Jayapura, nokenwene.com – (Ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu Negeri. Pertama, kaburkan sejarah. Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya. Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya bodoh dan primitif” (Architects Deception-Secret History of Freemasonry: Juri Lina).
(Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh dan bersikap tunduk, karena kalau tidak, mereka akan bergerak untuk memberontak…Penghancuran kebanggaan pribumi dipandang sebagai suatu kebutuhan; karenanya dilakukan pencerahan watak pribumi.” (Sumber: S.H.Alatas: Mitos Pribumi Malas:Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina Dalam Kapitalisme Kolonial, 1988: 37, 44).
Oleh Dr. Socratez Yoman,MA
- Pendahuluan
Dr. George Junus Aditjondro pernah mengatakan: “Sejarah suatu komunitas adalah jati diri sekaligus imajinasi mengenai hari depan dari komunitas itu sendiri. Atas nama sejarah dan bayangan mengenai masa depan itu pula-lah masyarakat Papua menggugat pemerintah RI.” (Cahaya Bintang Kejora:2000:3).
Dr. Ikrar Nusa Bhakti menuturkan dengan sangat indah sebagai berikut: “Karena dalam menuliskan dan memahami sejarah masa lalu itulah sebuah identitas ditemukan padanannya dan setiap orang bisa belajar darinya.” (Robin Osborn:2000,xii).
Pdt. Dr. Steven Tong mengatakan: ” Jika seseorang tidak pernah mempelajari sejarah, maka ia tidak akan pernah mengenal asal usulnya dan akar yang sesungguhnya bagi dirinya sendiri.” (Pemuda dan Krisis Zaman, 1999:14).
Dari pandangan para ahli yang dikutip ini, perlu digarisbawahi, bahwa watak dasar para kolonial ialah merendahkan, melumpuhkan dan menghancurkan nilai-nilai budaya, yaitu sejarah, bahasa dan semua modal sosial yang dimiliki rakyat dan bangsa yang diduduki dan dijajah. Sebagian besar pemimpin rakyat dan berpengaruh didekati dengan berbagai bentuk tawaran, yaitu bentuk pujian, penyuapan, pemberian posisi, bahkan pembunuhan bagi mereka yang tidak tunduk pada permintaan para kolonial.
Para kolonial selalu menulis sejarah mereka dengan narasi yang baik-baik dan dilebih-lebihkan dan itu dipaksakan kepada bangsa yang diduduki dan dijajah untuk diterima sebagai sejarah mereka, walaupun sejarah bangsa kolonial. Sementara sejarah yang dimiliki penduduk pribumi dihilangkan dan dibakar, bahkan dinilai sebagai sejarah yang kuno dan ketinggalan zaman. Dengan cara seperti itu para kolonial membuat penduduk asli yang diduduki dijauhkan dari sejarah dan dibuat tidak mempunyai pijakan atau sejarah sendiri.
Pastor Frans Lieshout memberikan kesaksian tentang awal Indonesia memulai konflik di Papua sebagai berikut:
“Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian. Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim ke kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.”
( Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020, hal. 593).
Dalam laporan bulanan Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Juli 2020 yang berjudul: “TUHAN, OTSUS PEMBAMGUNAN INDONESIA UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT PAPUA SUDAH MATI”, diuraikan perilaku dan wajah penguasa Indonesia.
“Begitu mendapat tempat di Papua setelah UNTEA tanggal 1 Mei 1963, para elit yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal dan semua tulisan tentang Sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan, semua dibakar di depan orang banyak di halaman Kantor DPRP sekarang di Jayapura” (Lihat, Acub Zainal dalam memoarnya: I Love the Army).
“Pada awal Juni 1963 banyak putra dan putri Irian Barat yang Pegawai Negeri dihentikan dan digeser dan digantikan oleh petinggi Indonesia yang baru datang. Di Jayapura dan Biak perampokan yang dilakukan para pendatang yang masuk ke rumah-rumah pegawai dan menjarah barang-barang berupa: pesawat radio, radio, tempat tidur dan lemari es, pakaian bahkan hasil-hasil kebun mereka ambil dan bawa pergi. Ini terjadi beberapa kota di Papua sejak Mei sampai Juni 1963.” (Sumber: Resolusi Partai Nasional Indonesia (PNI) Daerah Irian Barat, 6 Juni 1963, No.2/PN-II/1973).
