Oleh: EG
Insiden rasialis terhadap orang Papua sudah sering terjadi. Terakhir terjadi saat peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Yang jadi korban adalah mahasiswa Papua di Surabaya.
Tindakan pengepungan dan pernyataan rasialis yang dilakukan aparat bersama ormas reaksioner tersebut disertai juga dengan seruan mengusir orang Papua. Terakhir para mahasiswa Papua ditangkap. Sementara para pelaku pengepungan dan rasisme bebas. Korban ditangkap, pelaku dipelihara.
Tanpa mengabaikan tindakan rasis dan pengepungan itu, tulisan ini difokuskan pada pengusiran. Ini pun bukan yang pertama dialami orang Papua.
Bayangkan saja jika semua siswa dan mahasiswa Papua di Jawa, Bali, Sulawesi dll pulang ke Papua? Apa yang terjadi dengan Jawa, Bali Sulawesi dll? Dan apa yang akan terjadi dengan Papua sendiri?
Mari kita berandai-andai.
Andaikan saja ada 10.000 mahasiswa Papua yang studi di Jawa, Bali, Sulawesi dll. Biaya sekali makan anggap saja Rp 10.000 atau Rp 30.000 per hari. Maka setiap mahasiswa Papua akan habiskan Rp 900.000 tiap bulan. Total biaya yang dikeluarkan semua mahasiswa Papua adalah Rp 9Miliar/bulan.
Kita anggap saja semua mahasiswa Papua tinggal di asrama Papua. Dan kita hitung secara minimalis hanya ada 10 asrama Papua di seluruh Indonesia. Biaya kebutuhan asrama setiap bulan kita patok Rp 10.000.000. Maka Rp 100.000.000 yang dihabiskan untuk biaya asrama mahasiswa Papua.
Biaya kuliah dan berbagai kebutuhan kuliah kita hitung Rp 1.000.000/bulan, maka totalnya Rp 10 Miliar untuk semua mahasiswa.
Maka total biaya kuliah, biaya makan minum dan asrama mahasiswa Papua selama sebulan adalah Rp 19.100.000.000.
Ini tentu perhitungan yang tidak realistis. Biaya makan minum tentu jauh dari yang dihitung di sini. Demikian pun soal asrama. Ada banyak mahasiswa yang tidak tinggal di asrama Papua. Dan tentu saja asrama Papua jauh lebih banyak dari angka 10. Tapi anggaplah hitungan itu sudah benar.
Artinya setiap bulan uang sebesar Rp 19,1 Miliar keluar dari Papua untuk kebutuhan para mahasiswa Papua. Atau dengan kata lain angka yang sama diperoleh oleh masyarakat di mana mahasiswa Papua berkuliah.
Pendidikan
Tentu bukan hal gampang untuk mencegah perpindahan uang dari Papua ke daerah lain jika dikaitkan dengan pendidikan. Namun, tindakan rasialis, kekerasan oleh ormas dan negara serta pengusiran itu tidak boleh terus dibiarkan.
Masyarakat Papua harus mulai memikirkan hal ini sebelum mengirim anak-anaknya kuliah di luar Papua. Demikian pun mahasiswa Papua yang sedang kuliah di luar Papua mesti memikirkan kembali keberadaannya di sana.
Pertanyaan pentingnya: Apakah harus orang Papua kuliah di Jawa atau Bali atau Sulawesi dll?
Papua sendiri memiliki banyak perguruan tinggi. Namun mengapa masih banyak orang Papua tiap tahunnya harus membuang uang di tanah orang?
Ada banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Salah satunya adalah soal nama besar kampus. Ini bukan soal kualitas semata, tetapi juga soal gengsi. Sebab bagi saya bukan hanya kampus yang menentukan kualitas seorang mahasiswa tetapi pribadi mahasiswa itu sendiri.
Untuk itu, pemerintah daerah di Papua perlu mengambil langkah penting terkait pendidikan. Tentu saja bukan hanya perguruan tinggi tetapi lebih lagi pendidikan dasar di Papua.
Sudah menjadi rahasia bersama bahwa pendidikan dasar di Papua sangatlah buruk. Banyak sekolah yang tidak ada guru. Kalau pun ada antara hanya daftar namanya atau hanya satu atau dua orang guru. Ini jauh dari Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang ditetapkan pemerintah Indonesia sendiri.
