan anak-anak muda yang memegang buku di tengah hiruk-pikuknya kota Dekai. Ini seperti sesuatu yang langka bagi Kabupaten dengan IPM rendah seperti Yahukimo.
Beberapa pengunjung yang penasaran mengambil buku, membaca lalu meletakkan kembali pada tempatnya.
“Bisa bawa Baca di rumah”, tanya beberapa pengunjung.
Gideon, pengelola Lapak Baca menjelaskan kepada para pengunjung agar membiasakan diri membaca. Ia memberikan kesempatan para pengunjung mengambil buku dan membaca di tempat.
“Silahkan pilih dan baca. Ini gratis tetapi baca di sini”, jelas Gideon kepada para pengunjung.
Buku-buku yang disediakan berupa novel dan sosial politik hingga filsafat. Menurut Gideon, itu saja buku yang ada saat ini. Ke depannya Dekaibooks akan terus menambah koleksi buku.
“Kita ingin memulai sesuatu yang baru. Kita menawarkan buku untuk dibaca secara gratis. Semoga kegiatan kecil ini menggerakkan orang untuk mulai biasakan diri membaca dan menyumbangkan buku untuk menjadi bacaan masyarakat Dekai secara gratis”, harap Gideon.
Dekaibooks dengan gerakan Perpustakaan Jalanan ini baru mulai. Tentu butuh dukungan dari siapa saja agar semangat ini terjaga dan semakin membara.
Namun baik Louis di Semarang sana dan Gideon, Ondo dan pengelola Lapak lainnya sadar bahwa memulai bukanlah hal yang sulit, yang susah adalah mempertahankannya.
Discussion about this post