Oleh: Theo Hesegem*
Pertama, Tindakan kekerasan 2 anggota TNI AU di Mereuke menampar wajah NKRI.
Tindakan anggota PM Polisi Militer AU di Kabupaten Merauke Pada 26 Juli lalu menampar Wajar Negara Kesatuan Republik Indonesia di mata Internasional.
Tindakan kekerasan yang dimaksud seharusnya tidak perlu terjadi, kalau kita melihat dari vidio yang telah viral sangat jelas, bahwa saudara korban diduga mabuk, sehingga ada aduh mulut dengan pemilik kios atau warung.
Tak lama kemudian datanglah 2 anggota Polisi Militer AU lalu diseret dan dibanting jatuh di lantai semen persis di jalan, kemudian dinjak-injak mengunakan sepatu laras panjang, mereka mengunakan berpakaian lengkap PM.
Kedua anggota yang dimaksud gagal memperhatikan kondisi fisik dari pada korban. Kalau dilihat dari Vidionya Fisik Koban sangat mono dan bisu serta tidak bisa bersuara dengan normal. Namun tindakan kedua anggota TNI sangat terlalu berlebihan dan tidak berperikemanusiaan dan telah menjatuhkan harkat dan martabat sebagai manusia.
Mereka juga gagal melakukan tahapan-tahapan peringatan pada saat kedua anggota melakukan penangkapan terhadap korban. Sedangkan kita mengamati dalam Vidionya, Korban tidak melakukan perlawanan fisik dengan kedua anggota tersebut.
Ada bagian lain yang perlu perhatikan namun tidak diperhatikan oleh kedua anggota adalah, mereka tidak sadar bahwa tindakan penganiayaan yang dilakukan akan menciderai nama baik Intitusi Militer dan menampar wajah Bangsa Indonesia di dunia internasional. Bukan hanya menciderai intitusi saja tetapi juga gagal menerapkan 8 Wajib TNI.
Kedua, Korban penganiayaan serta keluarga korban dibayarkan kompensasi dari TNI AU.
Korban penganiayaan yang dilakukan kedua anggota Polisi Militer, di Kabupaten Merauke telah dibayar kompensasi dalam bentuk Babi 1 ekor Televisi dan Beras. Pertanyaan saya apakah pembayaran kompensasi kepada korban dan keluarga, akan menghapus citra negatif Negara Kesatuan Republik Indonesia ini?
Menurut saya tindakan anggota yang sangat memalukan dan tidak terpuji justru akan mendapat sorotan tajam oleh dunia Internasional terkait Pengakan Hak Asasi Manusia, kemungkinan juga sorotannya akan datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ).
Ketiga, Kebiasaan anggota TNI di Papua
Kebiasaan anggota TNI di Papua, adalah apa bila anggota melakukan penganiayaan, pembunuhan, penyiksaan, terhadap masyarakat sipil, selalu menawarkan untuk membayar kompensasi kepada keluarga korban.
Dengan cara cepat melakukan pendekatan dengan keluarga korban untuk menawarkan memberikan kompensasi sebagai tanda permintaan maaf dengan barang yang menurut saya tidak masuk akal dan melemahkan proses penegakkan hukum itu sendiri.
Akibatnya Keluarga yang penuh harapan untuk mendapatkan keadilan dalam Proses Penegakan hukum justru sering gagal. Karena keluarga korban selalu ditawarkan untuk membayar kompensasi dalam bentuk uang, babi, televisi dan barang-barang lainnya.
Pengalaman yang dapat saya jelaskan terkait kekerasan yang sering terjadi di Wamena, pemberian kompensasi melemahkan proses penegakan hukum positif, sehingga Anggota TNI gagal menjalani proses penegakan hukum sesuai undang-undang militer.
Mengapa saya harus menjelaskan seperti itu ? Karena TNI selalu menganggap, perlakuan anggota sudah dibayar dengan kompensasi kepada keluarga korban, sehingga pelaku tidak perlu menjalani proses hukum, sedangkan sepengetahuan saya proses hukum positif perlu dijunjung tinggi. Namun sering gagal dijunjung tinggi sedangkan hukum adalah Panglima tertinggi dan tidak ada orang yang kebal hukum sekalipun pemimpin negara.
