Oleh Wita Selekage
Di KEUSKUPAN JAYAPURA memiliki dampak besar terhadap proses kaderisasi saat ini. Hari ini Gereja Katolik Keuskupan Jayapura mengalami krisis kader yang luar biasa karena pusat – pusat pendidikan Katolik dihancurkan secara sistematis, berkelanjutan dan masif.
Banyak sekali tempat – tempat strategis untuk menyiapkan kader Gereja Katolik dan tanah air ditutup dan dialihfungsikan dengan alasan dan pertimbangan tertentu.
Sebut saja asrama SPG Taruna Bahkti; Asrama Caritas di Dok 2 Jayapura; Asrama Tauboria di Padang Bulan, Abepura; Asrama St. Donbosco di Wamena dan masih banyak lagi.
Dari 1960 – 1990- an, asrama – asrama ini sangat berperan aktif untuk merekrut, membina, mendidik dan melatih anak – anak Papua, termasuk anak – anak non Papua dari Key, Tanimbar dan lainnya yang lama tinggal di Papua.
Mereka didatangkan dari pedalaman Papua, seperti Kokonau, Wamena, Senngi – Waris, dan lainnya setelah lulus dari sekolah dasar. Bahkan asrama seperti Tauboria itu menampung anak – anak dari 5 Keuskupan di Papua.
Proses kaderisasi pada masa Mgr. Rudolf Staverman, OFM dan Mgr. Herman Munninghof, OFM sangat hidup. Selain mengemban 3 tugas klerus, mereka memusatkan perhatian penuh pada pendidikan dan kesehatan.
Tak heran kalau bidang karya pastoral, yakni: di bidang pendidikan (asrama-asrama, pembukaan STPK, STFT, SPG, dll), Kesehatan (Yayasan Dian Harapan, Rumah Sakit Dian Harapan), AMA (mengangkut orang sakit dan anak – anak pedalam), Karya Mulia (memberdayakan umat di sektor pertanian, peternakan, pertukangan dst) dan lainnya umat benar – benar terasa tersentuh pada waktu itu.
Bidang karya, di sektor pendidikan atau lewat pendidikan berpola asrama diatas sangat berkontribusi besar terhadap perkembangan dan kemajuan pembagunan di tanah Papua. Kita bisa lihat pemimpin masyarakat dan tokoh Katolik dalam birokrasi dan parlemen saat ini. Mereka telah memberikan kontribusi untuk perubahan tanah Papua.
Mereka yang menonjol saat ini, seperti dr. Aloysius Giyai; Drs. Aloysius Renwarin; Dr. Paskalis Kossay; Yan Ukago, MT, Piter Ell, MH; Mama Agustina Basik – Basik; Alm. Bernadetha Mahuze; dan lainnya yang belum disebutkan namanya disini, rata – rata berangkat dari sini.
Kita bisa hitung. Pemimpin dan tokoh yang lahir dari pendidikan berpola asrama dan di luar asrama Katolik. Tidak hanya itu, kualitasnya pun kita bisa hitung.
Kualitas, moral, spiritualitas dan karakter orang yang pernah tinggal di asrama Katolik berbeda dengan orang yang sekolah atau kuliah dari asrama yang dibangun oleh pemerintah saat ini.
Sarana dan prasarana asrama Gereja Katolik tempo dulu sangat lengkap. Mulai dari pembina tetap, fasilitas belajar dan lain sebagainya. Tidak pernah ada cerita kekurangan makanan (hepere, beras dll), air bersih, listrik dan lainnya. Semua peralatan dan kebutuhan segala hal disediakan dengan kebutuhan anak – anak.
Hidup di asrama Katolik tempo dulu sangat mengikat kebersamaan dalam iman Gereja Katolik. Selalu hidup rukun dan damai. Merasakan suka dan duka sama – sama. Membantu teman yang sakit dan tidak mampu. Hubungan emosional mereka sangat dekat dan kuat.
Beda dengan asrama – asrama yang dibangun pemerintah saat inj. Gedungnya bagus dan terlalu indah, tetapi tidak memiliki sistem pembinaan yang jelas. Rata – rata asrama ala pemerintah saat ini tidak ada pembina dan fasilitas kurang memadai.
Pastinya, semua bermasalah. Hampir semua asrama yang dibangun pemerintah, baik yang ada di dalam maupun di luar Papua memiliki masalah yang sama. Anak – anak selalu mengelu tentang pembina, makanan, air bersih, listrik dan lain sebagainya.
