Oleh EG
Seorang teman bercerita kalau dirinya kaget karena di twitter banyak orang Indonesia yang kaget bahwa ribuan rakyat Nduga masih mengungsi. Ada juga orang yang kaget bahwa Pengungsi Nduga belum ditangani negara. Beberapa orang menulis di Twitter bahwa kalau pemerintah tahu, pasti akan ada tindakan yang diambil pemerintah.
Entah mengapa saya tidak kaget karena dia kaget. Bukan apa-apa, tetapi memang akhir-akhir ini seperti menjadi tren kalau orang kaget. Saya hanya tidak ingin ikutan kaget atau kalau pun saya kaget, saya tak ingin hal itu kelihatan. Itu saja.
Bayangkan saja kalau semakin banyak orang yang kaget terhadap berbagai persoalan dalam negara ini. Kalau kekagetan itu membuat semakin banyak orang yang mencari jalan keluar dan mendorong pemerintah bertindak, kita pasti akan senang. Tetapi hal itu sepertinya menjadi mustahil karena yang paling sering kaget akhir-akhir ini justru presiden kita.
Kaget atau terperanjat atau terkejut itu muncul karena heran akan sesuatu. Sementara heran sendiri bisa berarti merasa janggal, bisa juga berarti takjub. Orang-orang yang belajar Filsafat sering kali katakan bahwa keheranan adalah awal berfilsafat. Keheranan mendorong orang untuk mencari tahu apa yang membuatnya merasa janggal atau takjub. Keheranan bahwa ada orang yang belum tahu kalau pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk pengungsi Nduga, bisa mendorong orang untuk mencari tahu kenapa banyak orang belum tahu kalau pengungsi Nduga belum diperhatikan pemerintah. Demikian pun kita akan terdorong untuk mencari tahu alasan dibalik sikap pemerintah itu.
Apakah saya masih bisa menganggap layak bahwa teman saya tadi kaget karena ada orang yang heran rakyat Nduga masih mengungsi? Adalah terlalu berlebihan untuk saya kalau teman saya tadi kaget. Sebab kami berdua sama-sama tahu bahwa Papua tidak banyak menjadi perhatian media apalagi media nasional kecuali ada kejadian yang membuat orang non Papua menjadi korban. Karena itu, saya dan teman saya itu harusnya tidak kaget kalau orang di luar Papua kaget tentang pengungsi Nduga. Tetapi memang kaget sedang menjadi tren karena itu saya tidak kaget kalau teman saya tadi masih kaget juga.
Bagaimana tidak dalam tahun ini saja Presiden Jokowi sudah terlalu banyak kagetnya. Terakhir Jokowi kaget karena Putri Tanjung yang diangkatnya menjadi Staf Khusus Presiden baru berusia 23 tahun namun sering dengar kiprahnya.
“Saya juga kaget baru 23 tahun. Kita sering dengar kiprahnya.” Demikian kata Jokowi sebagaimana dikutip cnnindonesia.com.
Belum lama juga Jokowi kaget karena negara ini masih impor pacul. Jokowi juga pernah kaget karena pembahasan Revisi UU KPK berlangsung sangat cepat, Jokowi pun kaget karena Menteri LHK belum bagikan lahan reforma agraria dan masih banyak kejadian lain yang membuat Jokowi kaget. Cukup kita mengetik kata kunci “Jokowi Kaget” pada alat pencarian di Internet, kita akan menemukan sejumlah besar kekagetan Jokowi.
Yang membuat saya kaget – nah akhirnya saya pun kaget – adalah kekagetan Jokowi justru disebabkan oleh hal-hal yang berada di bawah kontrolnya atau bagian dari program kerjanya.
Tapi kita tidak boleh melarang orang untuk kaget sebab hal itu merupakan spontanitas yang timbul atas sesuatu yang tidak kita sangka atau tidak bisa kita kontrol. Tetapi jika Jokowi terus-terusan kaget karena heran atau merasa janggal dengan hal-hal yang ada di bawah kontrolnya sendiri, maka kita sebagai rakyat mestinya ramai-ramai kaget.
Ya kita harus kaget karena Jokowi kaget harga tiket mahal padahal hal itu ditetapkan oleh bawahannya sendiri. Kita juga mesti kaget karena Jokowi kaget guru honorer hanya digaji Rp300ribu padahal dirinyalah yang memerintah dengan tanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa tetapi negara tak mau memberi gaji yang pantas untuk para guru honorernya. Kita juga harus kaget karena Jokowi kaget pembahasan Revisi UU KPK sangat cepat padahal pemerintahannya ikut terlibat dalam pembahasan itu dan setelahnya ia menolak untuk menerbitkan Perpu KPK.
Kita mesti kaget sebab kekagetan yang disebabkan oleh merasa heran atau merasa janggal akan sesuatu itu tidak membuat Jokowi mencari penyebab di baliknya dan kemudian mencari jalan keluar yang tidak membuatnya kaget berulang-ulang.
Tetapi sampai kapan kita harus terus kaget menyaksikan Jokowi yang selalu kaget dengan masalah yang justru sering disebabkan oleh pemerintahannya sendiri? Jika kekagetan akan suatu persoalan hanya selesai dengan mengatakan kekagetan itu dan tidak mendorong suatu pencarian jalan keluar yang revolusioner, maka sudah bisa dipastikan bahwa Jokowi akan kembali kaget ke depannya.
Untuk itu, kita mestinya sudah bisa mengantisipasinya sebab Jokowi akan kembali kaget. Tetapi ada baiknya kita sebagai rakyat berhenti untuk kaget, paling kurang kita tak perlu kaget lagi kalau Jokowi kaget lagi.
Berikut beberapa link kekagetan Jokowi. Harap Pembaca Tidak kaget!!!!
https://nasional.tempo.co/read/1253393/goenawan-mohamad-jokowi-kaget-pembahasan-cepat-revisi-uu-kpk
https://nasional.kontan.co.id/news/jokowi-kaget-didukung-keluarga-uno
https://nasional.republika.co.id/berita/pycwkb382/reforma-agraria-masih-nol-knpa-jokowi-kaget
http://www.sinarharapan.co/ekonomi/read/9712/jokowi_kaget_pengadaan_pacul_masih_harus_impor
https://www.jpnn.com/news/jokowi-kaget-penjualan-avtur-dimonopoli-pertamina
Discussion about this post