“Mereka mendatangi ke rumah-rumah yang baru ditinggalkan petinggi pemerintah Belanda dan kantor-kantor pemerintah, mengambil/merampok semua barang-barang dari rumah-rumah dan kantor-kantor peninggalan Belanda, kemudian dinaikkan ke mobil/truk yang sudah diparkir untuk dibawa keluar Papua. Setelah merampok barang-barang dari rumah dan kantor pemerintah Belanda, kloter/rombongan lain masuk lagi ke rumah-rumah para pegawai orang Papua: di kota Biak, Kotabaru (Jayapura) para elit Indonesia ambil barang-barang dan mereka bawa unruk dikirim keluar Papua. Belakangan Presiden Soekarno sendiri menyampaikan teguran lewat pidato Dwwan Pengurus Partai Nasional.” (Sumber: Resolusi Partai Nasional Indonesia (PNI) Dalam Rapat Dewan Daerah ke I tanggal 9 Djuni 1963).
Peristiwa lain, “pada bulan April 1963, Adolof Henesby Kepala Sekolah salah satu Sekolah Kristen di Jayapura ditangkap oleh pasukan tentara Indonesia. Sekolahnya digebrek dan cari simbol-simbol nasional Papua, bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu, sesuatu yang berhubungan dengan budaya orang-orang Papua diambil. Adolof Henesby dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa dia masih memelihara dan menimpan lambang-lambang Papua” (TAPOL, Buletin No.53, September 1982).
“Pembakaran besar-besaran tentang semua buku-buku teks dari sekolah, sejarah dan semua simbol-simbol nasionalisme Papua di Taman Imbi yang dilakukan ABRI (sekarang:TNI) dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Mrs.Rusilah Sardjono.”
Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno mengeluarkan Surat Larangan pada Mei Nomor 8 Tahun 1963.
“Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumulan, penyebaran, perdagangan atau artikel, pemeran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden.”
Potensi ekomomi dan bisnis yang dimiliki penduduk asli yang diduduki dan dijajah dlumpuhkan dan dihancurkan bahkan dirampas dengan berbagai bentuk alasan wajar dan tidak wajar yang dikreasi oleh kolonial, terutama alasan hukum dan dituduh orang yang tidak loyal pada kekuasaan kolonial. Pemilik bisnis itu tidak berdaya karena tidak ada perlindungan hukum untuk mempertahankan bisnisnya.
“Contoh, dulu di Papua, ada perusahaan Nieuwnhuijs, yang dimiliki keluarga Rumpaisum, itu diambil alih oleh orang asal Manado. Sekarang perusahaan itu milik mereka, bergerak dalam ekspedisi muatan kapal laut.”
Kesakasian anak kandung Rumpaisum pada 15 Agustus 2020 kepada penulis sebagai berikut.
“Cerita tentang Ekspedisi Niewenhuijz atau Varuna pura itu benar yang memimpin Direktur Utama adalah papa kandung saya, yaitu Max Fredinand Rumpaisun tinggal di Jl Percetakan No 2 Jayapura, yg sekarang Bank Indonesia. Saya pun merasakan ketidakadilan Indonesia. Rumah kami di rampas oleh Swaja dengan memutar balik fakta akte tanah, di tahun 1979. Saat itu saya kelas 2 SD dan papa saya ada di Jakarta persiapan ke Belanda. Dan tanah papa saya juga yang sekarang kompleks PLN di dekat bandara Sentani pun dirampas sekitar 2,5 hektar.
Walaupun saat itu saya baru berusia 8 tahun lebih. Tetapi terasa kekejaman militer saat kami dipaksa keluar dari rumah di jl percetakan. Akhir cerita papa saya terpaksa pulang dari Jakarta padahal 3 hari lagi beliau sudah berangkat ke Belanda, dengan harapan dua perkara ini selesai tetapi ternyata papa kalah. Bayangkan saya terbiasa hidup mewah lama kelamaan hidup susah.Tetapi, papa selalu menanamkan bahwa itu hanya harta dunia. Carilah kerajaan Allah maka segalanya akan didapatkannya. Amin. Dengan campur tangan Allah Bapak di sorga saat ini saya sudah menjadi seorang anak terdidik.”
“Contoh lain, di Jayapura, di Jalan Irian-kalangan pejuang sebut Jalan Merdeka-hampir semua toko yang dimiliki orang Papua pada tahun 1960-an, sekarang bukan orang Papua lagi. Toko-toko tersebut sudah berpindah tangan kepada non-Papua. Diambil alih dengan cara kasar. Kadang dengan menuduh orang Papua tersebut OPM, maka saat itu ditangkap, semua asetnya berpindah tangan ke non-Papua.”
