Hari ini, Senin 10 September 2018, saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu dalam penerbangan dari Wamena ke Dekai. Kami terbang dengan pesawat Trigana jenis ATR. Setelah memasang sabuk pengaman, saya mengamati kursi-kursi kosong. Mata saya langsung tertuju pada noken di paha ibu tersebut. Ada barang yang dibungkus rapi. Awalnya saya mengira itu serat kulit kayu untuk dirajut menjadi ebe suu atau noken asli dari serat kulit kayu.
“Ini daun gatal” kata ibu tersebut melihat saya yang terus memelototi bungkusan dalam nokennya.
“Oh saya pikir itu kulit kayu untuk noken, nagosa (Balim: mama)“, balas saya.
“Tidak, ini obat kalau kecapean. Saya bawa dari Ninia” jelasnya.
“Ya saya juga biasa pakai daun gatal. Saya ada tanam dua pohon di sekitar rumah”, sambung saya.
Kami pun mulai diam ketika pesawat mulai meninggalkan area parkir pesawat menuju landasan terbang. Pramugari mulai menjelaskan tentang penggunaan alat-alat bantu keselamatan dalam keadaan darurat. Dengan lincahnya sang pramugari memperagakan penggunaan alat-alat tersebut mengikuti instruksi yang disampaikan pramugari lainnya dari bagian belakang badan pesawat. Sebelum sampai di ujung landasan, sang pramugari tuntas menyelesaikan tugasnya dan segera duduk di posisinya sambil mengenakan sabuk pengaman.
Pesawat mulai bergerak. Lama-lama makin cepat dan terasa roda pesawat tidak lagi bersentuhan dengan aspal landasan bandara Wamena.
Cuaca cukup cerah pagi itu. Pesawat mulai terbang. Penumpang mulai gelisah. Beberapa penumpang mengucapkan nama Tuhan secara spontan dan keras ketika pesawat terasa goyang. Beberapa penumpang berupaya melihat keluar melalui jendela. Tak terlihat ada awan. Kota Wamena masih jelas terlihat. Mobil-mobil di jalanan kota Wamena pun masih tampak jelas.
Namun kecemasan terus meningkat di wajah para penumpang seiring makin kerasnya pesawat berguncang. Sementara suara mesin kiri pesawat tidak seperti bunyi mesin bagian kanannya.
“Tadi dari Ninia awan tebal. Pesawat tidak terbang terlalu tinggi. Saya takut sekali karena pesawat goyang terus. Semoga ini tidak lagi goyang”, mama tadi kembali membuka percakapan.
“Oh mama tadi baru dari Ninia. Asli dari Ninia k?” tanya saya.
“Ya saya orang Ninia tapi sudah lama di Dekai. Kemarin ke Ninia karena ada duka. Tapi kasihan Empat orang saudara kami tadi tidak bisa terbang karena harga tiket mahal sementara kami hanya punya Enam Juta. Mereka yang jual tiket ini terlalu sekali. Makan untung terlalu banyak”, keluh mama RB yang tak ingin namanya dipublikasikan.
“Mama dapat tiket dengan harga berapa ka?”, tanya saya penasaran.
“Tadi kami dua dengan saudara di belakang bayar Dua Juta Dua Ratus Ribu. Padahal setahu saya harga normalnya Tuju Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah tiap orang”.
“Oh masih ada calo? Saya kira sudah tidak ada lagi calo tiket”, ungkap saya keheranan.
Sebelumnya memang ramai calo tiket di Wamena. Saya sendiri pernah harus terpaksa membeli tiket dengan harga dua kali lipat dari seharusnya. Dalam kondisi ramai, tiket keluar masuk Wamena seringkali habis baik di tempat penjualan tiket resmi maskapai maupun yang online. Namun tak jarang tidak semua kursi dalam pesawat terisi.
“Masih banyak anak. Tadi banyak yang datang tawar ke kami. Sebelumnya pada bulan Desember lalu saya juga beli tiket di Calo. Harganya dua juta rupiah. Tapi karena dalam kondisi terdesak mau tidak mau beli saja”.