Keempat, Komandan tidak pernah tegas pada penegahkan hukum pada anak buahnya, selalu mengikuti arus.
Untuk mengawal proses penegakkan hukum terhadap anggota (TNI ) yang melanggar hukum, setiap komandan tidak punya komitmen dan tegas kepada anak buanhaya yang melanggar hukum, untuk diproses sesuai hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Di situlah saya melihat kegagalan setiap komandan-komandan TNI yang bertugas di tanah Papua.
Sehingga saya dapat mengatakan komandan-komandan TNI sering gagal, mengawal anak buah yang telah melakukan pelanggaran hukum untuk diadili di meja pengadilan. Sedangkan kita ketahui bahwa Hukum merupakan panglima tertinggi di Negara Republik Indonesia.
Oleh sebabnya saya mengibaratkan sikap komandan-komandan TNI di Papua mengikuti arus, tidak memiliki perinsip dalam proses penegakan hukum positif. Karena dianggap sudah membayar kompensasi sehingga anak buahnya bebas demi hukum tanpa diproses.
Kondisi di lapangan tidak sesuai dengan harapan sehingga saya sampaikan saran dan masukan kepada Panglima Tentara Nasional Indonesia, dapat memperhatikan kondisi ril yang saya dapat jelaskan melalui artikel ini, dan mendidik komandan-komandan yang bekerja di lapangan agar bekerja taat pada Hukum dan menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia di tanah Papua.
Kelima, Disebut Oknum Aparat, Tetapi Kompensasi Dibayarkan Institusi
Kadang-kadang juga ada kekeliruan di sini anggota TNI yang melakukan tindakan kekerasan seperti di Merauke sering disebut sebagai oknum aparat bukan Intitusi. Saya sangat setuju bahwa perlakuan pelanggaran hukum tersebut dilakukan oleh oknum anggota TNI kecuali dalam kasus tertentu dimana terjadi berdasarkan perintah dan tersistem.
Namun yang anehnya, anggota-anggota yang lain dan komandan juga ikut terlibat menyelesaikan pembayaran kompensasi seperti di Merauke yang telah membayar 1 Ekor babi, televisi dan beras. Hal ini mengaburkan posisi oknum dan institusi. Apalagi seringkali oknum yang melakukan kejahatan malah tidak dihukum. Itu berarti institusi sedang mengatakan kepada anggotanya bahwa “tak perlu cemas, kekerasan yang kalian lakukan akan dibayarkan oleh institusi”. Hal ini turut melanggengkan kekerasan yang dilakukan aparat kepada masyarakat.
Saya juga heran setelah dibayar kompensasi dan kemudian disebarkan Foto Kegiatan pembayaran kompensasi itu kemana-mana, persoalan seolah-olah selesai. Apakah foto pembayaran kompensasi yang disebarkan adalah bentuk keadilan dan rehabilitasi terhadap korban? Lalu apakah hal itu membuat nama baik Bangsa ini pulih di mata masyarakat Papua dan internasional?
Keenam, 3 rekomendasi kepada Panglima TNI.
1. Saya minta dengan hormat kepada Panglima TNI, untuk tidak mengulang kembali kejadian dimana anggota TNI yang melanggar Hukum bebas dari proses hukum yang berlaku.
2. Pengalaman dan pengamatan saya sebagai pembela Hak Asasi di Papua, bahwa anggota yang sering melakukan tindakan melanggar hukum seringkali tidak diproses sesuai hukum yang berlaku, semacam diberikan pengampunan setelah membayar kompensasi, sehingga tidak terulang kembali. Maka TNI harus secara transparan memproses hukum pelaku.
3. Dengan hormat, saya sampaikan kepada panglimaTNI bahwa 2 anggota PM Polisi Militer AU yang telah melakukan tindakan yang sangat tidak menyenangkan, melanggar martabat manusia dan mencoreng nama baik Negara Kesatuan Republik Indonesia di mata Dunia internasional, untuk segera di PECAT tanpa hormat.
Wamena, 30 Juli 2021
*Direktur Eksekutif Pada Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua
Discussion about this post