“Contoh lain lagi. Sebuah pompa bensin Samudera Maya di Dok V Bawah, Jayapura, milik seorang Belanda. Ketika Belanda pulang, sekitar tahun 1961 dan 1962, pemiliknya menyerahkan pompa bensin kepada Herman Wayoi, lengkap dengan semua surat-surat hak kepemilikan dan izin usaha. Sewaktu masuk tentara Indonesia, pomba bensin tersebut diambil paksa dari Herman Wayoi. Dia dituduh OPM, ditahan oleh militer, lalu tanpa sidang, beliau dipenjara dalam penjara militer beberapa tahun. Perusahaan tersebut tetap jadi milik Angkatan Darat.” (Karma, 2015, hal.7-8, baca: Melawan Rasisme Dan Stigma di Tanah Papua, 2020, hal.220)
Lazarus Sawias menggambarkan kehidupan orang Asli Papua sebelum Indonesia menduduki dan menjajah Papua.
“Kita pernah punya perusahaan pengadaan kayu di Manokwari untuk mensupplay kebutuhan kayu buat rumah-rumah di Papua. Di sini juga ada galangan atau doking kapal terbesar di Pasifik Selatan. Di sini, di New Guinea, sekarang West Papua, tepatnya di Hamadi ada sekolah Zeevaart (Sekolah Pelayaran) pemuda-pemudi dari Pasifik Selatan menimba ilmu di sekolah ini. Kita juga punya Rumah Sakit di Dok 2 Hollandia (Jayapura) termewah dan terlengkap di Pasifik Selatan, pasien-pasien dari Pasifik Selatan dapat dirujuk di Rumah Sakit ini. Semuanya hancur setelah Indonesia menduduki dan menjajah Papua.” (Yoman:2020,hal.221).
- Mitos-Mitos Kolonial Indonesia
Mitos-mitos kolonial Indonesia yang paling halus yang dialamatkan kepada orang asli Papua, yaitu belum bisa, belum mampu, terbelakang, terbodoh, tertinggal. Semua itu dirumuskan kolonial Indonesia, yaitu Kemikinan, Kebodohan, Keterbelakangan.
Mitos-mitos yang paling kasar, yaitu orang asli Papua Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPL), anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan separatis, dan pembuat makar, dan Kelompok Pemberontak. Mitos terbaru yang diciptakan TNI-Polri ialah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Pemerintah dan TNI-Polri juga menciptakan mitos dikotomi Papua Gunung dan Papua Pantai. Penguasa berusaha menciptakan politik adu domba diantara orang asli Papua sebagai bangsa yang diduki dan dijajah.
Jadi, yang jelas dan pasti mitos-mitos orang asli Papua itu GPK, GPL, OPM, Separatis, Makar dan KKB itu semua diciptakan, dipelihara, disuburkan dan dipublikasi besar-besar dengan kontrol media-media secara ketat.
Mitos-mitos ini sebagai penjara ketakutan yang diciptakan oleh TNI-Polri untuk membungkam, menekan, menindas dan memenjarakan orang asli Papua dalam penjara ketakutan, kegelisahan.
Mitos-mitos ini juga diciptakan dengan tujuan Negara dan TNI/Polri supaya ada alasan untuk menembak mati penduduk asli Papua. TNI-Polri dengan mudah berlindung dalam NKRI harga mati dan dengan mudah mengatakan bahwa mereka menewaskan amggota OPM, separatis dan KKB.
Mitos-mitos dan stigma-stigma GPK, GPL, OPM, Separatis, Makar dan KKB itu tidak pernah ada di Tanah Melanesia ini. Leluhur bangsa Papua juga tidak pernah mewariskan mitos-mitos ini. Dalam Alkitab Kitab Suci orang Kristen juga tidak ada mitos-mitos ini.
Mitos-mitos yang merendahkan dan mengkriminalisasikan martabat kemanusiaan orang asli Papua diproduksi oleh aparat keamanan TNI-Polri. Tujuannya untuk mengkriminalkan dan dibuat seperti musuh negara dan rakyat Indonesia.
Para pembaca membandingkan kutipan pandangan Pramoedya dalam konteks yang lebih luas untuk mengetahui para produser dari mitos-mitos di Indonesia dan lebih khusus di Papua.
“…kebijakan yang mendiskriminasikan warga Tionghoa di era Orde Lama itu sesungguhnya diciptakan oleh ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik sosial di masyarakat, dengan tujuan utama adalah untuk memutus hubungan antara Indonesia dengan RRC….bahwa diketahui isu anti-China sejak dulu, bagi Pram, sebenarnya lebih digerakkan oleh militer, terutama Angkatan Darat” (Pramoedya Ananta Toer, Catatan dari Balik Penjara, 2019: 90).
