Hutan di Gunung Cycloops Sentani rusak, banjir bandang di Danau Sentani tak terbendung– Hutan di Danau Habema sedang menuju kerusakan parah, adakah ancaman bencana di lembah Baliem?
Oleh: Ronny Hisage*
“Suatu kelak nanti……….I Yugu bisa terbongkar karena di bagian Wamena dari Yugu ini hanya tertahan oleh satu gunung yang kecil……… kalao itu terjadi lembah ini besar apa, gabung dengan sungai palim ini bisa ditutp air dari habema” adalah mitos /legenda yang perna ada dalam sejarah orang baliem terdahulu
(Paliem: Baliem, IYugu: Air Danau Habema)
“………..(banjir besar) itu kita wamena akan alami, dan jangan heran kalo itu terjadi karena kondisinya demikian. Saya suda bicara 10 tahun yang lalu dan sekrang terbukti, banyak informasih di media masa kebun masyarakat Wamena terendam banjir dan sebagainya. Ini baru tahap awal akan ada yang lebih parah lagi” ungkap Jhon Way, S.Hut, M.Si – Kepala Dinas Kehuatanan Jayawijaya 2013 silam.
———————————————————————
Sambil menyampaikan turut duka dan doa serta perhatian untuk saudara-saudari kita di Sentani Jayapura yang terkena musiba banjir bandang 16 maret lalu, kita perlu mengantisipasi dini, agar bencana serupa tidak menimpa kita di Lembah Baliem.
Mengapa?
Penting untuk kita tahu bahwa 90 % wilayah kota Wamena kabupaten Jayawijaya itu terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Baliem atau Palim (sebutan aslinya untuk Baliem) , kota Wamena ini dikelilingi pegunungan yang hutannya memberi kehidupan semua mahkluk hidup dalam lingkaran gunung ini atau di lembah ini,, makanya disebut Lembah Baliem. Di lembah ini ibarat kita hidup “dalam kuali”. Diatasnya ada Danau Habema atauYugu (nama asli Habema)
Penyangga utama kehidupan lembah ini adalah kawasan hutan Lorentz, daerah hulu kali Uwe, danau Habema dan sekitarnya hingga lari ke Kuyawagi Kabupaten Lanny Jaya, sebagian wilayah lagi kabupaten Nduga, setiap wilayah itu ada di ketinggian, ia paru-paru kehidupan di lembah, kota Wamena ada di bawahnya – Lembah Baliem.
Satu yang patut menjadi perhatian bersama adalah, semenjak terbukanya akses ke Danau Habema, (Yuguru batas batu hingga ke kabupaten Nduga), penebangan hutan di wilayah itu makin marak terjadi, setiap hari ada saja pohon yang ditebang, setiap hari ekosistem disana rusak, degradasi dan deforestasi hutan terus terjadi.
Asis Lanny dari LMA wilayah Welesi (Uwe Elesi/ hulu kali uwe) perna bilang bahwa, tidak ada aksi nyata dari dinas terkait untuk melindungi hutan di kawasan taman Lorentz.
Tahun 2016 lalu, Kepala Dinas Kehutanan Jayawijaya Yunus Matuan, S.Hut, M.Si mengakui kerusakan itu, bahwa kawasan hutan Lorentz mulai rusak akibat pembalakan liar yang terus dilakukan, oleh masyarakat pemilik ulayat dan orang luar dengan alasan kebutuhan ekonomi
“kawasan taman nasional Lorentz ini hutan sebagian besar suda rusak, dibalak, sudah di sengsor, informasih yang kami dengar ada 400 lebih sengsor yang ada di sana (di hutan)……. Masyarakat mengatakan tumpuan hidup ekonomi sehingga mau tidak mau harus hutan rusak” kata Yunus ketika itu.
Pernyataan Yunus Matuan, Asis Lanny dan Jhon Way, itu terungkap beberapa tahun lalu. bagaimana dengan saat ini? Sementara di kota, kita selalu menyaksikan truck dengan muatan kayu dari arah Habema- Napua terus berdatangan ke kota Wamena, karena akses jalan untuk itu suda terbuka lebar (ini mungkin sala satu sisi buruk trans Papua ala Jokowi).
Jika benar pernyataan Yunus Matuan, 400 sengsor yang beroperasi di kawan hutan penyangga di tahun 2016 lalu. Sebut saja satu hari tebang satu pohon setiap operator sengsor, maka 400 pohon ditebang dalam 1 hari x 1 bulan = 12.000 pohon, x 1 tahun x 400 sengsor? Silahkan dihitung, sampai dengan tahun 2019 ini berapa pohon yang ditebang, belum termasuk sebelum 2016, belum tumbuhan lain di hutan yang ikut tumbang, belum jika satu hari bisa tebang 2 sampai 3 pohon, belum juga pembukaan lahan untuk kebun di area itu.
Per februari 2018, Balai taman nasional Lorentz merilis 3.000 Ha hutan taman nasional Lorentz telah rusak, akibat pembukaa lahan perkebuanan dan penebangan liar oleh warga yang bermukin di sekitar kawasan.
Menebang pohon itu merusak hutan, merusak hutan itu merusak ekosistem di dalammnya, ekosistem hutan rusak itu merusak segalah kehidupan di hutan dan disekitanya. Tak perlu penjelasan detil dampak rusaknya hutan, pasti semua suda tahu itu.
