Oleh: Soleman Itlay*
“Kaka de nama lengkap Dole Kaize”, tulis seorang umat katolik di Keuskupan Agung Marauke pada Selasa, (27/7). Tapi Jubi dan beberapa media menyebut Steven.
Dole yang dimaksud adalah seorang korban yang mendapatkan tindak kekerasan rasial dari 2 orang anggota TNI-AU di jalan raya Mandala, kabupaten Merauke Papua sekitar pukul 10.00 WIT.
Dole ini seorang penyandang disabilitas. Dia bisa mengerti, melihat dan melakukan apa saja yang dia pikirkan atau orang lain minta kepadanya. Sayangnya, lelaki berkulit hitam dan berambut keriting asli Merauke, Papua satu ini tidak dapat berbicara dengan baik.
Semua orang yang lahir besar dan pernah tinggal di Merauke tahu. Bahwa dia itu seorang yang bisu.
Hampir setiap hari dia cari makan minum dan bertahan hidup dengan cara menjadi juru parkir di depan toko-toko dan kios-kios di Merauke. Itulah sedikit jalan kehidupan Dole untuk mempertahankan hidupnya di atas tanah airnya yang kaya raya, di kota Rusa.
Meski demikian, dia sering mengonsumsi minuman keras. Kadang kala makan di warung dan tidak bayar. Sering memunculkan trauma, ketakutan, keresahan dan kerugian bagi pihak pedagang tertentu. Tapi memang tidak pernah melukai, apalagi menghilangkan nyawa orang-orang yang tak bersalah.
Lelaki yang kepalanya diinjak di aspal, seperti nasib George Floyd yang meninggal dunia itu, tinggal di Natuna, dekat jalan masuk gereja katolik, paroki Fransiskus Xaverius (gereja Katedral). Dan tentu saja dia beragama katolik.
“Biasa di parkiran-parkiran di Merauke. Tapi sering kali saya lihat di depan Gereja Katolik St. Yosep Bambu Pemali (Bampel) Merauke, Keuskupan Agung Marauke”, kata sumber yang saya terima lewat Messenger tadi malam.
Selain sering menjadi juru parkir di depan kios, dan toko, dia juga sering aktif mengatur kendaraan di depan gereja katolik dan entalah di gereja mana saja yang ia terpanggil untuk sekedar tinggal atau menjadi juru parkir dadakan pada hari Minggu atau hari besar gerejawi tertentu.
Dari kasus ini kita akan lihat sikap, kepedulian, keprihatinan, dan solidaritas dari bapa uskup Keuskupan Agung Marauke, Mgr. Petrus C. Mandagi, MSC. Sebagai domba gembalaan Gereja Katolik Keuskupan Agung Merauke, Dole telah diserang serigala secara sadis. Kini kita menanti sikap sang gembala atas kasus ini. Sebab membiarkan kasus seperti ini, sama saja memberi peluang untuk terulangnya kasus serupa. Tentang pengulangan kasus, tentu bukan hal baru bagi orang Papua.
Apakah bapa uskup akan merespon cepat seperti ia respon pada saat dirinya baru ditunjuk sebagai administrator Keuskupan Agung Merauke, yang mengantikan almarhum Mgr. Jhon Philip Saklil, PR terkait kasus kematian Matius Betera di kawasan kelapa sawit, Boven Digoel dan kasus rasisme di Surabaya yang berdampak pada korban jiwa di Papua?
Atau memilih diam setelah duduk di Tahta Apostolik, seperti yang kita lihat pada belakangan ini?
Kita akan lihat sikap, kepedulian, keprihatinan dan keberpihakan gereja katolik di tanah Papua, khususnya Keuskupan Agung Marauke dari kasus ini. Bukan hanya untuk Dole yang menjadi korban, tapi juga bagi 2 orang yang menjadi pelaku.
Kita akan lihat sikap gereja katolik di Keuskupan Agung Marauke dari kasus yang melibatkan seorang umat katolik itu:
Apakah pimpinan klerus akan menunjukkan sikap sudah tahu tapi pura-pura tidak? Sudah tahu bagaimana harus melakukan tapi tidak dilakukan (Yakobus 4:17)? Sudah dengar tapi pura-pura tidak dengar; malas tahu dan memilih diam seribu diam?
Diam bukan berarti mendukung, dan mengiyakan? Atau pilih menjaga nama baik gereja dengan dalil gereja katolik itu netral dan independen (OMONG KOSONG BESAR)?
Semoga kita mampu memaafkan, mengasihi dan mencintai pelaku. Seperti Yesus Kristus berkata: “kasihilah musuhmu” atau “Ya Bapa, ampunilah mereka. Sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.
Minta maaf itu lagu lama. Bahkan bukan obatnya. Keluarga dan orang lain pun semakin puas dengan kasus Floyd karena pelaku ditahan dengan hukuman 22 tahun meskipun bertindak atas nama kemananan, keutuhan, kedaulatan negara dan kedamaian Amerika serikat. Tetapi sudah terlalu banyak kasus kekerasan aparat di Papua yang berakhir dengan minta maaf.
Karena itu, sikap Gereja Katolik terkait kasus ini sangat dinantikan. Kasus ini sekali lagi menunjukkan bagaimana martabat manusia Papua diinjak-injak bahkan di depan hidung Gereja Katolik. Gereja Katolik mesti berada di depan menuntut keadilan bagi domba-domba gembalaannya. Jika tidak, maka gereja Katolik sesungguhnya ikut mendukung kasus perendahan dan pelanggaran martabat manusia di Papua terus terulang.
Pertanyaan: Apakah Pelaku atas nama V dan D akan dikenakan hukuman setimpal dengan perbuatannya di negara hukum, seperti penegakan hukum di Amerika Serikat itu?
Kita tunggu kabar lagi!……..
*penulis adalah umat Katolik di tanah Papua
Discussion about this post