Oleh : Ruland J Kabak
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Setiap orang pun berjuang untuk mendapatkan pendidikan terbaiknya. Bahkan, ada sebagian orang yang memilih meninggalkan negaranya untuk bersekolah di negara lain tentunya dengan anggaran yang tak sedikit.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pendidikan di daerah tertinggal. Jauh di pelosok negeri, para penerus bangsa bahkan ada yang belum mengenal abjad.
Bagi masyarakat pedalaman, pendidikan memang masih dipandang sebelah mata. Namun lebih parahnya, pemerintah sebagai pengatur kebijakan pendidikan pun bersikap kurang adil dalam hal sistem dan infrastruktur pendidikan yang berada di daerah terpencil. Perbedaan yang sangat kontras bisa kita lihat jika membandingkan fasilitas sekolah di kota dengan sekolah di kampung.
Sekolah-sekolah di kota, sudah tentu memiliki gedung sendiri, lapangan olahraga, laboratorium, perpustakaan dengan buku yang lengkap, laboratotium komputer dan para pengajar yang telah mengeyam pendidikan sesuai standar.
Sedangkan, sekolah di kampung-kampung terpencil terkadang tidak memiliki gedung sendiri, sehingga harus berbagi, misalnya antara SD dan SMP harus bergabung dalam satu gedung, ruang perpustakaan pun nampak lengang, tak ada komputer yang bisa digunakan siswa untuk membuka cakrawala. Tenaga pengajar selain kurang, ada juga yang malah memilih tinggal di kota menikmati gaji buta.
Pemerintah seakan pilih kasih dalam menggelontorkan dana pendidikan. Bagi daerah terpencil, mereka sangat merasakan ketidakadilan tersebut. Seharusnya, pemerintah bisa bersikap lebih bijak dan bisa memberikan pelayanan pendidikan yang merata di negeri ini. Jangan sampai wajah pendidikan yang murung di daerah terpencil terus terpelihara.
Salah satu bukti nyata kesenjangan pendidikan tersebut adalah sekolah di Kabupaten Yahukimo, tepatnya SD Inpres Paima yang terletak di Distrik Hogio Kabupaten Yahukimo. SD ini berada di daerah yang sedikit jauh dari pusat pelayanan pendidikan dan terkesan terisolir karena topografi alam yang berbukit-bukit dan terjal dan hanya bisa ditempuh menggunakan pesawat udara berbadan kecil dari Ibukota Kabupaten dengan waktu tempuh selama 15 menit.
Wajah pendidikan di daerah tertinggal memang masih terlihat suram. Hingga saat ini, pemerintah seakan tak berbuat banyak dalam memajukan pendidikan di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya. Fasilitas yang kurang memadai dan pengajar yang kurang lengkap menjadi salah satu hambatan bagi berkembangnya minat belajar masyarakat pelosok.
Namun, semua kekurangan dalam fasilitas pendidikan tak menyurutkan niat anak-anak negeri dari ufuk timur matahari untuk mengenyam pendidikan. Terbukti, demi menimba ilmu banyak pelajar yang tiap hari diwajibkan bangun pagi-pagi dan rela berjalan kaki puluhan kilo meter menembus kabut dan embun pagi melewati perkampungan dengan naik gunung, turun bukit.
Sesampainya di sekolah kadang tidak belajar karena tidak ada tenaga pengajar, sehingga para pelajar hanya bermain. setelah bermain para pelajar pun kembali pulang sambil menahan terik panasnya matahari dan derasnya hujan, semuanya dilakukan untuk menimba ilmu.
Banyak pula yang mesti melewati sungai yang dalam, dan arus yang deras untuk berangkat ke dan pulang dari sekolah. Mestinya, semangat belajar para pelajar di daerah tertinggal inilah yang kita jadikan motivasi. Sehingga pendidikan di Papua bisa menjadi lebih baik lagi.
Semoga wajah pendidikan di negeri matahari ini bisa bersinar layaknya mentari pagi. Bukan hanya bagi warga ibu kota Kabupaten, Provinsi, dan Negara, namun juga bagi para penerus bangsa di pelosok Papua.
Penulis adalah Anggota Jurnalis Warga nokenwene.com
Discussion about this post