Jika kita merujuk bencana banjir bandang di sentani, dugaan sementara BNPB ada 3 faktor yaitu, rusaknya hutan cagar alam gunung Cyloops- deforestasi hutan yang menjadi lahan perkebuanan dan pemukiman, topografi atau kemiringan lereng gunung cycloop yang terjal, serta intensitas hujan.
Dari 3 faktor tersebut, ketiganya bukan tidak mungkin terjadi di Lembah Baliem, Wamena yang seolah dalam “kuali” dikelilingi pegunungan, yang hutannya terus dibabat habis. Kali kemiri Sentani dan beberapa kali di sekitarnya menjadi sumber banjir.
Di Wamena ada kali uwe yang mengarah ke kota, di hulunya (kawasan Lorentz) penebangan jalan terus, ada juga kali holima, dan beberapa kali kecil lain dari kaki gunung. Belum sungai baliem yang menamai lembah ini. Sungai baliem bagian hulu suda jadi kabupaten, Lanny Jaya, Tolikara termasuk sebagian Kabupaten Nduga, dan sekitarnya, disana pembangunan cukup pesat, mustahil pembangunan tanpa babat hutan, kabupaten baru pula, kita sering terima banjir kiriman dari wilayah hulu Baliem, jangan lupa 90 % kota ini ada di DAS Baliem,
Sementara di bagian selatan Lembah Baliem, tailing tanah longsor di Distrik Asolokobal dan Asotipo, semakin mempersempit badan sungai baliem, Jembatan kuning yang ada di persis hulu tailing longsor suda mulai mengalami abrasi akibat penyempitan dari tanah longsor. Jika kita menyebrang jembatan kuning, akan menjumpai sejumlah besih yang baru dipasang di sana sebagai penahan erosi, tapi tetap saja tidak mampan, arus sungai baliem lebih kuat erosi suda melewati besi dan bronjong yang dipasang, jembatan terancam roboh. cepat atau lambat jembatan kuning salah satu ikon lembah baliem itu akan roboh.
Perkebunan warga di DAS baliem, tak jarang gagal panen tergenang luapan sungai baliem, ada yang panen sebelum waktunya
“nanti bilang mace dorang datang ambil ubi dan daun di sebelah (sebelah kali baliem) kita panen semua takut air tutup jadi” ini SMS yang saya terima pekan kemarin, dari keluarga di sebelah kali baliem. Minimo Kampung Menagaima. Rupanya mereka panen ubi sebelum waktunya, akibat luapan air sungai baliem yang terus mendekati areal perkebunan.
Sementara itu di depan mata kita, di dalam kota wamena belakangan ini paling sering terjadi banjir, akibat intensitas hujan yang terus tinggi didukung pembuangan sampah yang tak beraturan, beberapa warga sering mengeluh rumahnya terendam banjir, sejumlah ruas jalan tak terhindarkan dampak banjir. Banjir-banjir kecil dalam kota ini tentu belum memakan korban yang signifikan seperti banjir Sentani.
Kaitannya dengan bencana banjir bandang di Sentani Jayapura, gunung Cycloops di tanah Kenambai Umbai itu menjulang cukup tinggi, danau Sentani ada di bawahnya, di dataran rendah, konsentrasi pemukiman lebih banyak di bawah ini, beberapa sungai mengalir kearah danau, 16 maret lalu dilanda banjir bandang, terbesar dalam sejarah Papua
Sebaliknya di tanah Lembah Baliem, danau Habema ada di ketinggian, sekitar 3.225 m diatas permukaan laut, danau yang didaulat sebagai danau tertinggi di Indonesia , beberapa sungai mengalir dari arah tempat danau, kota Wamena di bawahnya beserta pemukiman dan pusat pemerintahan, terbentang sungai baliem beserta sungai-sungai kecil yang berhulu disekitar danau Habema itu.
Merujuk beberapa data, catatan dan fenomena alam di atas bukan tidak mungkin, bencana alam yang menimpah tanah Kenambai Umbay – Sentani , bisa saja terjadi di tanah baliem ini. Mungkin ada benarnya prediksi Jhon Way diawal tulisan “………….Ini baru tahap awal akan ada yang lebih parah lagi”
Atau ini yang mungkin dimaksud mitos para terdahulu manusia Agamau diawal tulisan ini ?
“……… kalao itu terjadi lembah ini besar apa, gabung dengan sungai palim ini bisa ditutp air dari habema”Bahwa dengan semakin rusaknya alam dan ekosistem oleh ula manusia, kelak terjadi longsor besar di sekitar danau Habema dan menutupi lembah baliem “mitos itu bisa jadi isyarat bahwa lembah ini akan tenggelam oleh ulah manusia”
Entah benar atau tidak mitos legenda itu, tapi beberapakali dibeberapa kesempatan saya perna mendengar mitos legenda terdahulu lembah baliem itu
Bertolak dari mitos “yang kebenarannya masih butuh pengujian” tapi perlu kita waspada dan antisipasi sejak dini bahwa musiba bencana alam di lembah ini sebenarnya hanya soal waktu, bukan minta-minta tapi untuk antisipasi. Pembangunan itu penting tapi mitigasi bencana juga tak kalah pentingnya *
Discussion about this post