Oleh Pilipus Robaha
Olvah Alhamid hari-hari ini menjadi buah bibir masyarakat Papua. Itu setelah Cenderawasih Papua ini diundang ke Rosi (Kompas TV), sebuah acara yang dipandu Rosiana Silalahi dengan thema “JOKOWI DAN POLITIK DI PAPUA”, pada Kamis, 7 Oktober lalu.
Sikap dan kata-katanya dalam acara tersebut membuat saya teringat waktu liburan pertama saya, saat SMP YPK Paulus Dok V Jayapura dulu. Ketika liburan itu, saya memilih berlibur ke kampung Ansus-Kabupaten Kepulauan Yapen.
Kampung Ansus adalah tempat kelahiran saya dan juga bapak saya. Kampung Ansus ini bersebelahan dengan kampung Papuma, kampung mama saya. Agar masa liburan saya adil, sebelum waktu liburan selesai, saya pergi ke pasar yang ada di kampung kelahiran saya. Dari pasar, saya menumpang sebuah perahu Jhonson ke kampung Papuma.
Di kampung Papuma ada satu gunung tinggi bernama Karangdami. Di gunung Karangdami hidup berbagai macam jenis burung. Salah satu burung terindah yang ada di gunung Karangdami adalah burung Cendrawasih.
Gunung Karangdami yang gagah dan burung Cendrawasih yang indah sering menjadi cerita pengantar tidur di waktu kecil. Ini membuat keinginan untuk mendaki gunung tersebut dan melihat burung Cendrawasih menguat di hati. Berharap diantar ke gunung karangdami, saya bertanya ke tete saya dimana gunung Karangdami? Dan apakah di gunung Karangdami ada burung Cendrawasih?
“Yang ada tinggi sana itu yang kitong bilang Karangdami. Di Karangdami burung Cendrawasih ada banyak. Tapi hari ini tete tidak bisa antar ko pergi ke Karangdami” Kata tete saya.
Dengan hati malas karena tidak bisa mendaki gunung bersejarah bagi beberapa marga di kampung Papuma saya bilang “ya, tidak apa-apa tete, kitong dua ke dusun saja”.
Tete sepertinya tahu kalau saya ingin mendaki gunung Karangdami untuk melihat langsung burung Cendrawasih. Tapi matahari pun sudah hampir membagi bumi Papuma, dan mendaki gunung Karangdami sudah tak mungkin lagi.
Untuk menghibur saya, Tete menceritakan sifat tidak baik dari burung yang di juluki burung Surga itu. Saya tahu tete bermaksud agar saya tidak terobsesi untuk melihat burung Cendrawasih karena bulunya indah dan kicauan suaranya yang merdu.
Sudah lama saya lupa akan sifat buruk burung Cendrawasih yang diceritakan tete. Tetapi beberapa hari ini ingatan itu muncul kembali setelah “Cendrawasih” bernama Olvah Bwefar Alhamid viral di media sosial.
Kata tete saya, burung Cendrawasih memang memiliki perpaduan warnah bulu yang membuatnya terlihat cantik serta memiliki kicauan yang merdu. Dua perpaduan yang membuatnya dijuluki burung surga. Tapi bagi tete saya, bulu yang indah dan suara yang merdu membuatnya menjadi burung yang malas.
Bulu yang indah membuatnya malas. Kemalasannya itu dapat diamati dari dia jarang sekali turun ke tanah hanya karena takut bulunya rusak. Hari-harinya hanya terbang dari satu dahan pohon ke satu dahan pohon yang lain. Ketika dia mengeluarkan suaranya untuk bernyanyi, dia akan menari hingga lupa diri dan terkadang bisa terjatuh.
Apa yang dikatakan tete saya belasan tahun yang lalu merupakan pengetahuan yang telah bermasyarakat di kampung Papuma. Pengetahuan tersebut didapati dari pengamatan mereka ketika pergi ke dusun, tempat dimana mereka dapat melihat keseharian burung Cendrawasih dan menemukan sisi negative dari burung surga tersebut.a
Bagi saya, sisi tidak baik dari burung Surga yang disampaikan tete saya belasan tahun lalu itu dapat dialamatkan kepada putri intelejensia Indonesia perwakilan Papua Barat, Olvah Alhamid.
Olvah Alhamid kini seperti burung Cenderawasih yang jadi buah bibir banyak orang. Seperti Cenderawasih dengan bulu yang cantik dan kicauannya yang merdu, Olvah pun viral karena kicauannya.
Saat berdebat dengan Asfinawati, SH. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam acara ROSI, Olvah Alhamid berkicau agar Asfinawati tidak bicara soal HAM di Papua karena tidak pernah tinggal di Papua.