Namun, itu bukanlah persoalan besar jika dibandingkan dengan tindakan kekerasan dan rasialis oleh negara dan ormas reaksioner ditambah lagi pengusiran dan perpindahan uang ke daerah lain.
Andai saja pemerintah di Papua serius, ada banyak anak Papua yang juga sudah habiskan banyak uang untuk mendapat ijazah di luar Papua namun kini menganggur. Mereka tentu punya pengalaman penderitaan yang bisa mendorong mereka untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar di Papua.
Jika di setiap 29 kabupaten di Papua ada 50 SD – SMA, dan jika dibutuhkan tambahan 5 guru untuk setiap sekolah maka ada 250 guru honorer yang dibutuhkan. Jika tiap guru honorer itu digaji Rp 4 juta maka setiap bulan dibutuhkan dana Rp 1 M atau Rp12M setiap tahunnya tiap kabupaten.
Angka ini kelihatan besar. Namun jika dibandingkan dengan insentif pegawai yang sangat besar, angka ini jauh lebih masuk akal untuk pengembangan SDM Papua. Sebagai pembanding, insentif ASN setingkat kepala dinas di Kabupaten Yahukimo sekitar sebesar Rp 80 juta setiap tiga bulan. Sementara biaya dokter spesialis di Yahukimo Rp 40 juta/ bulan. Artinya jika Pemda rela membayar tinggi untuk ASN atau dokter spesialis sementara kerjaannya tidak bisa maksimal karena fasilitas di RsUD Dekai tidak memadai, maka harusnya bisa juga membiayai peningkatan SDM ini.
Ini belum kita bandingkan dengan besar anggaran yang disiapkan setiap kabupaten untuk biaya kuliah mahasiswa. Kita sering dengar angkanya miliaran, tetapi mahasiswa Papua terus saja mengeluh soal biaya itu.
Selain pendidikan dasar, pemerintah daerah di Papua pun perlu memperbaiki berbagai perguruan tinggi yang ada. Karena bukan rahasia pula banyak orang yang dengan mudahnya mendapatkan gelar akademik di perguruan tinggi di Papua. Di daerah lain pun sama. Tentu hal ini harus diperbaiki. Pemerintah mesti menyokong setiap kampus dan juga mengawasi kampus-kampus tersebut sehingga semakin berkualitas.
Salah satu bentuk kontrol yang sekaligus berkontribusi terhadap pembangunan di Papua adalah kewajiban setiap dosen untuk melakukan penelitian dan publikasi. Demikian pun mahasiswa bisa didorong untuk melakukan penelitian yang serius untuk tugas akhirnya.
Dinamika hidup masyarakat Papua dengan konteks dan budaya yang beragam, hutan dan alam yang kaya adalah sumber pengetahuan yang tak ada habisnya untuk diteliti. Secara politik, sosial, budaya, sejarah dan alamnya, Papua adalah gudangnya ilmu.
Jika itu bisa dilakukan, maka orang Papua sendiri akan bangga untuk kuliah di perguruan tinggi di Papua dan melakukan penelitian di Papua sehingga kembali berguna bagi pembangunan di Papua.
Demikian pun kehadiran mahasiswa Papua di tanah Papua sendiri menjadi kekuatan penting untuk melawan berbagai penindasan dan perampokan sumber daya alam Papua yang kaya ini. Para mahasiswa Papua bisa berkontribusi sangat besar dengan rutin melakukan pengorganisasian masyarakat.
Keuntungannya akan berlipat ganda. Pergerakan perjuangan melawan penindasan dalam beragam bentuknya pun akan semakin kuat. Demikian pun pelayanan publik yang seringkali diabaikan bisa menjadi perhatian kontrol para mahasiswa.
Sementara ketika jauh di luar Papua, kondisi di kampung para mahasiswa itu sendiri seringkali luput dari perhatian. Meskipun menjadi mahasiswa yang kritis, namun persoalan pelayanan publik atau kekerasan di kampung halamannya seringkali lambat diketahui karena jauh di luar sana. Selain itu, hal ini berarti juga mencegah perpindahan uang ke daerah lain dan sekaligus menjadi pelajaran bagi mereka yang rasis dan penuh kebencian terhadap orang Papua karena sudah pasti akan kehilangan sejumlah konsumen.
Dari pada menjadi monyet yang memperkaya orang yang rasialis dan penuh kebencian, lebih baik menjadi monyet yang berjuang untuk kebenaran dan menghargai manusia dan alam di tanah sendiri.
Discussion about this post