Oleh Ronny Hisage.
(tulisan ini saya tidak bermaksud mempersalahkan aparat kampung Helaluwa atau menyinggung pihak keluarga yang tuntut denda, tapi lebih pada mengungkap persoalan yang dihadapai warga kampung untuk proses perbaikan sistem hukum adat dan positif di masyarakat).
Masyarakat dan aparat Kampung Helaluwa, Distrik Asolokobal Kabupaten Jayawijaya, terpaksa ikhlaskan 150 juta dana desa tahun anggaran 2019 untuk membayar denda adat, atas kematian dua orang warga yang menurut keluarganya ada keterlibatan warga Kampung Atau Desa Helaluwa atas kematian keduanya.
Pada tahun 2019 ini dua masalah besar (pembunuhan dan kematian) yang harus membayar denda adat menimpa masyarakat dan aparat kampung Helaluwa.
Msalah pertama, pada pada pertengahan tahun 2019 seorang pemuda di kampung helaluwa meninggal dunia akibat dipukul oleh rekannya setelah keduanya diduga mabuk minuman keras. Pelaku diamankan di Polres Jayawijaya, proses hukum positif tuntas, tapi hukum adat belum tuntas, keluarga tuntut denda adat senilai 600 juta ditamba puluhan ekor babi.
Masalah kedua, pada akhir tahun 2019,seorang ibu di Desa Helaluwa meninggal karena sakit, keluarganya yang berasasal dari desa lain menuduh kematian saudara perempuannya atas perilaku menyimpang suaminya, mediasi dilakukan di kantor desa, lalu vonis denda adat sebesar 100 juta, dibebankan kepada pihak suami yang berasal dari kampung Helaluwa.
Singkat cerita, pada bulan Desember 2019, pembayaran denda adat perkara pertama dilakukan di halaman kantor polisi, sementara peraka kematian seorang ibu suda dilakukan sebelumnya.
Kedua tuntutan denda adat ini tidak saja ditujukan kepada masing-masing oknum pelaku atau yang diduga pelakunya saja, tetapi kepada pemerintah dan masyarakat Desa Helaluwa (sesuatu yang lazim di Wamena untuk kasus pembunuhan). Kalaopun tuntutan itu kepada oknum pelaku saja dan keluarganya, secara logika denda sebesar itu tidak akan bisa disanggupi dengan realita ekonomi masyarakat kampung yang ada.
jika dipaksakan lalu tidak mampu penuhi tuntutan, bisa-bisa warga lain di kampung tersebut jadi korban balas dendam oleh keluarga penuntut (ini sering terjadi juga), baik antar suku, kelompok, maupun antar desa, mereka tidak cari oknum pelakunya tapi pukul rata satu kampung, satu suku, siapapun warga yang berasal dari desa si pelaku bisa jadi sasaran balas dendam.
Maka mau tidak mau, pemerintah kampung mesti turun tangan untuk lindungi warganya yang lain dari ancaman.Kerap kali para penuntut juga mengincar dana desa, tuntutan adat akan pukul tingga karena tahu bahwa dana desa akan segerah cair. Disini memang posisi aparat kampung dilematis. Dibiarkan persoalan tidak bisa tuntas, turun tangan, tidak ada pilihan lain selain dana desa.
Pemerintah Desa juga sebenarnya punya aturan tersendiri saoal pembayaran denda untuk setiap perkara yang dijatuhi hukuman denda, tapi biasanya lemah dalam penerapannya, apalagi menyangkut nyawa manusia, sepenuhnya akan berlakukan tuntutan pihak korban, sebesar apapun nilainya. Hamper semua kampung di Wamena ini berlaku demikian, saya sering mendengar dan menyaksikan itu dikampung-kampung. Melalui mediasi polisi pun sama saja, denda adat tetap besar.
Kembali ke kemapung Helaluwa tadi, Desa tempat saya tinggal, pada tanggal 16 november 2019, aparat kampung akan menyalurkan dana desa, tahun 2019 kepada warga . dari total dana Rp. 300 Juta itu, aparat dan masyarakat buat kesepakatan, 150 juta disisikan untuk bayar denda adat. Sementara sisanya dibagikan oleh kelompok BUMKAM (Badan Usaha Milik Kampung) kepada masyarakat yang memiliki kegiatan perekonomian di kampung (usaha kios, kelompok tani, peternakan dll). Rp. 500.000/ kelompok usaha. Ada yang marah-mara dan tidak terima, ada yang protes, kenapa dana yang diterimahnya kecil, tapi mau bagaimana, denda adat harus dibayar.
sekali lagi tulisan ini saya tidak bermaksud mempersalahkan aparat kampung Helaluwa atau menyinggung pihak keluarga yang tuntut denda, tapi lebih pada mengungkap persoalan yang dihadapai warga kampung untuk proses perbaikan sistem hukum adat dan positif di masyarakat.
Apa yang dialami masyarkat kampung Helaluwa Distrik Asolokobal, Kabupaten Jayawijaya itu, sesungguhnya bisa jadi sebuah cerminan tentang penyebab kegagalan pembangunan dari dana desa di sebagaian desa di Wamena ini.