Olvah menuntut agar Asfinawati harus tinggal minimal satu atau dua bulan di Papua baru bicara masalah HAM di Papua. Kicauannya ini untuk membenarkan posisinya berbicara tak ada pelanggaran HAM di Papua karena dirinya dan keluarganya tinggal di Papua.
Olvah menghardik Asfinawati agar tidak bicara persoalan HAM di Papua hanya berdasarkan laporan atau data. Tetapi dapat dan atau boleh bicara masalah HAM di Papua jika pernah tinggal Bumi Cendrawasih sebagaimana dirinya dan keluarganya.
Tuntutan Olvah sekaligus mengeksklusi orang yang tidak tinggal di Papua untuk bicara tentang persoalan Papua termasuk HAM. Namun kicauannya itu sekaligus melahirkan tanya dan tuntutan pada dirinya sendiri. Apa yang telah dilakukan Olvah atas sekian banyak orang Papua yang gugur di moncong senjata aparat atau dikerangkeng dalam penjara karena menyuarakan penderitaan dan hak politiknya?
Tak pernah terdengar ada tindakan Olvah dalam melakukan advokasi HAM di Papua. Yang terdengar tentangnya hanyalah serangannya di media sosial terhadap sejumlah aktivis HAM seperti Veronica Koman.
Tentang advokasi HAM, Olvah sebenarnya tidak berbuat apa-apa, hanya kicauan serangannya yang terdengar dan disukai para penggemar NKRI harga mati. Tidak berbuat apa-apa tetapi berkicau inilah yang tak bedahnya dengan salah satu sifat lupa diri dari burung kuning.
Burung kuning jarang terlihat turun ke tanah karena takut buluhnya rusak. Ia hanya terbang dan hinggap dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain sambil berkicau (siul) dan menari hingga lupa diri.
Sikap lupa diri yang dimiliki oleh burung Cendrawasih, sama dengan Olvah Bwefar Alhamid yang tinggal di Papua, tapi tidak pernah turun ke kampung-kampung atau wilayah-wilayah di Papua yang terjadi kontak senjata antara TNI/POLRI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Olvah terus berkicau menyerang orang di luar Papua yang bersuara tentang korban HAM tetapi Olvah tidak turun melihat ribuan masyarakat mengungsi ke hutan-hutan karena operasi militer Indonesa yang brutal.
Namun ketika berkicau soal masalah yang terjadi di tanah Papua, kicauannya dianggap paling benar, hanya karena ia tinggal di Papua. Sementara mereka yang mendapat laporan dari jaringan kerja di lapangan dianggap tidak benar dan tidak tahu apa-apa soal Papua. Pikiran kerdil seperti itu, tak bedahnya dengan sikap sombongnya burung Cendrawasih yang jarang turun ke tanah karena takut bulunya rusak. Tapi ketika bersuara merasa hanya suaranya saja yang merdu sementara yang lain fals dengan nada sumbang.
Jika memang harus seperti yang dikatakan Olvah, tinggal di Papua baru boleh bicara masalah HAM Papua, bukankah para diplomat Indonesia di PBB terus menyangkal pelanggaran HAM Papua tetapi tidak tinggal di Papua? Bahkan presiden dan para menterinya bicara hal baik tentang peran negara di Papua dan menyangkal kejahatan negara itu pun tidak tinggal di Papua lebih dari seminggu? Mereka pun bicara berdasarkan laporan.
Tuntutan Olvah pun memiliki konsekuensi. Jika ingin tahu apa yang terjadi dengan dan apa keinginan orang Papua, maka sudah seharusnya pemerintah memberi izin bagi komisioner HAM PBB yang ingin datang dan tinggal di Papua mendengarkan dan mencari tahu apa yang terjadi di dan dengan orang Papua.
Antonio Guteres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjend PBB) pada pidato pembukaan sidang umum ke 76 PBB di New York (23 Oktober 2021) mengangkat soal kekerasan Indonesia di Papua. Itu karena berbagai laporan, bukan karena ia tinggal di Papua. Maka jika konsisten, Olvah pun harus menuntut pemerintah Indonesia memberi izin kepada Antonio Guters untuk datang ke Papua dan mengalami langsung apa yang terjadi di Papua sehingga tidak lagi bicara berdasarkan laporan, tapi karena tinggal di Papua.
Atau kalau mau lebih konsisten lagi, Olvah pun bisa menuntut Pemerintah Indonesia memberi ruang bagi PBB untuk menjadi penyelenggara referendum di Papua supaya jelas apa keinginan masyarakat Papua. Bukankah tuntutan untuk tinggal di Papua itu supaya mengetahui apa yang terjadi dan apa yang diinginkan orang Papua?
Bisakah Olvah berkicau untuk itu?
*Penulis adalah
Discussion about this post