
Wamena, Nokenwene.com – Bagi kaum perempuan di Lembah Baliem Wamena, wajib hukumnya menyumbang noken kalau seorang bayi dilahirkan. Mereka bahkan sudah merajut noken sejak bayi masih dalam kandungan sang ibu. Tradisi ini memiliki makna bahwa seorang bayi yang lahir polos tanpa busana ini harus dibungkus dengan noken sebagai tempat tidur dan untuk digendong saat beraktifitas. Seorang Ibu dianggap tidak tahu adat kalau menjenguk bayi tanpa dibekali sebuah noken.
Noken merupakan warisan suku-suku yang termasuk ras Melanesia yang ada di Tanah Papua. Setiap suku di Papua memberi nama sendiri untuk tas multifungsi ini ke dalam bahasa daerah masing-masing. Masyarakat Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya menyebut Noken dalam bahasa daerah adalah Su.
Layaknya kaum perempuan di dunia yang menyukai tas, tak terkecuali perempuan di Wamena. Para Wanita di wamena merasa tidak lengkap kalau tidak menggunakan noken atau su, Pada saat mereka melaksanakan acara- acara adat dan pesta pesta adat serta acara pernikahan perempuan. Bahkan kemanapun mereka pergi harus menggantungkan noken di kepala, karena jika mereka tidak menggunakan noken merasa tidak lengkap. Inilah yang membuat kaum perempuan di Wamena sangat identik dengan Noken atau Su,
Noken atau tas tradisonal ini memiliki banyak manfaat bagi masyarakat Jayawijaya dan pegunungan tengah Papua, antara lain membawa hasil kebun, kayu api, atau ternak yang dipanen dari kebun untuk dijual di pasar atau sebaliknya. Pelajar dan mahasiswa juga banyak yang menggunakan Noken, berukuran kecil, untuk membawa buku dan alat tulis. Bahkan di era sekarang di Wilayah Pegunungan Papua, Noken menggantikan peran kotak suara pada pemilihan Umum.
Dari semua manfat Su tersebut yang paling penting bagi masyarakat Lembah Baliem Wamena adalah Su yang juga memiliki nilai budaya yang masih sangat tinggi dan melekat di Wamena. Pada pesta adat tertentu Suh berperan penting sebagai alat barter atas sumbangan ternak babi yang diberikan keluarga pada pesta adat tersebut.
Nilai budaya lainnya dari Su atau Noken yang hingga saat ini masih berlaku bagi masyarakat Lembah Baliem Wamena adalah saat seorang bayi yang baru dilahirkan. Bagi masyarakat pribumi Wamena wajib hukumnya kalo seorang bayi dilahirkan keluarga dari sang ayah dan ibu si bayi tersebut harus menyambut bayi itu dengan Suh atau Noken
Suk Korok

Mama merajut Su atau Noken semenjak bayinya masih dalam kandungan sang mama. Masyarakat Wamena masih mengganggap tidak tahu malu dan tidak tahu adat jika menjenguk bayi tanpa membekali hadiah sebuah noken. Ini sebuah tradisi yang sudah ditanamkan sejak moyang yang artinya seorang bayi yang baru lahir dengan polos dan tanpa busana ini harus dibungkus dalam noken, sebagai tempat tidur, dan untuk digendong oleh sang ibu saat beraktivitas. Ketika masyarakat mendengar kabar jika keluarganya yang sedang hamil dan telah melahirkan, mereka akan menjenguk sambil membawa Suh atau Noken yang telah disiapkan sebelumnya.
Su yang disumbang kelurga ini jumlahnya bisa mencapai 50 hingga 100 noken. Bahkan lebih tergantung jumlah keluarga sang ayah dan ibu dari bayi baru lahir tersebut.
Lalu apa yang akan dilakukan setelah noken-noken ini terkumpul? Tentu akan digunakan untuk menggendong si bayi . Tapi sebelumnya sebagian dari Su ini akan diserahkan kepada keluarga bapak dari sang bayi yang oleh masyarakat Wamena menyebutnya suh korok.
