
Beberapa hari lagi, pilkada serentak akan dilangsungkan di seluruh Indonesia. Total ada 171 daerah yang akan melangsungkan Pilkada tahun 2018 ini. 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten.
Di Papua sendiri ada Pilgub Provinsi Papua dan Pilkada di 7 kabupaten yaitu Deiyai, Paniai, Puncak, Mimika, Mamberamo Tengah, Biak Numfor dan Jayawijaya.
Pilkada menjadi salah satu kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi di negara ini. Harapannya, pilkada di berbagai daerah di Indonesia dan khususnya Papua bisa dijalankan dengan baik dan aman serta berkualitas. Dengan itu pemimpin yang dipilih pun adalah pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan bagi masyarakat.
Sayangnya, proses demokrasi di Indonesia ini tidak ada jaminan akan memunculkan pemimpin yang berkualitas tanpa adanya penggunaan isu atau proses yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Di Jakarta sekalipun, pilkada kali lalu diselenggarakan dengan proses yang menghancurkan demokrasi. Penggunaan isu SARA masih berlangsung di pusat Negara ini. Ayat suci, surga dan mayat menjadi jualan untuk menentukan pemimpin lima tahun ke depan.
Selain itu, demokrasi di Indonesia susungguhnya tanpa didasarkan pada ideologi yang kuat. Partai-partai politik yang mestinya menjadi pelopor berjalannya demokrasi yang berkualitas malah berdiri di atas dasar yang rapuh. Koalisi tanpa mempertimbangkan dasar ideologi partai dengan mudahnya terbentuk. Secara nasional, koalisi partai politik berbeda dengan di daerah. Koalisi di satu daerah pun berbeda dengan daerah lain.
Meski secara nasional, partai politik bukan hanya saling bertentangan tetapi hingga bermusuhan, di satu daerah akan menjadi teman akrab. Meski di level propinsi bermusuhan, di level kabupaten dalam wilayah provinsi tersebut akan kembali berangkulan.
Bayangkan saja di Provinsi Papua pasangan Jhon Wempi Wetipo dan atau paket Josua didukung oleh partai yang saling bermusuhan untuk level nasional yaitu PDIP dan Gerindra. Bagaimanakah pembicaraan yang dilakukan jika Josua ke Jakarta untuk bertemu pimpinan partai? Siapakah yang akan ditemui apakah Megawati atau Prabowo atau keduanya dalam kesempatan yang sama?
Apakah demikian seharusnya demokrasi berjalan?
“Dalam politik, tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.” Demian kalimat yang sering kita dengar untuk menggambarkan kondisi demokrasi kita. Ini adalah upaya pembenaran atas kebobrokan demokrasi yang malah dipelihara dan dilakukan oleh partai politik yang mesti menjadi ujung tombak demokrasi.
Pertanyaan kita adalah kepentingan siapakah yang sedang diperjuangkan oleh politik tanpa ideologi yang jelas itu?
Dalam setiap Kampanye, masyarakat miskin menjadi bahan kampanye yang menunjukkan keprihatinan dan keberpihakan para calon pemimpin dan partai politiknya. Namun menjadi suatu rahasia bersama bahwa mereka sendiri akan segera melupakan janji-janji dan keprihatinan serta keberpihakan itu. Masyarakat pun akan segera lupa dan hanya akan saling nyinyir di media sosial antara pendukung pasangan yang menang dan yang kalah. Para pemimpin terpilih bahkan tak peduli dengan konflik antara para pendukung itu.
Maka akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa demokrasi kita memang suatu demokrasi yang berasal dari rakyat, oleh yakyat dan untuk rakyat. Kepentingan yang diperjuangkan bukanlah kepentingan rakyat tetapi kepentingan elit politik. Meski kita sering membanggakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang besar, namun harus kita akui bahwa demokrasi hanyalah kedok untuk menutupi kebobrokan yang sesungguhnya beranak Pinak dalam negara ini.
Di Papua, demokrasi pun lebih buruk lagi. Kebebasan berkumpul dan berekspresi yang dijamin konstitusi adalah barang mahal. Kebebasan pers masih menjadi mimpi. Pilkada pun hanyalah sedikit hiburan yang menyakitkan masyarakatnya. Proses pencalonan di berbagai daerah di Papua bermasalah. Pihak-pihak yang mestinya berada pada posisi netral malah kelihatan sangat jelas mendukung calon tertentu. Sementara hak untuk dipilih digugurkan hanya karena soal prosedural sederhana namun hal substansial dihancurkan.
Masyarakat pun dihadapkan pada pilihan yang terbatas atau dibatasi. Politik uang mulai dari proses pendaftaran calon di partai politik hingga saat proses kampanye menjadi pengetahuan bersama. Ancaman ditebar oleh para calon yang masih memerintah saat ini terhadap bawahannya baik kepala dinas, camat hingga kepala kampung.
Meski diliput media, apakah KPU atau Panwaslu peduli?
Konflik horizontal pun semakin tampak. Korban sudah berjatuhan. Namun hukum tak pernah berfungsi dengan baik. Meski selalu masuk daftar wilayah rawan konflik, percikan api konflik terus dibiarkan. Proses hukum tidak dilakukan. Yang ada hanyalah penambahan pasukan. Atau memang konflik pun dipelihara dalam negara demokrasi dan negara hukum ini?
Kalau konflik terus dibiarkan dan hukum masih ompong, masih layakkah kita merayakan pilkada sebagai pesta demokrasi?
Ingat tak ada kawan dan musuh abadi, yang abadi hanyalah kepentingan dan itu bukanlah kepentingan rakyat kecil. Maka siapakah yang berkepentingan dalam konflik dan daftar rawan konflik?
Selamat memilih pemimpin atau kotak kosong, semoga tak ada konflik agar tidak menjamin abadinya kepentingan mereka yang senang memelihara konflik dan membiarkan hukum jadi ompong.
Discussion about this post