Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman
Militer dan Rasisme adalah akar persoalan Papua, bukan masalah KESEJAHTERAAN. Karena itu, hanya bagi orang sehat rohani dan jasmani selalu dengan yakin mengatakan, bahwa Papua itu persoalan MILITER dan RASISME.
Sebaliknya, orang yang berada dalam keadaan tidak normal, tidak sehat rohani dan jasmani, mata buta, telinga tuli, hati nurani mati yang selalu mengatakan KESEJAHTERAAN sebagai akar persoalan Papua.
Kata KESEJAHTERAAN adalah lagu lama dari Amir Machmud sejak 2 Juli 1969 di Merauke yang terus diputar berulang-ulang dari waktu ke waktu oleh penguasa kolonial modern Indonesia untuk menutupi kekerasan negara berbasis rasisme, dan ketidakadilan di Papua yang sudah berlangsung selama 58 tahun.
Ada dua pertayaan kunci yang perlu penulis ajukan dalam artikel ini.
1. Apa perbedaan Operasi Teritorial (OT), Operasi Militer (OM) dan Operasi Tempur (OT)?
Penulis belum paham banyak tentang istilah dan siasat militer, maka tidak dijelaskan secara menditail perbedaan OT, OM, OT karena bukan domain penulis. Tapi, menurut pemahaman penulis, bahwa apapun istilahnya, OT, OM dan OT itu semua adalah operasi militer untuk mempertahankan, merampok, mencuri, dan menjarah Tanah dan Sumber Daya Alam (SDA) di Papua minus manusianya.
Orang Asli Papua (OAP) bukan urusan bangsa Melayu, karena OAP dianggap penghalang atau pengganggu usaha penjajahan pendudukan Indonesia di seluruh Tanah Papua dari Sorong-Merauke.
Orang Asli Papua dimiskinkan, dipinggirkan, dibuat tidak berdaya, dibuat ketaatan “semu” dan dilabel separatis, makar, OPM, KKB, dan teroris dan dibantai seperti hewan dan binatang sebagai bagian dari proses genosida (genocide).
Istilah Operasi Teritorial itu bukan istilah baru. Operasi Teritorial itu sudah berlangsung di Papua sejak 1 Mei 1963. Sesungguhnya Operasi Militer dan Operasi Tempur itu dikemas dalam istilah Operasi Teritorial, karena yang merancang dan melaksanakan militer untuk merampok dan mencuri Tanah dan Sumber Daya Alamnya dan melindungi para kaum pendatang untuk menguasai Tanah Papua.
Berikut ini penulis sampaikan istilah Operasi Militer di Papua yang dipakai oleh militer Indonesia, sebagai berikut:
1. Operasi WISNUMURTI yang dikeluarkan oleh Men/Pangad Jenderal A.Yani, pada 1963 untuk menghadapi, menindas, membantai dan memusnahkan OAP.
2. Operasi SADAR yang dikeluarkan oleh Komando Pangdam Trikora Brigjend R.Kartidjo, untuk menghadapi dan menindas dan membantai OAP.
3. Operasi BARATAYUDHA (1966-1967) yang dipimpin Pangdam Trikora Brigjen R. Bintoro, untuk menghadapi dan menindas dan membantai OAP.
4. Operasi PAMUNGKAS dipimpin oleh Kodim Biak yang dipimpin oleh Dandim Biak, Mayor R.A.Hendrik dan Mayor Puspito Komandan Yon. 753, untuk menindas dan membantai orang asli Papua pada tahun 1971.
5. Operasi SENYUM yang dikeluarkan oleh Panglima ABRI M. Yusuf untuk menghancurkan dan membantai OAP.
6. Operasi GAGAK I (1985-1986) yang dipimpin oleh Pangdam Mayjen H. Simanjuntak untuk menindas dan membantai OAP.
7. Operasi GAGAK II (1986-1987) dipimpin oleh Pangdam Mayjen Setiana, untuk menghancurkan dan membantai orang asli Papua.
8. Operasi KASUARI I (1989-1990) oleh Pangdam Mayjen Abinowo, untuk menghancurkan dan membantai OAP.
9. Operasi KASUARI II (1990-1991) yang dilaksanakan oleh penggantinya Pangdam Mayjen Arismunandar, untuk menghancurkan dan membantai OAP.
Operasi Teritorial itu untuk pembentukan desa binaan, kampung binaan, membina tokoh laki-laki dan perempuan serta pemuda, pembangunan infrastruktur militer dan REMILITERISASI di Papua.
