Nokenwene.com – Goyang Patola yang ditampilkan dalam acara Festival Danau Sentani menjadi ramai diperbincangkan masyarakat Papua di Media Sosial.
Goyang Patola selain bukan merupakan budaya orang Papua, juga menampilkan erotisme yang berbahaya jika disaksikan apalagi dipraktekan oleh anak-anak. Namun dalam Festival Danau Sentani yang mestinya mengangkat budaya Papua, goyang Patola malah diberi panggung oleh master of ceremony (MC).
Entah goyang Patola ini memang direncanakan menjadi bagian dalam rangkaian acara FDS atau hanya tindakan spontan dari MC, hal ini sulit untuk diterima.
Di tengah terancamnya budaya Papua oleh ekspansi budaya luar dan pengaruh kapitalisme, FDS diharapkan menjadi salah satu cara dan kesempatan untuk kembali mengangkat budaya Papua untuk dilestarikan. Sayangnya FDS malah semakin melukai hati masyarakat Papua yang sedang berjuang dalam penderitaan dan ancaman akan kehilangan budayanya.
Budaya bukanlah suatu bahan mainan. Budaya merupakan suatu kebiasaan masyarakat dalam mempertahankan suatu nilai tertentu dalam kelompok atau klen atau komunitasnya.
Budaya orang asli Papua sangatlah beragam sebagaimana banyaknya suku yang ada di Papua. Secara ringkas budaya senantiasa berkaitan dan menjadi cara untuk mempertahankan hidup melalui system perekonomian, cara mendidik generasi atau system pendidikan, cara bertahan hidup, cara mendapatkan makanan, pernikahan, seni berupa tari-tarian yang memiliki nilai dalamnya, juga dalam bentuk aksesoris-aksesoris.
Budaya yang dimiliki 250 an lebih suku yang ada di Papua mestinya dilestarikan. Berbagai nilai-nilai budaya, ritus-ritus, symbol dan benda-benda budaya mestinya dikaji dan diinventarisasi. Selain itu, berbagai nilai budaya yang baik perlu diajarkan sehingga bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Papua yang saat ini dan generasi yang akan datang.
Pendidikan nilai-nilai budaya tersebut menjadi sangat penting bagi masyarakat Papua yang kini sedang berhadapan dengan perubahan dan perkembangan zaman serta berbagai pengaruh budaya luar, kebijakan politi dan agama. Ketidakberakaran masyarakat Papua pemilik budaya Papua itu sendiri bisa berdampak pada terombang-ambingnya kehidupan masyarakat Papua itu sendiri dan akhirnya berdampakan pada terancamnya manusia Papua itu sendiri.
Karena itu, kejadian Patola dalam Festival Danau Sentani mesti menjadi pelajaran penting bagi seluruh komponen masyarakat Papua mulai dari masyarakat kecil hingga terutama para pengambil kebijakan di Papua. Masyarakat Papua mesti kembali didorong untuk berakar pada nilai-nilai budayanya yang luhur dan berani menolak berbagai bentuk budaya baru yang bisa membahayakan eksistensi manusia Papua itu sendiri.
Tentu saja ada nilai-nilai baik dalam budaya dari luar yang bisa dipetik namun bukan dengan cara menerima apa adanya budaya luar tersebut. Akan tetapi, masyarakat Papua hanya bisa menyeleksi nilai-nilai budaya luar yang baik yang bisa dipakai dalam kehidupan setiap hari jika masyarakat Papua itu sendiri berakar pada budayanya sendiri.
Untuk berakar pada budaya sendiri maka syarat mutlaknya adalah kembali mencintai budaya sendiri dan bangga akan budaya Papua. Selain itu, para akademisi dan budayawan perlu melakukan kajian tentang berbagai budaya di Papua agar masyarakat Papua sendiri bisa melakukan kritik yang membangun atas budayanya sendiri.
Selain kajian atas budaya Papua, peran Dewan Kesenian Papua sangatlah penting dalam melakukan upaya pelestarian budaya. Salah satunya adalah melakukan pendataan bukan saja budaya tetapi juga suku-suku manusia Papua.
Selain itu, pemerintah pun mesti didorong untuk terlibat aktif untuk melakukan upaya-upaya perlindungan budaya dan manusia Papua bukan hanya sebatas menjadi bahan pameran untuk menyenangkan orang luar. Karena itu, kebijakan-kebijakan pemerintah mesti benar-benar memiliki basis nilai budaya dan terkandung upaya perlindungan terhadap manusia dan budaya Papua. Untuk itu, peran MRP menjadi penting. MRP mesti lebih proaktif untuk mendorong kebijakan yang melindungi manusia dan budaya Papua.
Sementara itu, berbagai Festival budaya yang ada di Tanah Papua pun mesti dilakukan dengan suatu kesadaran bahwa pelestarian budaya adalah inti dari penyelenggaraan Festival tersebut. Karena itu, Festival Budaya tidak bisa lagi hanya menjadi rutinitas, tetapi mesti ada upaya pemaknaan nilai-nilai dalamnya. Maka, penyelenggaraan Festival di Papua mestinya disusun bersama dengan para budayawan dan antropolog Papua dan tidak lagi diselenggarakan oleh Pemerintah melalui Even Organizer yang berasal dari luar Papua dan tidak mengerti budaya Papua atau bahkan memberikan kebebasan kepada MC untuk mengatur Festival tanpa desain konsep dan tujuan Festival yang penuh penghargaan atas nilai budaya Papua. Kalau demikian maka berbagai goyang atau jenis tarian dari luar seperti Patola tidak mendapat panggung dalam kehidupan masyarakat Papua dan bukan hanya dalam panggung Festival.
Semoga!!
Oleh: Norberd Kemi Bobii
Discussion about this post