Korok (melepaskan dari gantungan) artinya melepas Su dari gantungan dan menyerahkan kepada keluarga sang ayah dari si bayi, sebagai bentuk melepaskan beban. Korok harus diserahkan kepada keluarga ayah bayi baru lahir tersebut tidak meneruskan marga atau fam kelurga perempuan, melainkan keluarga laiki-laki sehingga Korok harus diserahkan kepada pihak laki-laki.
Setelah sebagaian dari noken atau suh tersebut dibagi sebagai Korok kepada keluarga Selebihnya su yang telah disumbang keluarga digunakan sebagai tempat untuk mengisi atau menggendong bayi.
Tradisi mengisi bayi kedalam noken atau suh tidak serta merta mengisi bayi tersebut kedalam noken tapi di sini ada juga aturannya tersendiri.
Su yang terkumpul tersebut selanjutnya akan dibagi menjadi tiga bagian untuk mengisi bayi, masing-masing “Aleka, A Su” (tempat isi bayi), “salek” penutup Lapisan ke dua dan “Asu Lakulik” atau penutup paling luar. Ketiga lapisan ini masing-masing akan disisipkan empat lembar Su.
Empat noken pada lapisan pertama atau yang disebut dengan Aleka Su . Asu akan disatukan dan diikat sebagai tempat untuk mengisi bayi. Sebelum memasukan bayi pada bagian ini, dahulu sebelum adanya pemerintah akan disi daun pisang dan beberapa daun lain sebagai alas. Namun diera sekarang, lapisan ini akan dimasukan kain dan bantal menggantikan daun pisang tersebut.
Sementara empat noken lainnya dilapisan kedua yang disebut Salek sama halnya dengan Aleka Su. Bagian ini juga akan diikat jadi satu, tapi salek tidak bisa mengisi bayi, karena empat lembar. Noken tadi bukan disatukan layaknya empat su pertama melainkan disusun.
Selanjutnya lapisan paling luar adalah Suh Lakulik. Bagian ini yang biasanya harus pilih Su atau noken yang warnanya menarik, bagian paling luar ini tidak bisa dipasang sembarang noken. Biasanya akan dipilih oleh para ibuh yang suda cukup berpengalaman untuk menentukan warna maupun kualitas dari noken tersebut,
Setelah dipilih empat noken, sama halnya lapisan pertama dan ke-dua, Lapisan ini juga akan diikat jadi satu. Tapi cara mengikatnya tidak seperti lapisan-lapisan sebelumnya. Caranya setiap pegangan dari ke-4 noken tersebut akan dililit jadi satu sampe tidak kelihat bagian pangkal bawa sehingga orang awam akan sulit membedahkan bagian pangkal dan ujung atau pegangan dari Noken tersebut.
Dalam penggunaannya lapisan ini sewaktu-waktu bisa dirubah –penampilan luarnya. Dalam hal ini dari empat noken pada lapisan ke-tiga tersebut sang ibu dari si bayi sewaktu- waktu bisa gonta-ganti noken dengan warna yang berbeda setiap saat, jika ingin menggantinya.
Setelah semua tahapan ini dilalui, selanjutnya si bayi baru lahir akan di isi kedalam Suh atau Noken sebagai tempat tidur tetapi juga sebagai tempat gendong saat sang ibunya beraktivitas. Cara menggendongnya bukan di lengan sebagaimana penggunaan tas modern melainkan di kepala. Dari kepala posisi noken menggantung ke bagian belakang dan posisi bayi persis di bagian punggung ibunya.
Meski saat ini masyarakat tidak lagi merajut noken/suh dari bahan alami (kulit beberapa jenis kayu) melainkan noken yang dirajut dari benang modern. Tapi tradisi ini masih berlaku bagi masyarakat Dani di Lembah baliem – Wamena. Keluarga akan marah jika seorang ibu yang menggendong anaknya tidak dengan Noken/ Su. Naik Motor pun mama di Wamena tetap menggantung Suh yang berisi bayi di kepala menggantung ke bagian punggung
Penulis: Ronny Hisage
* Tulisan ini perna dimuat di tabloidjubi.com dan Koran Jubi
Discussion about this post