Refleksi dari perayaan Natal tahun 2018 di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Oleh: Ronny Hisage*
Wamena, nokenwene.com – Pemerintah dan sebagian masyarakat kristiani di Wamena mungkin bangga akan hadirnya sebuah simmbol yang begitu megah dan tentunya menelan anggaran miliaran rupiah itu.
Namanya tugu Salib, atau lebih lengkapnya taman dan menara Salib Wio Silimo Wamena, yang menjulang tinggi persis di depan kantor Bupati Kabupaten Jayawijaya. Kebanggaan warga beragama di Wamena lainnya adalah, larangan aktivitas perekonomian pada hari-hari besar keagamaan, termasuk di dalamnya larangan setiap hari minggu.
Dari dua poin diatas (Tugu dan larangan hari besar), warga kristiani mendapatkan porsi lebih, selain tugu mega itu, setiap hari minggu semua aktivitas perekonomian di kota ini tutup, meski dikota ini ada juga agama yang punya hari ibadahnya, jumat, Sabtu dan mungkin ada yang punya hari yang lain lagi.
Alasan paling dekat tentunya adalah mayoroitas dan minoritas, jika tujuannya yang minoritas hargai mayoritas okelah kita maklumi itu meski sebenarnya tidak harus demikian.
Pembatasan aktivitas perekonomian pada hari minggu, menara megah dan mayoritas, mungkin 3 hal ini yang kita banggakan saat ini, merasa diri paling kuat, paling dihargai, paling nomor satu, dan paling-paling lainnya.
Tapi sayang, kebanggaan kita hanya pada sebatas simbol. Itu saja. isinya tidak ada. Mengapa? Tentu ada alasannya.
Hari ini masih diawal bulan januari, masi terasa tahun baru, Kita baru saja melewati bulan Natal 2018, bulan kelahiran Yesus Kristus yang simbol –simbolnya kita banggakan tadi. Tapi saya sebagai warga kota Wamena muak dengan bulan desember kemarin, bulan yang seharusnya penuh dengan suka cita, puji-pujian dan kedamaian. tapi tidak. bulan itu adalah bulan pesta pora, mabuk-mabukan minuman beralkohol atau minuman keras (miras), mulai dari tanggal 1 – 31 desember 2018, satu kabupaten ini penuh dengan orang mabuk minuman keras, dalam kota /di luar kota sama saja, tiada hari tanpa orang mabuk miras, bahkan sampai tanggal 25 Desember, saya temukan beberapa orang tiduran dekat pasar lantaran miras semalam.
Tentu ini sangat Kontras dengan symbol-simbol keagmaan itu. Beberapa postingan di facebook , warga Wamena mengeluh dengan maraknya orag mabuk dan palang-palang jalan minta uang., sebagian lagi mabuk-mabukan di pondok natal yang dibuatnya sendiri.
Memang urusan manusia dengan Tuhan itu sangat pribadi, tapi ini makin marak dan jumlahnya makin banyak yang harus diseriusi bersama, apalagi menggagu orang lain dan kepentingan umum.
Sebenarnya ini efek lain dari pencairan dana Desa di awal Desember, pesannya ini uang natal, padahal dana desa tidak ada alokasi uang natal. Tapi begitulah biasanya. Mau raskin, mau dana desa sama saja. Kalaupun uang natal, masa pake mabuk miras? Soal ini punya kompleksitas tersendiri.
Puncak dari semua kelakuan tak terpuji tersebut, tindakan paling keji dan kejam hingga menelan korban nyawa pun tak terhindarkan di bulan natal kemarin. Adalah aksi penjambretan sampai dengan menghilangkan nyawa korban. Mirinya itu terjadi 3 hari setelah perayaan kelahiran 25 Desember. Pada tanggal 28 Desember 2018 di Jl. SD Percobaan Wamena (depan gereja Efata). Pelakunya makin keji, korbannya seorang ibu pendeta, nayawanya dihilangkan seketika, di depan gereja pula.
“Kelakuan yang makin kontras dengan simbol-simbol tadi”
Pesan bertajuk izin melaporkan segerah beredar luas lengkap dengan kronologi serta menyebut asal usul suku korban dan dugaan pelakunya .
“pesan semacam ini biasanya berdedar dengan cepat jika korbannya non OAP dan atau jika cirri-ciri pelakunya menjurus ke suku Papua, izin melaporkan berseliwaran di Watshap Group dan sosmed lainnya” .
