Oleh: Fonataba Guntur*
Penjelasan tentang berbagai jenis vaksin dan bagaimana vaksin itu dibuat membawa kita pada pertanyaan bagaimana vaksin itu bekerja dalam tubuh manusia.
Vaksinasi sesungguhnya bukan hal baru bagi masyarakat. Namun istilah ini jadi perbincangan bagi seluruh kalangan masyarakat sejak COVID-19 muncul. Kebanyakan manusia yang hidup saat ini pun telah mendapatkan berbagai jenis vaksin seperti polio. Istilah yang biasa digunakan selama ini adalah imunisasi.
Lalu bagaimana vaksin itu bekerja?
Secara sederhana imunisasi adalah suatu proses untuk menciptakan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia. Kemampuan tubuh kita untuk menyingkirkan bahan asing yang masuk ke dalam tubuh tergantung kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan bahan asing tersebut dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen.
Nah vaksinasi memiliki tujuan utama untuk menginduksi sistem kekebalan spesifik terutama untuk segera mengenal antigen pada permukaan zat asing secara spesifik dan menyerang zat asing melalui antibodi yang spesifik pula terhadap hanya satu jenis antigen tertentu. Respon imun yang spesifik ini akan tersimpan dalam sel kekebalan bernama Sel B memori. Jadi kelak ketika datang suatu zat asing lagi yang telah dikenal tubuh, akan terjadi respon imunitas spesifik dengan segera menyerang zat asing tersebut.
Misalnya, vaksin Sinovac yang diambil dari SARS-CoV-2 yang diinaktifkan dan disuntik ke tubuh kita. Yang terjadi adalah munculnya antibodi IgM beberapa hari setelah pemaparan. Kadar antibodi ini mencapai puncaknya setelah 7 hari. Enam sampai tujuh hari setelah terpapar, antibodi IgG dapat terdeteksi dan mencapai puncaknya 10-14 hari. Namun kadar antibodi akan terus berkurang dan biasanya hanya sedikit yang dapat terdeteksi setelah 4-5 minggu.
Bagaimana jika anda terpapar lagi dengan zat asing yang sama?
Ini yang menjadi spesial dari vaksinasi bahwa kadar antibodi IgM dan IgG akan meningkat secara nyata dengan fase waktu yang cepat berbeda dari pertama kita terpapar. Kadar antibodi IgM yang mencapai puncak 7 hari misalnya setelah paparan kedua mungkin hari kedua atau ketiga antibodi IgM mencapai puncak. Sebaliknya kadar antibodi IgG meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lama. Hal ini disebabkan adanya sel kekebalan spesifik, Sel B memori yang telah menyimpan ingatan akan paparan pertama.
Inilah dasar mengapa vaksinasi sangat penting dan telah membantu manusia bertahun-tahun melawan mikroorganisme yang hendak menyerang tubuh kita. Dengan tidak adanya vaksin, virus akan menyebar dengan cepat dan membunuh orang, sedangkan yang sembuh akan sedikit kebal. Beberapa menjadi kebal. Jika vaksinasi tersedia, sebagian besar akan bertahan hidup dan menjadi kebal. Dengan tingkat kematian yang tinggi, satu-satunya cara aman untuk mencapai kekebalan kelompok adalah VAKSINASI.
Tanpa vaksinasi, sistem kekebalan tubuh manusia tentu masih bekerja. Namun risikonya terlalu tinggi bagi manusia. Tanpa vaksinasi, tubuh manusia lambat merespon infeksi virus. Jika sistem kekebalan tubuh manusia kuat, maka tubuh bisa bertahan dan melawan virus yang masuk. Hal ini dapat membantu manusia untuk tetap bertahan hidup.
Namun ketika infeksi virus itu terjadi ketika sistem imun manusia sedang lemah, maka dampaknya bisa sangat fatal hingga menyebabkan kematian.
Justru mencoba mencapai kekebalan kelompok melalui infeksi alami akan membahayakan jutaan nyawa. Artinya jika kita membiarkan tubuh kita melawan infeksi secara alami tanpa vaksinasi, kita sedang masuk dalam tahap seleksi alam, siapa yang kuat dialah yang tetap eksis di planet bumi.
Catatan penting agar kita semua paham, sistem imun alamiah/non spesifik tidak mempunyai kemampuan untuk dapat mengenali jenis organisme asing yang masuk ke dalam tubuh. Sementara sistem imun spesifik yang dirangsang/ diinduksi oleh salah satunya vaksin memiliki kemampuan untuk dapat mengenali jenis organisme asing dan dapat bereaksi lebih cepat terhadap adanya invasi organisme yang sama yang telah dikenalinya.
Bagaimana Reaksi Tubuh Terhadap Vaksin?
