Oleh: Ronny Hisage
“Sebenanya sejak tahun 2015 lalu saya buat tulisan ini tapi saya tidak publikasihkan, simpan sebagai catatan pribadi, tapi setelah dipikir-pikir tidak ada gunanya kalao hanya disimpan, saya kemudian memutuskan untuk dipublikasih siapa tahu bermanfaat bagi pembaca. Bertepatan juga, lagi rame-ramehnya orang protes goyang patola dengan alasan merusak moral”.
Selain goyang patola yang kini banyak diprotes sejumlah pihak di Papua dengan alasan merusak moral anak Papua, sesungguhnya perusak moral generasi Papua itu sejak lama ada di Papua, bahkan suda mengakar dikalangan anak muda hingga saat ini, namanya hiburan malam “diskotik” berikut uasannya.
Papua sekarang bukan lagi Papua yang dulu, Banyak sekali orang dari berbagai daerah di Nusantara dengan latar belakang suku, agama, social, budaya, dan kehidupan yang berbeda ada di tanah Papua. Keanekaragaman ini membawa dampak perubahan social,moral dan etika baik yang baik maupun yang buruk. Globalisasi dan perkembangan teknologi menyebabkan hiburan malam berkembang pesat di Tanah Papua. Hal ini terbukti dengan tidak dibutuhkannya ruangan seperti diskotik, kafe, atau tempat hiburan lainnya untuk memuaskan gaya hidup mereka yang dari hari ke hari semakin tidak sesuai dengan pola pikir ketimuran dan telah menyasar ke anak di bawah umur. Keadaan ini menyiratkan ke-hedonis-an dan berhubungan dengan berubahnya gaya hidup. Apa sebenarnya yang telah terjadi dan apa saja aktifitas yang mereka lakukan saat malam menjelang? hingga malam pun serasa siang hari?
Malam itu, Minggu, 11 Oktober 2015, sekitar Jam 11 malam, ketika saya hendak pulang dari kantor RRI Wamena,terdengar bunyi music dari arah pasar Wouma, sebelah selatan dari kantor tempat saya bekerja , RRI Wamena. Penasaran apa yang dilakukan disana karena musiknya bisa terdengar dari jarak jauh, curiga juga ada acara diskotik disana.
Saya pun memutuskan tidak jadi kerumah, mengarahkan Stir motor kearah Wouma dan menuju kesana, jaraknya sekitar 1 KM dari kantor saya. dalam perjalanan terlihat beberapa anak muda, laki-laki dan perempuan di beberapa titik, mereka berjalan berkelompok, ada sekitar 4 kelompok semua menuju arah wouma, dugaan saya pun makin kuat bahwa ada acara diskotik di Wouma. Saya dengar ada beberapa anak muda yang panggil saya ojek , saya cuek saja, perlahan terus bergeser kesana. Sesampainya di Perempatan pasar Misi seorang pemuda panggil saya Ojek, saya pun hentikan motor “om acara dimana ka?” Tanya pemuda tersebut. “Acara” istilah kawula muda wamena untuk menyebut diskotik. “antar saya ke acara itu, tapi kita cari Minuman dulu, bisa dapat balo atau CT (Cap Tikus dimana)” Lanjut Pemuda itu menanyakan beberapa jenis Minuman Lokan (Milo) di Wamena. Saya hanya bisa jawab satu permintaannya mengantarkan ke acara (diskotik) tempat bunyi musiik tadi.
