Oleh : Ones Suhuniap*
Nasionalisme Indonesia di Papua sudah luntur walaupun orang Papua dipaksakan menerima ideologi pancasila dengan cara apapun.
Orang Papua tidak pernah menerima kedatangan Indonesia di Papua. Namun orang Papua dianeksasi secara paksa dengan invasi militer sehingga tidak pernah menerima keberadaan Indonesia di Papua.
Jadi nasionalisme Indonesia tidak akan pernah diterima oleh rakyat Papua. Atau orang Papua tidak pernah merasa dirinya bagian dari Indonesia.
Apalagi ada unsur paksakan dengan kekuatan militer. Jakarta memaksakan kehendaknya agar orang Papua menerima nasionalisme Indonesia. Itu hanyalah mimpi.
Jadi sejak awal Nasionalisme Indonesia dan ideologi Pancasila di Papua itu sudah hilang atau sudah terhapus dengan air mata dan darah orang Papua.
Luka yang tidak pernah sembuh, air mata mama-mama Papua belum berhenti. Ketika rakyat Papua menangis, Jakarta dengan slogan NKRI harga mati dan atas nama pembangunan dan kesejahteraan datang di Papua terus merampas hak- haknya .
Tindakan Indonesia merampas tanah, mencuri sumber daya alamnya sambil menginjak-injak harga diri serta merendahkan harkat dan martabat sebagai manusia menciptakan luka dan tangisan air mata dan darah.
Jakarta memaksakan semua konsepnya di Papua agar orang Papua menerima nasionalisme Indonesia. Pertama konsep pendidikan sejak SD sampai kuliah kurang lebih 17 tahun. Konsepnya penuh dengan manipulasi sejarah dan sekaligus memaksakan orang Papua untuk menerimanya sebagai kebenaran.
Sistem Pendidikan Indonesia yang diajarkan melalui kurikulum nasional di Papua pun mengandung upaya menciptakan hegemoni untuk melanggengkan kolonialisme di Papua.
Kurikulum Indonesia yang dipaksakan dipelajari orang Papua bahkan tidak sesuai dengan filosofi bangsa Papua.
Sejak SD kita dipaksakan mengerti sawah yang kita tidak pernah jumpai di Papua. Kita dipaksakan untuk mengerti kereta api.
Ini logika terbalik jika Indonesia ingin orang Papua harus menerima nasionalisme Indonesia dan menerima ideologi Pancasila. Sistem pendidikan atau kurikulum dan peraktek pembangunan harus kontekstual supaya orang Papua bisa paham dan menerima ideologi dan Nasionalisme Indonesia di Papua.
Kurikulum harus sesuai konteks, bukan bapa pergi ke sawah, ini rel kereta api dan bapa kasih makan sapi dan lainnya. Ini tidak kontekstual bahkan menjauhkan anak-anak Papua dari konteks hidupnya sendiri.
Seharusnya bapa pergi ke kebun atau bapa kasih makan babi, atau di pesisir bapa tokok sagu atau bapa bapa balobe ikan.
Namun yang ada adalah kurikulum pendidikan sampai dengan konsep pembangunan di Papua tidak sesuai kontekst sehingga tidak akan pernah berhasil mengindonesiakan orang Papua.
Pembagunan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan serta konsep kesejahteraan juga dipaksakan ala jawa tidak sesuai budaya dan filosofi kehidupan bangsa Papua.
Dalam pemberdayaan, orang Papua dipaksakan piara sapi dan kambing. Dalam bidang pertanian misalnya, orang Papua dipaksakan mengerti tanam sawah bukan mengelola kebun ubi jalar atau merawat hutan sagu. Akibatnya orang Papua dipaksa menerima hutan sagu dijadikan lahan sawah. Itu jauh dari budaya orang Papua.
Konsep seperti ini adalah konsep yang tidak bisa diterima orang Papua karena hal itu sesuatu yang baru dan tidak kontekstual serta berbahaya bagi keberlangsungan hidup orang Papua.
Orang Papua tidak menerima konsep luar yang dipaksakan di sini sehingga orang Papua tidak bisa berpartisipasi sebagai subyek namun menjadi obyek.
Saya sendiri merasa sering bertanya: yang pemalas dan ketinggalan itu siapa? Yang buat konsep pembangunan dan kurikulum atau kita orang Papua yang dipaksa ikuti dan menerima teori pendidikan dan konsep pembangunan yang selalu datang dari luar.
Selain itu tidak ada ruang secara bebas bagi orang papua berpartisipasi dalam semua aspek pembangunan Infrastruktur, bidang ekonomi kerakyatan serta konsep kesejahteraan juga.
Orang Papua tidak bisa jadi subyek dalam semua pembangunan. Yang ada di Papua orang Papua hanya obyek dan menjadi penonton.
Lalu orang Papua diberi label buruk atau stigma pemalas, bodoh dan tukang mabuk.
Padahal semua konsep pembangunan dan kurikulum pendidikan Indonesia di Papua tidak sesuai dengan filosofi atau tidak kontekstual.
Jadi sampai dunia kiamat orang Papua tidak akan menerima nasionalisme Indonesia di Papua. Yang akan tunduk berlutut dibawa ideologi pancasila hanya kaum borjuis yang memang jadi budak Jakarta.
Orang Papua sudah muak dan bosan dengan janji palsu dan retorika penguasa yang sebenarnya ilusi.
Apalagi orang Papua dari Sorong sampai Merauke sudah paham bahwa Jakarta hanya menginginkan kekayaan alam di Papua.
Indeks Pembangunan Manusia Papua tidak dipikirkan karena motivasi Indonesia di Papua adalah motif ekonomi.
Jadi JOKOWI mau datang ke Papua itu mau sembuhkan luka dan air mata orang Papua atau menambah luka dengan janji palsunya.
JOKOWI jangan datang ke Papua untuk menambah luka. Kami rasa kedatangan Jokowi ke Papua hanya bentuk pencitraan bukan obat yang menyembuhkan luka yang diderita orang Papua.
Obat bagi orang Papua hanya Papua merdeka, supaya bangsa Papua bisa menata diri dan mengobati luka batin yang diderita selama hidup bersama Indonesia.
*Juru Bicara KNPB Pusat
Discussion about this post