Setelah vaksin disuntikkan ke dalam tubuh manusia, seringkali ada gejala seperti sakit kepala, ngantuk dan lainnya sebagaimana sering dikeluhkan. Namun, gejala-gejala seperti itu tidak jarang dianggap sebagai hal yang menakutkan dan menjadi alasan orang menolak vaksin.
Pertanyaannya mengapa ada gejala seperti itu setelah pemberian vaksin?
Reaksi yang terjadi setelah pemberian vaksinasi dikenal dengan istilah KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). KIPI merupakan kejadian medik yang diduga berhubungan dengan vaksinasi berupa reaksi vaksin, kesalahan prosedur, koinsiden, reaksi kecemasan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
KIPI diklasifikasikan serius apabila kejadian medik akibat setiap dosis vaksinasi yang diberikan menimbulkan kematian, kebutuhan untuk rawat inap, dan gejala sisa yang menetap serta mengancam jiwa. Klasifikasi serius KIPI tidak berhubungan dengan tingkat keparahan (berat atau ringan) dari reaksi KIPI yang terjadi.
Tidak ada vaksin yang 100% aman dan tanpa risiko. Penting untuk mengetahui risiko dan bagaimana menangani peristiwa semacam itu ketika terjadi. Menginformasikan kepada orang dengan benar tentang KIPI membantu menjaga kepercayaan publik terhadap program vaksinasi.
Secara umum, vaksin tidak menimbulkan reaksi pada tubuh, atau apabila terjadi, hanya menimbulkan reaksi ringan. Vaksinasi memicu kekebalan tubuh dengan menyebabkan sistem kekebalan tubuh penerima bereaksi terhadap antigen yang terkandung dalam vaksin.
Reaksi lokal dan sistemik seperti nyeri pada lokasi suntikan atau demam dapat terjadi sebagai bagian dari respon imun. Komponen vaksin lainnya (misalnya bahan pembantu, penstabil, dan pengawet) juga dapat memicu reaksi. Vaksin yang berkualitas adalah vaksin yang menimbulkan reaksi ringan seminimal mungkin namun tetap memicu respon imun terbaik. Frekuensi terjadinya reaksi ringan vaksinasi ditunjukan oleh jenis vaksin.
Reaksi yang mungkin terjadi setelah vaksinasi COVID-19 hampir sama dengan vaksin lain. Beberapa gejala tersebut antara lain, reaksi lokal: nyeri, kemerahan pada lokasi suntikan, reaksi lokal lainnya yang berat misalnya selulitis, reaksi sistemik: demam, nyeri otot seluruh tubuh, nyeri sendi, badan lemah, sakit kepala. Reaksi lain seperti, seperti reaksi alergi misalnya urtikaria, udem, reaksi anafilaksis, syncope (pingsan).
Reaksi ringan setelah imunisasi umum terjadi termasuk rasa sakit dan bengkak di lokasi suntikan, demam, malaise dapat sembuh sendiri, hampir tidak memerlukan pengobatan gejala. Penting di sini untuk meyakinkan dan menjamin bahwa seseorang memahami reaksi tersebut.
Reaksi berat jarang terjadi. Reaksi tersebut termasuk kejang, trombositopenia, episode hipotonik hiporesponsif, persistent inconsolable screaming. Dalam banyak kasus self limiting (sembuh sendiri) dan tidak mengarah ke masalah jangka panjang. Anafilaksis, meski berpotensi fatal, dapat diobati tanpa efek jangka panjang.Vaksin inaktif adalah salah satu yang memiliki efek samping terendah dibanding jenis vaksin lain.
Dalam beberapa kasus meninggal setelah divaksinasi, misalnya tiga kasus kematian setelah vaksinasi di otopsi di Institute of Legal Medicine Hamburg, Jerman. Ketiga jenazah memiliki penyakit kardiovaskular (jantung, pembuluh darah) yang parah, di antara penyakit penyerta lainnya, dan meninggal dalam konteks kondisi yang sudah ada sebelumnya, sementara satu kasus ditemukan penumonia COVID-19 sebagai penyebab kematian. Mempertimbangkan hasil pemeriksaan tersebut, hubungan kausal antara vaksinasi dan kematian tidak dapat ditentukan.
Melihat beberapa kematian di Papua yang dikaitkan dengan vaksinasi, menurut hemat saya, kita tidak dapat mengambil kesimpulan lebih dini sebelum dilakukan autopsi forensik. Sebab hanya melalui pemeriksaan inilah kita dapat mengetahui sebab kematian seseorang.
Semakin sukses suatu kampanye vaksinasi, semakin berkurang penyakit atau wabah berada dalam masyarakat.