Ternyata benar dugaan saya, bunyi music itu dari acara diskotik. Ia dilaksanakan di belakang pasar misi , persis dipinggir kali Uwe dekat jembatan Wouma. makin mendekat, disana ada banyak pemuda dan pemudi bahkan anak-anak usia Sekolah Dasar dan SMP, mereka bersenang riah menikmati setiap irama lagu yang diputarkan sang Opretor. Lagunya macam-macam, ada lagu Papua irama joget, lagu PNG, ada juga lagu dari Indonesia wilayah barat hingga lagu-lagu asing. Iramapun macam-macam ada Regae, wayase, lagu, aster, Musik Slow, hingga dangdutan. Irama music makin kencang para pemuda-pemudi dan anak-anak yang joget pun makin meriah hingga halaman rumah itu berabuh. Halaman tidak ada timbunan (tanah kosong) abu pun makin meluap dari kaki-kaki para penikmat joget malam itu “kali uwe tidak jual satu orang timbah air dulu, kita siram supaya abu kurang” kata seorang pemuda tuan acara, sambil pegang ember. Halaman itupun disiram air. Sang opreter melanjutkan pemutaran lagu, diputarlah lagu Cita Citata “Sakitnya tu disini” spontan semua yang dilapangan berdisko, mereka bahkan serentak ikut menyanyikan lirik lagu Cita Citata secara serentak “sakitnya tu disini di dalam hatiku” anak-anak usia SD, Pemuda, Pemudi semuanya ikut nyanyi hingga suara Speaker ditutupi suara para penikmat disko. Saking nikmat dan meriahnya, sesekali ada yang teriakan mintah laguhnya diputar ulang. Lampuh yang dipasang hanya menerangi mereka yang di bagian depan, dekat operator, jarak 3-5 meter kebelang gelap karena terpele, sehingga orang terlihat makin menumpuk dibagian tempat gelap. Malam makin larut, music makin ragam orang diacara itu makin banyak, halaman rumah berukuran ± 15 X 20 meter itu terpenuhi para penikmat diskotik, Kebanyakan terkumpul di tempat gelap. Ada yang suda dalam keadaan mabuk minuman beralcohol, jalannya suda tidak tenang.
Selama ditempat itu, saya penasaran acara apa sebenarnya hingga bisa ada diskotik, dan siapa tuan acaranya? Cek punya cek,…? Ternyata acaranya adalah pembayaran masalah atas kematian orang di Kabupaten Lanny Jaya. Orang tersebut keluarganya menuding meninggal atas keterlibatannya pada partai politik Golongan Karya (Golkar) sehingga keluarganya menuntut pembayaran ke pihak pengurus partai. Paulus Kogoya yang adalah anggota Dewan di Kabupaten Lanny Jaya dari partai Golkar dibebankan untuk harus bayar kematian tersebut. Paulus pun berssediah membayar. Pembayaran suda lunas berupa Wam (Babi). Pelunasan itulah yang disyukuri hingga pada malam diskotik.
Diselah lagu-lagu disko yang terus memenuhi kenginan berjoget para pengunjung, saya sempat berdikusi dengan salah satu Bapak. Namanya Marthen Kogoya. Ia seorang kepala Kampung Distrik Yiginua di Kabupaten Lanny Jaya “ini pa Paulus Kogoya Punya ruma, dia anggota Dewan di Lanny Jaya, dari partai golkar” Kata Marthen Kogoya
“oaring itu (yang meninggal) dia ambil partai golkar to, masuk caleg baru dia mati, jadi keluarganya bilang gaara-gara partai itu yang mati jadi dorang (keluarga korban) kasi hukum pa Paulus bayar. tadi dia (Paulus Kogoya) bayar selesai. Sisa 8 ekor tadi bakar batu (masakan tradisional pegunungan Papua) disini jadi sekarang doran (mereka) acara disko ini” ungkap Marthen Kogoya dengan dialeg Lanny.
Malam makin larut udara semakin dingin, tak terasa suda tiga jam saya ada ditempat itu, waktu di Handphone saya menunjukan Pukul 02:00. Saya pun berniat pulang. Hendak star motor, ada seorang gadis mendekati tempat saya parker motor. Dia terlihat lelah dan sangat hosa, mungkin juga haus, keringat membasahi bajunya karena habis joget lagu regae “aduh capek istrahat sdikit dulu. kaka bagi rokok k.” katanya kepada saya dengan nada memohon, sedikit ngos-ngosan. kasihlah sebatang rokok Sampoerna ke si gadis ini. Ternyata gadis ini putus SMP “suda keluar dari sekolah tahun kemarin (2014) dari SMP kelas 2 saya keluar. Tadi dengan teman-teman jadi kami kesini mau acara (disko)” jawabnya dengan nadata agak malu-malu. Kira-kira usianya 13 tahun. Tidak sempat Tanya banyak, nampaknya Ia suda curiga saya akan Tanya banyak. Ia lalu pamit kembali ke kumpulan orang-orang tempat disko itu. Namanya pun tak sempat saya kantongi. Pulnglah saya keruma.
