Pada kenyataannya, tanggung jawab pemerintah membangun pendidikan bagi anak-anak suku terpencil di Tanah Papua belum sepenuhnya terpenuhi karena berbagai kendala. Ini keprihatinan bersama. Sebagai guru, saya mendukung realisasi tanggung jawab pemerintah itu di tempat saya berada. Sekarang, saya ada di kampung Brukmahkot, Distrik Seradala, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua, di tengah Suku Terpencil Korowai Batu.
Nama saya Imelda Author Hendrietha Kopeuw, kelahiran tahun 1991, saya juluki diri saya Margi singkatan “Camar Gila” . Masa kuliah saya di Jakarta selesai tepat 4 tahun. Saya lulus Teacher College – Universitas Pelita Harapan Karawaci – Provinsi Banten (2011-2015).
Pengalaman sebagai guru juga lumayan, yaitu di SD DIAN HARAPAN Daan Mogot, Jakarta Barat (2012), SD DIAN HARAPAN Rinjani, Karawaci (2013), SD LENTERA HARAPAN KOJA, Jakarta Utara (2014), dan SD YPK KANDA, Waibu, Kabupaten Jayapura (2015-2018). Saya pernah memimpin berbagai organisasi seperti Ketua The Pioners of Papua, Karawaci (2014-2015), Sekretaris KOMPAK (Komunitas Mahasiswa Guru Papua) Karawaci (2013-2014), Ketua KKG (Kelompok Kerja Guru), Sub Rayon 02 Waibu (2017-2018). Dan mengikuti berbagai kursus kepemimpinan Kristen. Saya fasih berbahasa Inggris dan menguasai ketrampilan dasar computer Microsoft. Dengan latar belakang pendidikan, pengalaman dan ketrampilan seperti ini, saya memiliki kesempatan besar untuk bekerja di tempat lain. Tapi saya memilih mengabdi sebagai guru di daerah terpencil ini. Butuh 7 tahun untuk menimbang sebelum memutuskan. Saya sudah observasi lapangan lebih dulu sebelum ke Brukmahkot, jadi saya sudah tahu tingkat kesulitannya dan resiko dari keputusan saya. Saya melewatkan kesempatan untuk menjadi PNS di Sentani, di mana saya bisa tinggal di rumah ayah dan ibu saya. Saya lewatkan kesempatan jadi guru di sekolah dasar swasta yang didanai suatu perusahaan asing dengan berbagai fasilitas. Saya bayar keputusan ini dengan jalan kaki selama 10 jam dari Danowage ke Brukmahkot. Saya pernah tersesat ketika menjemput seorang anak perempuan, Andriana (8 tahun) untuk sekolah, bekal makanan habis, diserang lebah di tengah hutan Korowai yang tidak selalu bersahabat, kaki bengkak, demam. Ada banyak resiko penyakit seperti malaria, dan lain-lain. Beberapa kawan menanggapi keputusan saya dengan geleng-geleng kepala. Mungkin ada yang pikir bahwa saya gila. Tapi, saya merasa ini hal yang membahagiakan dan saya syukuri sebab sudah lama saya rindukan. Kerinduan saya tercapai.
Sekarang saya jadi guru di sini dengan visi membangun generasi emas Korowai yang sehat, tinggi ilmu, tinggi iman, tinggi pengabdian serta memahami dan menghargai adat istiadat Korowai. Tidak mudah, ada banyak masalah. Ini seperti nyanyian storen (fals) yang selalu saya nyanyikan. Tidak merdu di pendengaran. Pertama, kami perlu rumah atau gedung sekolah. Gedung sekolah yang dibangun 100% swadaya pada tahun 2016 saat ini sudah rusak dan nyaris roboh. Kami sering belajar di dalam gedung gereja tetapi tidak bisa terus di sana sebab kami membuat kotor rumah ibadah dengan tempelan alat peraga. Lalu kami pindah belajar di ruang tamu rumah guru. Kami tidak nyaman sebab sempit dan berhimpitan. Meskipun demikian di sini kami bebas mengotori dinding dengan menempel berbagai alat peraga. Baik di gereja maupun di ruang tamu rumah guru, kami belajar dengan tidur di lantai sebab kami tidak punya meja dan kursi. Kedua kami butuh asrama agar anak-anak bisa tinggal dengan nyaman dan mendapat perhatian cukup selama bersekolah. Tidak jarang orang tua mereka ke dusun mencari makan, meninggalkan mereka tinggal sendiri di kampung. Makanan jadi persoalan, kayu bakar jadi persoalan, butuh daging. Dan semua ini sulit didapat kalau anak-anak yang masih kecil-kecil ini tinggal sendiri di rumah sementara mama dan bapa serta saudara laki-laki yang sudah dewasa sedang ke dusun untuk cari makan. Tetapi jika mereka ikut orang tua ke dusun maka mereka tidak bisa sekolah. Asrama dapat jado jawaban di kampung di mana mereka tinggal dengan aman, mendapat perhatian cukup baik soal makan minum, keamanan, belajar dan berlatih, dan sebagainya. Sisi positif lain adalah orang tua akan selalu diingatkan untuk kembali ke kampung secepatnya. Tidak boleh berlama-lama di dusun. Mereka harus cepat pulang demi anak-anak. Dengan berada di kampung maka mereka bisa membangun kampung.. Hal ketiga, masalah kesediaan guru untuk mengabdi di daerah terpencil. Hal ini merupakan konsern utama pemerintah. Saya yakin bahwa dengan manajemen yang menjamin kesejahteraan guru dan dukungan untuk pembangunan infrastruktur dasar, banyak anak muda Papua yang idealis bisa menjawab masalah ini. Saya banyak menerima inbox pesan simpati, dukungan doa dan dukungan dana. Banyak anak-anak muda Papua yang memiliki visi dan kerinduan (passion) untuk bangun SDM Papua di daerah terpencil. Ini adalah modal social kita untuk membangun SDM Papua. Butuh managemen yang tepat dan dukungan kerja sama untuk menyalurkan potensi ini menjadi kekuatan pembangun SDM Papua. Manajemen yang tepat ini antara lain bisa memadukan “manajemen missionaris yang berbasis pada pengabdian” dengan manajemen infrasturktur. Pemerintah menyediakan infrastruktur dan mendanai pengelolaaannya dan missionaris mengelola program pengabdiannya. Saya yakin dengan cara itu masalah ini bisa diatasi. TUHAN memberkati.
3 Nopember 2018 Salam, Margi
Discussion about this post