Tiket pesawat dari Wamena ke Dekai atau sebaliknya baru saja naik bulan April 2018 lalu. Sebelumnya Pemda Yahukimo memberi subsidi sehingga harga tiket hanya Empat Ratus Lima Puluh Ribu. Sekarang tiket ke Dekai naik menjadi Rp 750.000.
“Coba mereka naikan cukup tambah Rp 50.000 kita bisa mengerti. Mereka juga butuh makan. Tapi ini sudah keterlaluan. Mereka untung terlalu besar. Tapi saya juga heran kenapa maskapai bisa biarkan ini terus terjadi”, keluh mama RB sambil menunjukkan tiketnya dan boarding Pass.
Pada tiketnya tertulis dua nama. Semuanya laki-laki. Satu nama benar atas nama penumpang yang duduk tepat di belakang mama RB. Sementara satunya lagi yang digunakan mama RB tertulis nama laki-laki atas nama Helewaren S. Mr. Sementara harga tiket untuk dua penumpang itu tertulis jelas pada tiket yang ditunjukkan mama RB. Total biayanya Satu Juta Tiga Ratus sekian.
“Bagaimana mama bisa masuk pesawat kalau di tiket dan boarding pass tertulis jelas nama orang lain dan juga jenis kelamin laki-laki”, tanya saya keheranan.
“Saya terima bersih saja. Mereka yang check in dan saya tinggal masuk ke pesawat saja” jelas Mama RB.
Saya kembali teringat bulan April lalu saya mengalami hal serupa. Saya terpaksa membeli tiket di Calo karena tak ada tiket lagi baik di loket resmi Trigana maupun di aplikasi penjualan tiket online. Saya mencari tiket empat hari sebelum keberangkatan dari Wamena ke Jayapura. Setelah lama berjuang, saya akhirnya terpaksa membeli tiket di Calo dengan harga Rp 1.200.000. Biasanya harga tiket Wamena Jayapura sekitar Rp 650.000.
Sehari sebelum berangkat, saya terpaksa mencari tiket di para Calo yang banyak berkeliaran di Bandara Wamena. Seorang calo menawarkan tiketnya dan meminta saya meminjamkan KTP. Kami janjian akan bertemu lagi di bandara dua jam sebelum terbang. Saat bertemu, sang Calo menyerahkan boarding pass bersama dua KTP. Awalnya saya bingung. Saya berpikir mungkin satu KTP yang diserahkan itu terselip. Ketika melihat nama pada boarding Pass, saya terkejut karena namanya persis seperti pada KTP tersebut. Saya semakin terkejut ketika lebih teliti melihat KTP tersebut. Selain nama, semua yang ada pada KTP tersebut sama persis dengan KTP asli saya.
Sambil memasuki pesawat, saya tak habis pikir kenapa para calo tiket di Wamena lebih cepat membuat KTP baru (palsu) dibandingkan dinas kependudukan. Kurang dari sehari, KTP baru sudah jadi, rapi dan sudah dilaminating pula.
Kami pun mendarat dengan aman di Dekai. Udara panas menyambut kami di pintu keluar pesawat. Dinginnya Wamena sudah jauh tertinggal, hanya penasaran akan sistem percaloan yang masih memenuhi pikiran. Saya pun teringat kalau para calo tiket di Wamena pun bisa bermain untuk tiket pesawat Herkules milik TNI seperti pernah diberitakan nokenwene.com.
Kalau pesawat milik TNI saja para calo bisa bermain, apalagi untuk pesawat swasta. Ah semoga ada pihak yang bisa menertibkan hal ini. Mungkin kita butuh sejenis Petapa (Penjaga Tanah Papua) untuk mengurus hal ini seperti romansa keamanan kota Wamena ketika Petapa masih aktif mengurus keamanan masyarakat dari miras dan orang mabuk karena tak mungkin aparat negara ini tak tahu ada percaloan. Sudah terlalu banyak keluhan serupa yang disampaikan dan terlalu banyak aparat negara di bandara untuk tidak tahu adanya percaloan tiket itu.
EG
Discussion about this post