Kematian pengungsi konflik Nduga di Wamena terus terjadi. Kamis (08/08/2019), bayi Ailin Gwijangge, bayi berusia 11 bulan asal distrik Mugi meninggal dunia di Pintas Wamena.
Ailin Gwijangge meninggal dunia setelah menderita menceret selama dua Minggu. Keluarganya sempat merawat Ailin di RSUD Wamena.
Ailin Gwijangge bersama orangtuanya mulai mengungsi sejak 4 Desember 2018 lalu. Bersama masyarakat lainnya, keluarga Ailin awalnya mengungsi di hutan. Kurang lebih lima bulan keluarga ini tinggal di hutan.
“Di hutan kami bertahan makan sayur paku dan kelapa hutan. Waktu itu masih musim kelapa hutan”, jelas ayah Ailin Gwijangge.
Saat buah kelapa hutan habis, keluarga ini bergeser ke Kuyawage. Di sana, keluarga Ailin menginap di rumah keluarga.
“Karena kelapa hutan habis, kami terpaksa pindah ke Kuyawage. Kami tinggal bersama keluarga di Kuyawage. Tapi ada banyak pengungsi yang tinggal di situ. Jadi kami putuskan untuk ke Wamena setelah satu bulan di Kuyawage”, tambahnya.
Ayah Ailin menjelaskan bahwa keluarga di Kuyawage kesulitan untuk menyediakan makanan untuk banyak orang. Persediaan makanan tidak mampu untuk memberi makan banyak pengungsi yang hidup di sana.
Kematian Ailin menambah daftar panjang kematian pengungsi Nduga. Tim Relawan Kemanusiaan Untuk Pengungsi Nduga mengungkapkan bahwa jumlah pengungsi korban konflik Nduga pada akhir Juli lalu sebanyak 182 jiwa.
Sampai saat ini belum ada penanganan serius dari pemerintah untuk pengungsi Nduga. Tim Relawan Kemanusiaan Untuk Pengungsi Nduga yang selama ini menangani pengungsi mengungkapkan bahwa pemerintah baru mulai terbuka matanya ketika daftar jumlah pengungsi yang meninggal direlease pertengahan Juli lalu.
“Pemerintah baru bawa bantuan setelah kita ungkapkan jumlah pengungsi yang meninggal dunia. Namun bantuan itu ditolak oleh pengungsi sendiri karena beberapa alasan”, jelas Ence Geong, koordinator Tim Relawan Kemanusiaan Untuk Pengungsi Nduga.
Tim Relawan sendiri berharap agar negara tidak hanya datang membawa bantuan tetapi hadir di tengah-tengah pengungsi agar mengetahui kondisi dan pergulatan pengungsi.
“Pemerintah mestinya siapkan tenaga yang selalu ada bersama pengungsi. Ini penting supaya tahu kondisi dan pergulatan pengungsi. Ini bukan pengungsi karena bencana alam, tetapi karena konflik ideologi. Kalau pemerintah selalu hadir, saya yakin pemerintah tidak akan salah jalur dan terlambat membawa bantuan sehingga tidak ditolak pengungsi itu sendiri”, tambah Sekretaris Eksekutif di Yayasan Teratai Hati Papua.
Pewarta Wene Tabuni (Jurnalis Warga Ninmin Nduga)
Discussion about this post