Oleh: Pilipus Robaha*
Apakah tindakan kedua orang anggota Tentara Nasional Indonesia-Angatan Udara (TNI-AU) di Kabupaten Merauke – Provinsi Papua, itu rasis atau tidak? Apakah yang dipikirankan Serda Dimas Harjanto dan Prada Rian Febrianto pelaku tindakan penyiksaan terhadap Steven (18) penyandang disabilitas (tunawicara) yang lagi ribut di Warung Bubur Ngapak di Jalan Raya Mandala-Mulia Merauke itu? Apakah keduannya ingin mengamankan pemuda tersebut atau ingin melerai sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau), Marsma Indah Gilang Buldansyah?
“Insiden yang diawali dari keributan seorang warga yang diduga mabuk dengan anggota POM AU yang bermaksud melerai,” ungkap Indah. Tribunnews.com, Rabu (28/7/2021) dikutip dari Kompas.com.
Namun dari rekaman video yang beredar viral itu, siapa saja bisa mengintrepetasikan tindakan tersebut dan bisa saja sependapat dengan pelaku dari Institusi TNI-AU bahwa itu adalah tindakan ingin mengamankan korban.
Pemilik Warung Bubur Ngapak, dimana korban yang diketahui adalah penyadang disabilitas atau orang dengan kebutuhan khusus namun lagi dipengaruhi minuman keras, tentu ingin mengamankan tempat usahanya.
Selain pemilik warung dan Kadispenau yang memiliki penilaian awal atas peristiwa tersebut, bahwa itu adalah tindakan pengamanan atau ingin melerai. Bisa dilihat dari video yang beredar itu bahwa bukan hanya pemilik warung dan Kadispenau yang merasa bahwa itu adalah tindakan ingin melerai. Namun jika dilihat dari video berdurasi 1 menit 21 detik tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang ada disaat kejadian itu pun seakan sepakat bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang wajar harus dilakukan.
Asumsi ini bisa dilihat dari tidak ada satu pun yang berani melerai tindakan kedua anggota berperilaku preman tersebut. Atau bisa jadi orang-orang yang ada di TKP saat kejadian takut sama dua jagoan dari Lanud Merauke, bisa iya.
Selain penilaian standar bahwa itu adalah tindakan ingin melerai. Ada juga intepretasi yang lain bahwa tindakan kedua orang anggota provos Angkatan udara Lanud Merauke itu bisa jadi adalah tindakan penyiksaan. Contohnya, Ketua Komnas Hak Asasi Manusia perwakilan Papua, Frits Ramandey, mengatakan bahwa tindakan kedua anggota TNI AU yang bertuas di Lanud JA Dimara Merauke, mengandung unsur penyiksaan dan rasis bagi orang Papua.
“Tindakan kedua anggota TNI AU tersebut bernuansa penyiksaan dan rasis bagi orang Papua, terlebih korban merupakan penyadang difabel” Tegas Ramandey. Kompas. Rabu, 28 Juli 2021.
Bagi saya, penilaian siapa saja atas kejadian yang oleh kebanyakan orang Papua sama seperti dengan kejadian tak manusiawi yang menimpa George floyd, warga kulit hitam di Amerika, yang dilakukan seorang polisi federal Mineapolis Amerika Serikat, berkulit putih bernama Derek Chauvin, tak bisa dinyatakan salah. Semua orang bisa berpendapat sesuai dengan peran, posisi dan kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Berdasar pemahaman saya yang terbatas tentang Hak Asasi Manusia, saya sependapat dengan apa yang dinilai oleh Ketua Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey. Namun tanpa harus melakukan investigasi, saya lebih tegas menilai bahwa apa yang dilakukan Serda Dimas Harjanto dan Prada Rian Febrianto yang adalah anggota TNI-AU yang bertugas di Lanud Merauke terhadap Steven (18) penyandang disabilitas (tunawicara) merupakan murni tindakan penyiksaan. Dan juga menggunakan pendekatan HAM dapat dinyatakan sebagai perlakuan rasisme.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, tindakan yang dilakukan oleh seorang anggota militer kepada seorang masyarakat tidak dapat disamakan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat kepada seorang anggota militer. Jika perbuatan kekerasan itu dilakukan oleh anggota militer atau seorang pejabat negara, maka perbuatannya atau tindakannya dinyatakan sebagai tindakan penyiksaan karena adanya relasi kekuasan yang dimiliki.
Penyelesaian hukum atas tindakan penyiksaan tersebut harus dipengadilan HAM karena pelaku memiliki kuasa. Tujuan adanya peradilan HAM adalah agar aparat negara yang diberi kuasa tidak bertindak sewenang-wenang. Kekerasannya tidak bisa hanya dilihat sebagai sebuah tindakan kriminal atau pidana umum. Jika tindakan kekerasan aparat negara tidak mendapatkan hukuman yang memberi rasa keadilan bagi korban makan tidak akan memberi efek jera terhadap pelaku mau pun teman-temannya yang lain. Hukuman ringan apalagi hanya dipandang sebagai tindakan indisipliner akan melanggengkan kekerasan aparat terhadap rakyat sipil.