FKUB, PGGJ dan perwakilan suku korban protes keras kepada polisi, menuntut pelaku segerah ditangkap dan dihukum, (dan kabarnya pelaku suda ditangkap)
Selang beberapa hari setelah penjambretan dengan kekerasan hingga pembunuhan itu, jelang pergantian tahun 2018 – 2019 sesosok mayat perempuan Papua ditemukan di tanah longsor Wamena, sekitar distrik Asolokobal. Sialnya yang ini kurang mendapat tempat di media public. Tidak ada atensi izin melaporkan “mungkin karna korbannya OAP”.
Sebelumnya, pada 17 Desember 2018 sekitar pukul 19:00 di pertigaan jalan Wouma – Welesi saya menyaksikan juga , seorang ibu dijambret, ketika hendak mengenndarai motor tasnya dirampas para penjambret, pelaku OTK, ibu itu jatu dari motor, tasnya hilang dibawa kabur pelaku yang juga mengendarai motor.
Kembali ke focus, simbol menara mega, mayoritas dan libur hari minggu, ketiganya diterapkan tentunya menunjukan kekristenan, bahwa di Wamena Kabupaten Jayawijaya itu mayoritas Kristen, sebagian dari kita tentu bangga dengan itu. Tapi jika kita tengok kebelakang, melihat apa yang terjadi di bulan Natal, Desember 2018 kemarin, sama sekali tidak menunjukan kekristenan itu.
Dalam agama apapun tidak diajarakan mabuk-mabukan miras, buat kacau, palang jalan tagi uang, apalagi pencurian dengan kekerasan, bahkan sampai membunuh. Ajaran yang paling fundamental dari kekritenann adalah Kasih. Apapun bunyi fiman Tuhan, menurut hemat saya, sebenarna semua bermuara pada kasih, termasuk 10 perintah Allah yang terbagi dalam hukum vertical dan horizontal (termasuk juga jangan membunuh) .
Tapi semua itu terjadi di negeri yang katanya mayoritas yang banyak simbolnya ini. Lebih parah lagi aksi-aksi itu intensitasnya meningkat drastic di bulan desember bulan suci perayaan natal.
Dengan demikian, apakah kita masih bangga dengan simbol-simbol kekristenan? Entahlah. Tapi sesungguhnya ,Natal tahun 2018 itu banyak orang non Kristen di Wamena tertawa kita. Kenapa? Karena banyak yang tidur di jalan, kekacauan dimana-mana, pembunuhan seorang pendeta di depan gereja. Kontras antara symbol dan realita kehiidupan manusianya makin nyata. Apalagi harapan Kota DANI (Damai, Aman, Nyaman dan Indah) makin sulit dicapai.
Pemerintah berhasil bangun simbol yang megah dengan miliaran rupiah, dengan kekuasaannya berhasil membuat aturan dan larangan atas nama agama, tapi sayang, watak dan kelakuan manusianya tidak dibangun sama sekali. Manusia semakin terpuruk dengan pengaruh negatif dunia. Generasi Jayawijaya makin terpesona dengan rayuan minuman keras yang pengaruhnya jauh lebih kencang, pada akhirnya’ kekacauan dimana-mana di kota ini tak terhindarkan.
Potret kontras lainnya, di bawa menara Salib yang baru saja dibangun (belum rampung itu) coretan tinta, pilox mulai beraksi, tercoret coret, ludah pinang berhamburan di bawa kaki tuguh Salib. Bahkan ada kabar “para pemuda pesta mabuk miras” disana. Sungguh semakin memalukan.
Kita tahu bersama Moto Jayawijaya: Yogotak Hubuluk Motok Hanorogo yang artinya hari esok harus lebih baik dari hari ini. Sedangkan kota Wamena ini dijuluki kota DANI (Damai Aman Nyaman dan Indah).
Berbicara soal moto : hari esok harus lebih baik; hari ini adalah hari esok yang kita sebut sepuluh tahun atau dua puluh tahun lalu itu, tapi realitanya hari ini? Anda saksikan sendirilah.
Sedangkan Wamena Kota DANI? Yang ini kontrasnya makin mencolok, damai aman nyaman dan indah, semuanya makin mahal di kota Wamena.
Akankah simbol – simbol megah dan larangan /aturan atas nama agama itu menyadarkan kita?. Entahlah?
Discussion about this post