Kualitasnya mereka ini pun bisa kita lihat dari kehidupan sehari-hari di asrama. Rata – rata tidak fokus kuliah, tidak bisa belajar baik, jadikan asrama tempat untuk bersenang – senang, bikin asrama seperti kos – kosan dan ada banyak lagi.
Kualitas anak – anak yang hidup di asrama juga bisa kita lihat dalam kehidupan sehari – hari dalam rumah tangga, termasuk dalam birokrasi dan parlemen. Soal lain – lain, termasuk intelektual kita bisa akui, bahwa anak – anak sekarang lebih cepat berkembang dan begitu pintar – pintar.
Tetapi mengenai spiritualitas, moralitas, sikap dan pembawaan diri dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa kita samakan. Soal ini, mereka yang pernah tinggal di asrama milik Gereja lebih berbobot ketimbang mereka yang hidup di asrama pemerintah.
Dari 1960-1990-an, asrama – asrama ini dikenal sebagai tempat rahimnya pendidikan di Papua. Dikatakan demikian karena asrama-asrama tersebut telah melahirkan kader – kader Gereja dan bangsa.
Namun itu berlaku hingga 2000-an. Memasuki 2006, asrama – asmara Katolik Keuskupan Jayapura di beberapa basis Gereja ditutupi dan dialihfungsikan. Misalkan asrama Tauboria (Wisma II atau sekarang disebut Marvin).
Wisma ini dulu difokuskan untuk anak – anak yang berada di semester akhir. Untuk mendukung anak – anak, pembinanya, Pr. Wolfgang, SJ menyiapkan sejumlah buku dari berbagai jurusan di perpustakaan. Dia mengarahkan anak – anak yang berada di ujung semester akhir untuk susun TA atau skripsi disini.
Namun tempat, sejak 2007 mulai dialihfungsikan. Asrama bagi kaum awam itu dialihfungsikan menjadi arama bagi para calon imam. Masih banyak kasus mengenai asrama – asmara lain.
Misalnya di asrama Katolik St. Donbosco di Dekenat Jayawijaya (Pegunungan Tengah). Asrama Donbosco ini ada 9 unit. Jumlah tersebut dibangun sesuai dengan jumlah paroki di Dekenat Jayawijaya pada waktu itu.
Namun, memasuki 2007, asrama – asrama ini tidak lagi diperhatikan baik. Gereja membiarkan anak – anak sendiri. Terpaksa anak – anak yang tinggal di asrama yang lokasinya di sekitar komplek Gereja Katolik Kristus Jaya itu mulai tinggalkan asrama.
Di saat mereka keluar, Gereja ambil alih. Setelah itu, pihak Gereja kasih masuk guru – guru YPPK dan pegawai Gereja. Orang – orang yang baru datang dari luar, kemudian diijinkan dan ditempatkan di asrama – asrama tersebut.
Kondisi seperti ini juga berlaku di Dekenat Keerom dan Dekenat Pegunungan Bintang, serta di tempat lain yang adalah basis – basis Gereja Katolik. Sejak 2000, pendidikan berpola asrama ala Gereja Katolik mulai rubahz mundur dan mengarah pada kehancuran.
Sejak itu pula Gereja Katolik mengalami krisis kader. Sejak itu juga orang Katolik tak bergigi di tanah Papua. Saat itu juga, pondasi Gereja Katolik Keuskupan Jayapura mulai goyang dan berubah arah. Semua perubahan buruk dan penghancuran pendidikan berpola asrama ini terjadi sejak Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM pimpin Keuskupan Jayapura bersama HD (sekertarisnya).
Jika Gereja Katolik di Keuskupan Jayapura ingin kokoh, maka kaderisasi awam harus diperhatikan secara serius. Caranya mudah. Tidak perlu lagi kita mengelu setelah pemerintah membatasi dan memperketat bantuan dari luar negeri ke Gereja Katolik. Pemerintah sudah membantu Gereja lewat alokasi dana OTSUS (10%).
Di provinsi Papua ada 4 Keuskupan. Pemerintah provinsi Papua setiap tahun alokasikan dana untuk Gereja Katolik 8 Miliar. Dari dana itu, masing – masing Keuskupan mendapat jatah 2 miliar.
Uang yang turun atas nama Orang Katolik Asli Papua ini siapa yang kelolah dan siapa yang nikmati? Alangkah baiknya, Gereja alokasikan dana Otsus tersebut untuk pembinaan orang Katolik, baik untuk kaum awam maupun imam.
Penulis adalah Umat Katolik Keuskupan Jayapura
Discussion about this post