Pengalaman malam itu mengingatkan pengalaman saya lainnya di tahun 2001, semasa saya masih dibangku SMP. Beberapa teman pemerempuan sekelas punya jalan cerita pernikhaannya berawal dari acara Diskotik. Kala itu pemuda di kampung Helaluwa menggelar acara Diskotik 3 malam berturut-turut. Acara ini dilaksanakan disalah satu ruangan di SD Inpres Minimo Kampung Helaluwa, ia terletak 5 KM dari Pusat kota Wamena. Malam pertama hingga malam ke tiga tak perna sepi dari para kawula muda penikmat diskotik, dari yang usia SD hingga yang suda berkeluarga. Aneka lagu diputar disana, kebanyakan lagu PNG versi rege ada juga lagu Indonesia irama slow, dandutan hingga yospan, juga wayase.
Irama Slow (disko polo) menjadi momen yang sangat dinanti-nantikan. Tanya kenapa?. Sesi ini diwajibkan jogetnya berpasangan antara laki-laki dan perempuan.bahkan ada yang berpelukan. Ketika sang opreter memutar lagu irama slow (biasanya lagu cinta), kaum muda laki-laki menuju kumpulan kaum muda perempuan, menawarkan untuk berjoget (disko polo) tidak pake pili-pilih, siapa saja wanita yang ada disitu ditawari, jika sih wanita bersediah, berjogetlah mereka. Terkadang tuan acara memberikan himbauan semacam ultimatum “cewek-cewek yang tidak mau ditarik (diajak untuk disko polo) lebih baik keluar saja dari ruangan ini”. Ditenga irama lagu slow cahaya lampu dikurangi. Lampunya dari petromax (Lampu Gas), sound sistemnya pake aki, lospeaker rakitan, semua serba manual, maklum dikampung, tapi jangan salah, acara diskonya macam diskotik perkotaan, orang Jakarta bilang dugem atau dunia gemerlap, lagu apapun bisa dijoget, apalagi lagu Slow. Ditengah cahaya lampu yang tidak terlalu terang pasangan laki-laki dan perempuan berpolo-poloan sampe rapat-rapat, ada yang suda dalam kedaan mabuk Milo, selain berjoget entah apa yang terjadi disana. Gelap tidak ada yang tahu “bisa jadi mereka ciuman” pikrku,.
Dari beberapa tempat di Papua yang saya perna lihat diskotik model begini hanya ada di Wamena, dikampung lagi. Banyak anak muda terutama mereka yang sedang menjalin hubungan pacaran atau sekedar PDKT sering memanfaatkan momen ini (disko polo) untuk bertukar cerita, bahkan sampai bikin rencana kabur diam-diam, tak jarang juga berujung pada pernikahan sebelum waktunya. Bisa juga ini salah satu pintu masuk penyebaran HIV/Aids yang kabarnya terus meningkat di Papua. Kenapa tidak? Tempatnya gelap, polo rapat-rapat dengan lawan jenis, ada juga yang suda mabuk Miras. Ada pepatah “kucing kalo lihat tulang tidak akan biarkan” orang tidak saling kenal juga bisa kenalan disini, janjian ketemu, masih baik kalao berujung pada pernikahan yang baik, tapi kalo hanya sekedar lampiaskan hasrat? Tentu tidak baik, dan memang banyak yang tidak baiknya dari diskotik ala Wamena yang satu ini.
Miris memang, Papua yang dikenal daerah paling tertinggal, terbelakang, terjauh, kehidupan masyarakat diperkampungan masih tradisonal, rumahnya masih beratapkan alang-alang, tapi diskotik yang biasanya ada di bar-bar atau tempat-tempat hiburan di kota besar, anak muda Wamena di kampung paling tahu, mau joget model apapun bisa, ditambah lagi miras yang terus merajalaleh di kampung-kampung sana.