Saat ini publik di Papua mengalami sedikit pergeseran persepsi ancaman penyakit yang sebenarnya ke efek buruk vaksin. Terdistorsinya persepsi tentang resiko vaksin dan ancaman kesehatan yang jauh lebih besar oleh penyakit asli dapat menyebabkan penurunan penerimaan vaksin.
Untuk diketahui bersama, ada skrining yang dilakukan sebelum vaksinasi. Nah skrining ini menjadi penting sebelum kita divaksinasi. Jika kita punya riwayat penyakit sebelumnya berdasarkan pertanyaan yang ada dalam form skrining, berikanlah jawaban dengan jujur.
Seusai vaksinasi pun, setiap orang akan diobservasi 30 menit untuk melihat adanya reaksi cepat yang terjadi setelah vaksinasi. Bila tidak ada reaksi cepat, bisa pulang, biasanya petugas akan memberikan nomor kontak yang bisa dihubungi, dan bisa beraktivitas seperti biasa, jangan lupa untuk mencatat nomor telepon yang bisa dihubungi bila ada keluhan pasca vaksinasi.
Untuk memastikan diterimanya penerimaan vaksin secara terus-menerus, penting untuk: memantau insiden KIPI, mengevaluasi secara ilmiah kemungkinan asosiasi antara vaksin dengan KIPI, tanggapi resiko yang baru teridentifikasi dari vaksin, komunikasikan manfaat dan risiko kepada pasien sebelum dilakukan vaksinasi.
Penutup
COVID-19 adalah sesuatu yang nyata dan sudah sangat banyak orang yang menjadi korban. Adalah hak setiap orang untuk percaya atau tidak bahwa saat ini ancaman COVID-19 itu nyata dan tepat berada di sekitar kita. Kita berhak untuk tidak percaya, namun bisa jadi di antara daftar orang yang meninggal karena COVID-19, ada nama keluarga, kerabat, sahabat atau kenalan kita.
Untuk melawan virus ini, kita tidak pernah boleh berpasrah dan membiarkan seleksi alam yang terjadi. Kita perlu untuk mengambil sikap sebab Tuhan telah memberikan manusia kehendak bebas untuk menentukan pilihan hidupnya. Tuhan pun telah membekali manusia dengan akal budi untuk berpikir secara baik dengan ilmu pengetahuan sebelum memanfaatkan kehendak bebas dan menentukan jalan hidupnya.
Vaksinasi adalah salah satu hasil karya ilmu pengetahuan (akal budi manusia) yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Demikian pun protokol kesehatan adalah metode yang ditemukan sebagai hasil penelitian untuk menekan penyebaran virus. Tinggal kini apa yang kita pilih: percaya pada ilmu pengetahuan atau informasi sesat yang diproduksi oleh orang-orang yang tidak melakukan penelitian atau bahkan tidak berkompeten dalam bidang kesehatan.
Harapan penulis, dari coretan ini, kita tidak lagi termakan hoax melalui podcast-podcast yang dibuat youtubers atau flyer-flyer yang disebarkan di grup-grup whatsapp. Kalau kita dihadapkan dengan sesuatu yang bikin takut, sistem saraf simpatis kita akan memberikan respon FIGHT atau FLIGHT, melawan atau lari. Inilah yang bikin manusia tetap eksis di muka bumi ini. Pada masa pandemi ini, fight: VAKSINASI, flight: MENGHINDARI PAPARAN VIRUS (menjaga prokes). Dasar mengapa kita survive, jangan terlena. Ribuan tahun mekanisme fight atau flight ini yang membuat kita tetap lestari sebagai satu spesies termaju di Alama Semesta.
Vaksinasi sangat penting demi mencapai kekebalan kelompok, tetapi semua kembali kepada setiap individu dengan menghormati Hak Asasi Manusia. Pilihan ada pada tiap individu, ingin melawan virus secara alami atau dibantu vaksinasi. Tetapi ya itu, jika kita melawan virus secara alami, resikonya akan ada jutaan korban sebelum akhirnya mencapai kekebalan kelompok. Bisa saja kita termasuk dalam golongan korban itu. Maka hanya ada dua pilihan: FIGHT or FLIGHT.
*Penulis adalah mahasiswa klinik Fakultas Kedokteran Uncen
Referensi:
Prof.DR.Maksum Radji, M.Biomed, 2015, Imunologi dan Virologi, Edisi Revisi
Sukamto Koesno, Teknis Pelaksanaan Vaksin Covid dan Antisipasi KIPI
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-55762514
https://www.kompas.com/sains/read/2021/07/13/120300323/efikasi-vaksin-sinovac-di-turki-efektif-83-5-persen-lindungi-dari-sars-cov?page=all
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5645443/daftar-efektivitas-5-vaksin-covid-19-yang-dipakai-di-ri-sinovac-pfizer
Discussion about this post