Saya sering melihat dan mendengar, banyak orang di Wamena ini bilang bahwa bertahun-tahun dana desa dikucurkan tapi di kampung-kampung tidak ada perubahan yang signifikan, tidak ada pemmbangunan nyata. Atau anda mungkin sering menemukan dan bertanya kenapa tidak ada perubahan pembangunan dari dana desa, tentu saja masalah bayar-membayar denda adat ini salah satu penyebab kegagalan itu, selain SDM dan manajemen para aparat kampung yang perlu ditingkatkan, juga mindset masyarakat tentang tujuan dana desa.
Setelah bayar denda adat , Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana nanti aparat kampung akan buat laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa, yang sama sekali tidak ada dalam juknis penggunaan dandes untuk denda? tapi itu hanya bayangan saya saja, di atas kertas gampang diatur, bukankah itu yang sering terjadi selama ini?
Kalau suda begini, apakah kita persalahkan aparat kampung, atau masyarakat yang menuntut denda adat? Tentu tidak semuanya mereka. Pemerintah daerah pun seringkali turun tangan banting miliaran rupiah untuk bayar denda adat atas pembunuhan atau kematian, praktek pemda tersebutlah yang barangkali ditiru masyarakat untuk menuntut pemerintahan di tingkat kampung.
Melihat masalah pertama yang dihadapi masyarakat kampung Helaluwa yakni, denda adat atas pembunuhan yang diduga akibat mabuk Miras, sebenarnya perkara tersebut diselesaikan di polres Jayawijaya melalui mediasi polisi, hukum positif suda berlaku bagi pihak pelaku, tapi ketika korban menuntut denda adat, polisi lepas tangan, sehingga tuntutan denda sebesar apapun tidak ada yang bisa melakukan tawar menawar.
Hukum adat atau denda adat, memang tidak ada aturan baku, tapi bukan berarti juga bahwa pihak kepolisian mengakomodir semua tuntutan korban dalam jumlah rupiah yang cukup besar itu, mesti memberikan pertimbangan-pertimbangan sebab akibat dalam masalah tersebut, tapi itu jarang terjadi di polres Jayawijaya.
Saya katakana jarang, karena saya perna mengalami dan menulisnya dengan judul “Diduiga Ada Mafia Hukum Adat Di Polres Jayawijaya” terbit di Koran jubi dan nokenwene.com. Dugaan itu muncul sebab saat itu polisi sama sekali tidak mendengarkan apapun alasan dari pihak terlapor tapi lebih pada mengakomodir tuntutan pelapor, dari perkara yang sebenanrya ada sebab akibat.
Hal lain yang juga memperkuat dugaan adalah, setelah pembayaran denda adat, masyarakat punya istila uang meja atau kalu bahasa Wamena biasa disebut “meja oko”, adalah sejumlah uang atau ternak yang diserahkan kepada pihak pengurus atau mediator dari sebuah perkara, sebagai balas jasa dari pihak penerima denda. Mengurus perkara di desa, praktek ini wajib. Besarannya tidak ditentukan, tapi semakin besar pembayaran akan semakin besar pulah jasa pengurus/mediator. Maka diduga, praktek ini membuat pihak mediator /polsis tidak berperan untuk memberikan keringanan beban denda adat.
Merujuk pada awal penyebab pembunuhan adalah akibat mabuk minuman keras (miras), tapi sampai detik ini masalah miras ini pun tidak perna bisa diatasi di Wamena ini, semua orang bicara miras itu biang kerok banyaknya kasus criminal di Wamena, mulai dari pemda, polisi, aparat desa , gereja hingga masyarakat semua mengakui itu, tapi tidak perna ada upaya serius untuk mengatasinya, perda miras hanya di atas kertas, penjualan miras jalan terus, Criminal meningkat, berperkara di polis atau kantor desa, denda adat lagi, begitu terus-menerus.
Sampai kapan kita hidup dalam kondsi ini?
Sesungguhnya, denda adat yang tak beraturan ini, bukan hanya penybab gagalnya pembangunan dari dana desa, tapi ia juga penghambat kemajuan ekonomi masyarakat khususnya orang asli Papua (OAP) di wamena kabupaten jayawijaya. betapa tidak, kumpul uang bersusah paya selama bertahun-tahun, dalam sekejap keluar karena denda adat yang jumlahnya tak tangung-tanggung.
Oleh karenanya, Kita tidak bisa terus-terusan hidup dalam kondisi ini, pemerintah daerah mesti turun tangan untuk mengaturnya, demikian juga polisi atau penegak hukum lainnya, jika memang benar-benar serius hadir untuk masyarakat. Ini persoalan masyarakat yang hingga kini belum diatur dan pemerintah sejatihnya hadir untuk mengurusi masyarakat, maka bukan perkara yang mustahil jika pemerintah bisa hadir ditengah persoalan ini.
* Penulis Adalah Pegawai di RRI Wamena
Discussion about this post