Oleh: Ronny Wesay
Sudah sebulan, pasar Wouma sepi tidak seperti biasanya. Mama-mama yang selalu memenuhi pasar yang terletak di pinggiran kota Wamena itu tidak sebanyak biasanya. Penyebabnya adalah konflik horizontal antara masyarakat Asolokobal dan masyarakat Kurima.
Jalan Trans Wamena – Kurima yang menjadi penghubung kota Wamena Kabupaten Jayawijaya dan sebagian wilayah di Kabupaten Yahukimo pun tidak seramai biasanya. Tidak ada lagi aktifitas masyarakat dari dan ke kota Wamena yang biasanya dilakukan menggunakan jasa angkutan umum roda 4. Kondisi ini terjadi sejak tanggal 22 Februari 2018 lalu, namun belum ada perubahan hingga memasuki minggu keempat.
Kondisi ini bermula pada Minggu 18 Februari 2018. Seorang pemuda dari wilayah Megapura dihadang oknum pemuda lainnya di Jalan Wamena Kurima tepatnya di sekitar Distrik Wouma. Oknum pemuda tersebut mengancam dengan senjata tajam dan membawa kabur motor milik korban. Keluarga korban kemudian mendatangi pihak keluarga pelaku untuk memintah pihak keluarga pelaku agar segera mengembalikan motor tersebut dalam rentang waktu 3 hari. Tiga hari berlalu (tanggal, 19 – 21 Februari 2018) motor tak kunjung dikembalikan. Pada 22 Februari Keluarga korban pun segera memblokade jalan trans Wamena – Kurima di Kampung Sinata Megapura tepatnya(di depan rumah korban / pemilik motor).
Kejadian seperti ini sudah sering terjadi di wilayah Jayawijaya. Namun seringkali kejadian serupa berlangsung lama tanpa ada penyelesaian yang jelas hingga adanya rekonsiliasi. Konflik horizontal di Jayawijaya seringkali berakhir dengan balas dendam dan denda. Artinya konflik hanya berhenti setelah jumlah korban seimbang pada kedua belah pihak lalu diadakan penyelesaiannya dengan sejumlah denda.
Focus tulisan ini bukan pada aksi balas dendam itu melainkan dampaknya yang menghambat aktifitas warga dan bagaimana pemerintah bersikap. Dari berbagai kasus serupa yang terjadi selama ini, perlu kiranya mendapat perhatian serius dari pemerintah agar tidak membiarkan kejadian serupa berlarut-larut.
Pihak kepolisian telah mengetahui adanya pemalangan sejak awal dilakukan pemalangan jalan di wilayah Megapura. Namun pihak Kepolisian Polres Jayawijaya enggan membuka palang dengan dalil untuk menghindari dampak yang lebih luas.
kami tidak akan buka palang untuk hindari dampak lebih luas kata Kapolre Jayawijaya AKBP Yan Pieter Reba, dikutip berita pagi RRI Wamena, Sabtu, 24 Februari 2018.
Pihak kepolisian hanya pergi memantau tempat masyarakat melakukan pemalangan dan membiarkan masyarakat tetap memalang jalan trans Wamena-Kurima. Pembiaran ini berdampak pada pengeroyokan seorang pemuda lainnya di tempat pemalangan tersebut hingga menyebabkan korban meninggal dunia dengan luka bacokan di perut. Polisi kemudian turun tangan untuk mengangkut mayat korban ke RSUD Wamena.
Ketegangan pun meningkat. Kedua belah pihak mulai mengatur strategi perang. Meski perang tidak terjadi, dampaknya meluas. Beberapa sekolah di sekitar wilayah konflik diliburkan, aktivitas ekonomi masyarakat lumpuh total, ASN dan pekerja lainnya tidak bisa menjalankan tugasnya. Transportasi di wilayah Trans Wamena Kurima pun tidak berjalan hingga saat ini.
Ketakutan pihak kepolisian akan meluasnya konflik horizontal sehingga tidak melakukan intervensi terhadap aksi pemalangan jalan itu justru terjadi sebaliknya. Konflik tetap terjadi bahkan hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan efeknya pun luas. Ruas jalan trans Wamena-Kurima pun menjadi sepi dan transportasi tidak berjalan.
Dampaknya, mobilitas masyarakat dan barang dari sebagian wilayah Yahukimo terhenti. Demikian pun masyarakat Jayawijaya di distrik Asolokobal, Welesi, Asotipo, Maima hingga Popugoba tidak bisa bebas lagi bepergian untuk berjualan ke kota Wamena. Demikian pun para sopir taksi atau Ojek yang beroparasi di ruas jalan tersebut pun kehilangan pendapatannya.
Kondisi ini telah berlangsung selama tiga minggu dan belum ada tanda-tanda penyelesaiannya. Banyak pihak yang kehilangan pendapatan. Bukan tidak mungkin, akibat kehilangan pendapatan tersebut muncul persoalan baru lagi. Kini masyarakat sedang menantikan jalan penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat kepolisian. Namun masih adakah mereka yang bertanggung jawab atas persoalan masyarakat seperti itu? Dengan kata lain, masih adakah Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, pemerintah distrik, Wakil rakyat? Masih adakah aparat Kepolisian yang adalah pengayom dan pelindung rakyat itu?
Pemerintah kalau memanfaatkan masyarakat untuk program dan proyek boleh, tapi kalau yang begini mereka tra mau urus. Demikian diungkapkan Herly, seorang warga di Jayawijaya.
Komentar seperti ini bukanlah hal baru lagi. Sudah terlalu sering konflik horizontal dibiarkan. Masyarakat pun seperti dibiarkan menanggung persoalannya sendiri. Sementara itu, gaung pilkada membuat aparat keamanan selalu ada di berbagai tempat di sekitar tempat-tempat kampanye. Rakyat menjadi objek dalam perebutan kekuasaan melalui pilkada dan selanjutnya diabaikan dan mengurus masalahnya sendiri.
Sementara pilkada sendiri sudah dekat dan keamanan adalah salah satu hal yang menjadi fokus pemerintah dan pihak keamanan. Untuk proses pilkada ini, dana keamanan pun tidak sedikit. Namun kasus-kasus yang terjadi menjelang pilkada ini dibiarkan begitu saja dan masyarakat harus menyelesaikannya sendiri termasuk dengan cara main hakim sendiri. Jika masalah seperti ini tidak segera ditangani, maka bukan tidak mungkin akan muncul konflik yang lebih besar dan semakin sulit ditangani.
Kini masyarakat sedang was-was dan belum bisa melaksanakan aktivitasnya dengan baik. Alat tajam pun selalu dibawa untuk menjaga diri. Dan pilkada semakin membuat suasana memanas jika konflik seperti itu tidak segera diselesaikan. Kepada siapakah masyarakat harus berharap? Semoga saja negara ini masih ada bagi masyarakat kecil.
Tulisan ini pernah dipublikasi pada Tabloid Jubi edisi cetak.
Discussion about this post