Oleh Soleman Itlay*
Sungguh. Sangat senang dengan Mgr. Josef Ronszynski SVD. Sebab dia itu seorang uskup migran yang paling mengerti isi hati nurani umat katolik di Keuskupan Wewak, provinsi Sepik Timur, Papua New Guinea (PNG).
Dia berasal dari Polandia. Sebuah negara di Eropa yang boleh dikatakan memiliki bahasa, budaya, gaya dan pengaruh yang cukup kuat pada dunia modern saat ini.
Bapa uskup itu sudi meninggalkan segala-galanya. Baik keluarganya,kampung halamannya, daerahnya, dan negaranya. Datang ke sini semata-mata hanya membawa diri yang kosong. Ia hanya mengandalkan Tuhan.
Dari awal Ia menunjukkan diri sebagai gembala yang hadir dengan tangan kosong. Miskin. Tidak membawa apa-apa. Termasuk kepentingan terselubung, seperti ekonomi atau politik. Ia menjalankan kaul kebiaraannya dengan sungguh.
Sejak diangkat sebagai pimpinan gereja katolik di wilayah itu pada 2005 lalu, pria yang berpostur besar itu tidak pernah merombak segala sesuatu yang ada.
Justru menghargai apa yang dianggap baik dan benar, termasuk yang ditinggalkan oleh pendahulunya, Mgr. Anthony Joseph Burgess (2002−2013).
Kehadiran hanya untuk melayani umat setempat. Bukan membawa pengaruh dari luar, seperti bahasa, budaya, dan gaya hidup modern di luar yang memarginalisasikan bahasa, budaya dan gaya hidup umat katolik tradisional Wewak.
Mulanya Ia tidak tahu sama sekali tentang bahasa PNG–Tok Piksin. Juga kebiasaan hidup masyarakat dan pola bagaimana umat katolik pribumi hidup.
Sejak datang dia mulai beradaptasi diri dengan lingkungan sekitar. Dia selalu berbaur dengan umat. Malam minum, tidur bangun, jatuh bangun dan rasakan manis pahit bersama umat.
Yang Mulia sadar bagaimana harus memulai misi gereja dari titik nol. Sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dengan segala sesuatu di Wewak.
Di sana dia harus mempelajari bahasa daerah, Tok Piksin, pola hidup, mata pencaharian hidup, karakteristik budaya dari suku-suku pribumi.
Setelah lama di Wewak, Ia merasa bahwa ikatan emosional sudah cukup terbangun baik. Bahkan persepsi dirinya dengan umat setempat sudah menyatu sesuai dengan harapan.
Dari situ dia mulai membangun orientasi pastoral yang sangat kontekstual. Membatasi diri atas segala sesuatu dari luar (Eropa) yang mudah mempengaruhi ciri khas gereja katolik setempat.
Dia mengarahkan seluruh bidang karya pastoral yang menunjukkan corak khas gereja katolik lokal yang tetap berpusat pada Tahta Suci Vatikan. Dengan kata lain, dia tidak lagi membangun gereja yang bercorak khas Polandia dan atau negara-negara/gereja di Eropa
Selain itu, menggerakkan umat berpartisipasi aktif dalam gereja. Tidak pernah bawa orang-orangnya, keluarganya dan lainnya. Mungkin karena jarak antar PNG dan Polandia sangat jauh.
Dia mendorong umat pribumi katolik untuk berdiri di depan. Kemudian dia membackup dari belakang. Artinya, dia memberikan kesempatan kepada pribumi untuk berperan penting dan berkarya di segala bidang karya pastoral.
Dia sejalan dengan misi pemerintah setempat. Bahwa tidak memperbolehkan umat untuk menjual tanah adatnya. Justru Ia aktif mendampingi umat untuk melindungi, dan tetap bertahan hidup dengan pola semi tradisional dan semi modern.
Ia mengarahkan umat agar melindungi tanah, hutan, sungai dan lautan adat. Bahkan hampir tidak pernah ‘berselingkuh’ dengan penguasa, pengusaha dan perusahaan.
Jarang, bahkan tak pernah mendekati orang yang punya modal atau uang banyak guna mencaplok hak-hak dasar hidup umat, menghilangkan sumber-sumber mata pencaharian hidup umat, menghancurkan hutan dan ekosistem, mencemarkan telaga, kali, sungai, danau, lautan serta ikut mengancam nasib dan masa depan umat.
Dia selalu mengajak umat agar senantiasa bergantung pada potensi alam, dari hasil olah tanah, berburu, meramu dan mencari ikan. Dia selalu mendorong umat untuk hidup dengan kekuatan pangan lokal.
Ronszynski dikenal sebagai sosok gembala yang paling berani untuk tidak menjual tanah-tanah misi milik umat katolik yang diserahkan atau dibeli oleh para misionaris pendahulunya.
Umat katolik di Keuskupan Wewak sangat beruntung karena memiliki seorang gembala migran yang tidak menyalibkan nasib dan masa depan umatnya kepada kapitalis, dan imperialis terselubung dalam postur gereja di wilayah Pasifik.
Sekarang sudah hampir 17 tahun. Tetapi dia tetap masih bersemangat untuk merendahkan diri agar hidup apa adanya. Mendorong umat untuk lebih berdaya dan dengan demikian membuat gereja katolik setempat semakin kokoh.
Belakangan ini dia berusaha keras untuk merasakan suka duka bersama umat setempat. Malahan menjadikan Baik dan buruk dari umat sebagai bagian integral dari baik buruknya dirinya, pastor dan gereja katolik di sana.
Saya paling senang karena dia tidak pernah melarang umat setempat untuk pakai busana tradisional atau bahasa daerah untuk berdoa, bersyukur dan memuliakan Tuhan.
Umat setempat paling senang lagi. Karena mereka benar-benar mendapatkan kesempatan dan kepercayaan yang luar biasa dari bapa uskup, agar mereka sendiri yang berperan penting dalam gereja.
Semangat Yang Mulia kurang lebih seperti Jhon Philip Saklil Pr. Berani merendahkan diri, seperti Yesus yang meninggalkan tahta, kehormatan.
Kemudian merendahkan diri, untuk menjadi sama seperti orang yang lemah, tak berdaya, miskin, terbelakang, terpinggirkan, tersingkirkan, teraniaya dan tertindas.
Bukan gembala yang buta akan realitas dan dinamika pastoral di sini. Bukan pula sebagai titipan. Apalagi yang memiliki kepentingan terselubung.
Tetapi seorang yang memiliki hati yang baik. Berani meninggalkan segala-galanya untuk menjadikan dirinya sebagaimana umat setempat hidup.
Atau merasakan jalan yang penuh dengan trauma, ketakutan, doa, pergumulan dan harapan akan masa depan yang cerah. Tanpa diskriminasi rasial atau menjadi gembala–serigala berbulu domba.
Orang katolik Papua kalau tahu jejak uskup ini, pasti akan kaget, heran dan kagum. Kalau mereka tahu dia, pasti akan merindukan uskup baru di Keuskupan Jayapura dan Keuskupan Timika seperti sosok Ronszynski atau Jhon Philip Saklil, yang sangat dekat dengan umat.
Umat Katolik Papua merindukan Uskup, pastor, biarawan-biarawati yang menghidupi janji sucinya, kaulnya dan menghidupi injil dalam keseharian. Umat Katolik Papua merindukan gembala yang merasakan suka duka umat dan bersama umat bangkit berjuang melawan segala jenis diskriminasi, penindasan, peminggiran dan pembodohan.
*Penulis adalah umat Katolik Papua
Discussion about this post