Kenapa dinyatakan penyiksaan? Karena ada relasi kekuasan yang dimiliki, dan relasi kekuasan itulah yang membuat seseorang cenderung melakukan tindakan sewenang-wenang.
Sedangkan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil kepada anggota militer atau seorang pejabat negara dinyatakan sebagai penganiayaan. Kenapa disebut penganiayaan? Karena itu dilakukan oleh masyarakat yang tentunya tidak memiliki relasi (hubungan) langsung dengan kekuasan. Sehingga itu murni dinyatakan sebagai tindakan kriminal umum dan pendekatannya menggunakan hukum pidana yang berlaku. Jika salah bisa dikoreksi oleh pembaca yang Budiman yang juga lebih paham.
Jadi menurut saya, tindakan yang dilakukan Serda Dimas Harjanto dan Prada Rian Febrianto yang adalah anggota TNI-AU terhadap Steven (18) seorang warga sipil yang juga penyandang difabel adalah tindakan penyiksaan yang proses hukumnya harus dilakukan di pengadilan HAM di Makasar. Bukan di pengadilan militer.
Selain tindakan itu merupakan penyiksaan berdasarkan kacamata HAM. Tindakan itu pula mengandung unsur rasisme. Rasisme dari hasil penulusuran saya di google adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia, menentukan pencapaian budaya atau individ-bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Ini menurut om Google.
Menanggapi kasus di Merauke itu, Mikael Kudiau, seorang aktivis muda Papua menulis di Facebooknya:
“Rasisme itu sebuah kontruksi sosial. Masih ada yang menganggap diri lebih super, mayoritas, atau kuasa. Menganggap diri lebih super dan kuasa itu terulang lagi. Masih sulit hilangkan watak dan isi kepala yang rasis walau sudah pernah ada gelombang protes besar-besaran pasca rasisme Surabaya tahun 2019. Biadab” tulis Miku. Facebook Mikael Kudiau. Rabu, 28 Juli 2021.
Berdasarkan definisi di atas, apa yang dilakukan oleh dua jagoan dari Lanud Merauke yakni Serda Dimas Harjanto dan Prada Rian Febrianto adalah tindakan yang didorong oleh pandangan berdasarkan perbedaan ras, mayoritas dan kuasa. Faktor tersebut membuat kedua pelaku merasa diri sebagai individu dari bangsa Indonesia yang superior karena bangsa merekalah yang mengusir penjajah Belanda dari Papua yang waktu itu mengkoloni Papua dan mengitegrasikan Papua ke dalam NKRI.
Oleh sebab jasa bangsa mereka dalam mengusir penjajahan Belanda dan integrasi politik Papua ke dalam NKRI telah final. Maka mereka memiliki hak istimewa dalam melakukan apa saja di Papua, termaksud dalam mengamankan Steven yang berasal dari bangsa Papua.
Perasaan superior yang ada di dalam pikiran dua jagoan tersebut pun didukung oleh factor lain penyebab terjadinya perlakuan rasisme yang telah disinggung oleh Miku, yakni mayoritas dan kuasa. Perasaan menjadi bagian dari bangsa Melayu yang adalah masyarakat mayoritas dalam negara Indonesia serta memiliki relasi dengan kekuasan yang juga rasis merupakan factor yang mendasari pikiran dua orang yang saya sebut jagoan bagi pemilik warung bubur, ketika melakukan penyiksaan bertendensi rasisme kepada Steven.
Perlu diingat bahwa perlakuan rasisme dalam bernegara di negara Indonesia terhadap orang Papua yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat Melayu kepada masyarkat Papua yang didasari oleh factor ras, mayoritas dan kuasa tidak akan pernah hilang, walau kelak akan ada undang-undang nasional Indonesia tentang anti diskriminasi dan rasisme kepada orang Papua. Kenapa? Seperti yang telah diketahui bahwa rasisme adalah hasil dari kontruksi sosial.
Untuk mengakhiri atau menghilangkan perlakuan rasisme yang dilakukan satu bangsa atas bangsa lain di dalam satu negara, tak ada solusi sosial atau pun hukum yang relevan. Kecuali pembangunan kontruksi sosial yang baru, dan hukumnya sendiri oleh masyarakat yang minoritas. Masyarakat minoritas di negara Indonesia seperti Papau harus membangun kontruksi sosialnya sendiri. Atau keluar dari kontruksi sosial yang lama atau dari kontruksi sosial masyarakat yang mayoritas agar terbebas dari kontruksi sosial yang rasis.
Apa maksud pembangunan kontruksi sosial yang baru? Pembaca yang Budiman silakan baca artikel saya terkait rasisme dengan judul “Solusi Rasisme di Papua” pada website laolao-papua.com
*Penulis adalah Wakil Ketua I SONAMAPPA.
Discussion about this post