- Sejarah Kolonial Indonesia
Membaca dari uraian bagian nomor 1 dan 2 memberikan gambaran kebijakan dan pendekatan yang dilakukan Indonesia dalam menduduki dan menindas rakyat dan bangsa West Papua. Penguasa Indonesia dengan kekuatan TNI-Polri dengan gemilang menghancurkan semua modal sosial, kebudayaan, sejarah dengan senjata mitos-mitos dan juga moncong senjata.
Penguasa Indonesia memaksakan rakyat dan bangsa West Papua untuk menerima sejarah dan ideologi kolonial Indonesia. Dari pendidikan SD-PT, semua kurikulum adalah pelajaran asing.
Ideologi kolonial seperti Pancasila, UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bendera Merah Putih diperkenalkan diminta hormatinya, lagu Indonesia Raya diminta hafal dan dinyanyikan. Nama-nama pahlawan Indonesia diajarkan. Semuanya asing dan semuanya muatan kepentingan para kolonial.
Yang sangat aneh dan menjadi pertanyaan besar bagi penulis kepada bangsa kolonial Indonesia sebagai berikut:
(1) Mengapa dan alasan apa sejarah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 tidak pernah diajarkan di Papua dari SD-PT?
(2) Mengapa dan alasan apa sejarah pelaksanaan Pepera dari 14 Juli-2 Agustus 1969 tidak pernah diajarkan di SD-PT?
(3) Mengapa dan ada apa TNI-Polri, terutama TNI biasa seperti “cacing kepanasan” ketika Pepera 1969 digugat atau dipersoalan oleh rakyat Papua?
(4) Apa yang disembunyikan oleh Penguasa Indonesia TNI-Polri?
Pertanyaan dari butir (1) sampai (4) perlu direnungkan pernyataan iman dari Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout sebagai fakta, realitas, kenyataan, bukti tentang apa yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua.
“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia…..“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Sementara Pastor Frans Lieshout melihat bahwa “Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).
Tidak ada yang tersembunyi, empat akar persoalan Papua sudah berhasil ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008).
Empat akar persoalan sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
- Kesimpulan
Tantangan terberat bagi Indonesia saat ini ialah ideologi Indonesia dan sejarah Indonesia diajarkan selama 57 tahun kepada OAP dari SD-PT, tetapi ideologi dan sejarah kolonial itu tidak berakar dan bertumbuh dalam hidup OAP.
Itu semua sejarah dan ideologi semu dan hampa. Seperti perumpamaan Tuhan Yesus: Biji yang jatuh dipinggir jalan, biji yang jatuh di semak duri, biji yang jatuh di tanah berbatu-batu. Biji itu dimakan burung, biji itu tumbuh sebentar tapi mati karena karena disemak duri dan di batu-batu.
Nasionalisme dan ideologi bangsa tidak bisa dibangun dengan mitos-mitos, stigma-stigma dan kekerasan-kekerasan moncong senjata.
Dalam menghadapi kerapuhan ideologi dan nasionalisme Indonesia terhadap OAP dengan pendekatan narasi-narasi usang atau ketinggalan zaman dan menggunakan pendekatan kekuatan senjata dengan REMILITERISASI atau kembalinya Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua yang tidak relevan dalam era peradaban tinggi saat ini.
Sementara sejarah dan ideologi serta nasiolisme bangsa West Papua tidak diajarkan di bangku SD-PT di seluruh Tanah Papua, tetapi ideologi, sejarah dan nasionalisme bangsa West mengalir sendiri dalam darah OAP. Itu semua lahir, bertumbuh, berakar dan berbuah sendiri.
Rakyat dan bangsa West Papua dengan cara cerdas membangun rumah bersama, honai bersama dan perahu bersama, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan meningkatkan diplomasi, lobi dengan menggunakan narasi-narasi modern dengan memegang data, fakta dan bukti pelanggaran berat HAM Indonesia selama 57 tahun.
Posisi ULMWP juga diperkuat dengan permintaan 18 pertanyaan dari Komisaris Tinggi HAM PBB tentang pelanggaran berat HAM di West Papua (Papua).
Ideologi sebuah bangsa tidak bisa diselesaikan dengan kekuatan senjata. Persoalan ideologi harus diselesaikan dengan ideologi, yaitu dengan jalan perundingan damai dan setara tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral
Jadi, sudah waktunya RI-ULMWP duduk berunding. Presiden RI, Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 sudah mulai membuka pintu untuk perundingan dengan ULMWP atau Pro-Referendum.
Selamat membaca.
Ita Wakhu Purom, 20 Oktober 2020
Penulis:
- Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
- Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
- Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Discussion about this post