Operasi Teritorial itu bukan hal baru, terbukti dengan keluarga yang dikirim sebagai Transmigrasi.
“Transmigrasi yang didalamnya juga masuk keluarga ABRI dan para pensiunan ABRI….Para purnawirawan ABRI yang ikut dalam pemukiman transmigrasi sekaligus menjadi Intel Kodam dalam mengawasi daerah itu.” (Sumber: Heboh Papua: Amiruddin al Rahab: 2010:55).
Tidak heran, penguasa bangsa kolonial ini selalu bersilat lidah dan terus berbohong dan bersembunyi atas nama kedaulatan bangsa, kenyataannya hanya untuk kepentingan Tanah dan Sumber Daya Alamnya. Untuk kepentingan merampok Tanah dan SDA Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata dengan rekayasa Pepera 1969.
“Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer (hal. 42)… “orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI.” ( Amiruddin: hal.43).
Di Papua dalam Otonomi Khusus Jilid I benar-benar sukses REMILITERISASI di seluruh Papua. Jadi, Papua itu sudah menjadi rumahnya militer, yaitu Operasi Teritorial, Operasi Tempur dan Operasi Militer.
Persoalan Papua yang berakar dari kekerasan militer yang berbasis diskriminasi RASIAL sejak 1 Mei 1963 seperti ini telah menyebabkan Papua LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia yang tidak bisa diselesaikan dengan Operasi Teritorial, nanti luka semakin membusuk dan bernanah.
Prof. Dr. Franz Magnis, sudah sampaikan kesimpulan penderitaan rakyat Papua dengan sempurna dan jelas sebagai berikut.
“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya untuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus.”
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
2. Apakah benar KESEJAHTERAAN adalah akar sejarah konflik Papua dengan Indonesia?
Lagi pula, Persoalan Papua bukan masalah “kesejahteraan” karena kata “kesejahteraan” bukan pernyataan baru. Itu pernyataan lama sejak 1969, tapi yang diulang-ulang oleh penguasa kolonial modern Indonesia sampai saat ini.
Menteri Dalam Negeri Indonesia Jenderal TNI Amir Machmud pernah berjanji dihadapan peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) pada 2 Juli 1969 di Merauke, sebagai berikut:
“…pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk KESEJAHTERAAN rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia.”
( Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 28, p.42).
Pernyataan Amir Machmud “…..pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk KESEJAHTERAAN rakyat Irian Barat” sangat kontras dengan fakta-fakta selama 52 tahun sejak 1 Juli 1969. Yang dialami orang asli Papua sekarang bukan perlindungan dan kesejahteraan, tapi kekejaman Negara yang diperlihatkan dari waktu ke waktu.
Dengan tepat Theo van den broek mengatakan:
“…suara yang begitu terang untuk meminta perubahan pendekatan dalam menagani persoalan Papua, dari pendekatan keamanan ke pendekatan dialog, tidak didengar oleh pemerintahan di Jakarta. Bahkan, Presiden Jokowi semakin bergerak ke belakang dan perlahan-lahan keluar dari kerumitan persoalan Papua, sedangkan panggung semakin diduduki oleh pensiunan militer: Moeldoko, Ryamizard, Henropriyono, Prabowo, dan Wiranto. Dan, hal ini bukan berita baik bagi Papua.” (Sumber: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum, 2019: 35).
Pendekatan Operasi Teritorial dengan jelas untuk memperkuat Kolonialisme, militerisme, kapitalisme, rasisme, fasisme, diskriminasi, ketidakadilan, marginalisasi, pelanggaran berat HAM, genosida (genocide), sejarah Pepera 1969 yang cacat hukum, moral dan tidak demokratis yang dimenangkan ABRI (kini: TNI) dengan moncong senjata adalah sumber sejarah konflik kekerasan Negara yang terlama/terpanjang di Asia yang menyebabkan wilayah Papua menjadi luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Akar persoalan Papua bukan KESEJAHTERAAN. Karena Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah menemukan dan memetakkan empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
“Miminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”
“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”
“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”
Doa dan harapan saya, tulisan ini membuka wawasan para pembaca. Selamat mengecap dan menikmati tulisan ini.
Ita Wakhu Purom, Senin, 29 November 2021
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
2. Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
4. Aliansi Baptis Dunia (BWA).
Discussion about this post