Suda sering saya datangi acara diskotik dibeberapa kampung di Wamena, juga dibeberapa tempat di Papua dan luar Papua, ini sekaligus turuti nasehat seorang senior saya bahwa “sesekali sorang penulis/Jurnalis perlu tahu dunia luar supaya tidak kesulitan dalam menulis”. Ada benarnya juga nasehat itu. Dari sini bisa bandingkan acara diskotik serupa di daerah lain yang perna saya lihat, ternyata pengaruhnya dikampung lebih kuat dan banyak potensi negativenya. Anak-anak usia SD, yang seharunya dihindarkan, mulai tercemar dunia malam yang satu ini, mereka sangat menikmati setiap irama di acara itu, mulai isap rokok, makan pinang, ada yang Isap Aibon (lem perekat), hingga terjerumus ke minuman keras buatan lokal (milo), tahan mata sampe pagi, tak jarang, anak-anak usia sekolah di kampung yang putus sekolah gara-gara pengaruh kota yang ada di kampung. Sebagian Anak SMP dan SMA di Wamena juga tak luput dari pengaruh dugem yang satu ini. Pokoknya diskotik ala Wamena ini paling saran penyamun di Wamena, berbagai potensi negative ada di perkumpulan tersebut.
Singkat cerita, kembali ke pengalaman di tahun 2001 tadi. selepas acara diskotik 3 malam berturut-turut, beberapa hari kemudian, beberapa pemuda dan pemudi di kampung tersebut kabur (lari dengan laki-laki), dua pemudi diantarahnya teman sekelas saya di bangku SMP. Tiga malam berturut-turut menjadi momen bersejarah bagi mereka berdua dengan pasangannya masing-masing, karena dari sini pernikahan kedua teman saya berawal. Beruntung pelarian mereka bukan sekedar melampiaskan hasrat,melainkan nika benaran. sampe sekrang. Tapi tetap saja ada dampak buruknya, kedua teman saya tidak melanjutkan pendidikan alias putus SMP, padahal dua perempuan ini paling fokal di kelas, jadi pengurus Osis, hingga ketua kelas, kalao saja mereka menolak godaan kala itu, saya yakin hari ini mereka jadi perempuan hebat, punya kontribusi untuk pembangunan di pegunungan Papua. Apa bole buat nasi suda bubur, mereka pun jadi ibu ramah tangga. Hingga saat ini 2 teman perrempuan tadi suda punya anak 4 “jika kelak saya ceritakan kejadian 17 tahun silam itu, mungkin saya akan dibilang lambat sekali kao” Pikirku, Karena hingga tahun 2018 ini saya baru punya Satu Anak.
Tahun 1998 – 2005 menjadi tahun yang paling sering digelarnya acara yang namanya diskotik disekitaran kampung saya, banyak generasi muda produktif yang terancam masa depannya, dan hal itu nyata bahwa tidak sedikit yang putus sekolah akibat pergaulan bebas yang terus berkembang di kampung, beberapa rekan seumuran saya berahir hidupnya akibat miras yang tentunya berawal dari pergaulan bebas dimasa itu.
Saking banyaknya peminat acara diskotik ala wamena itu, bahkan dilaksanakan dengan sistem bayar karcis. Setiap pemuda/I yang bergabung jogged diwajibkan bayar karcis sebelum memasuki ruangan acara, ada yang jaga karcis di pintu masuk, tarifnya 1000 hingga 10.000 per orang. Kala itu acara ini bahkan dilaksanakan rutin seminggu-sekali dengan alasan cari dana untuk tujuan tertentu.
Bagaimana dengan kondisi sekarang di perkampungan, tentuh saja acara diskotik yang diminati banyak kalangan anak muda ini tetap ada, dan masih saja dilaksanakan.
Acara Nikah Adat juga dimeriahkan dengan Diskotik
Bagi masyarakat Wamena Acara pernikahan adalah upacara adat, tanda perkawainan antara laki-laki dan perempuan, dilaksanakan secara tradsional, banyak benda-benda adat akan disumbang berupa, noken, kapak batu, Wam (babi), dan lainnya, selepas ceremony pernikahan adat disiang hari, malam harinya biasanya diisi dengan uapaca adat lainnya yaitu “Etai ataua ewetai” (lagu tradisonal Wamena) yang dinyanyikan selepas upacara adat termasuk upacara pernikahan sebagai simbol kegembiraan. Tradisi etai ada jogetnya juga tapi tidak ada formasih, banyak gerekan spontan di acara etai ini, berlari bolak – balik sambil etai, ada juga berlari membentuk lingkaran dan ada juga joget di tempat, ini adalah upacara etai tradisional masyarakat lembah baliem wamena dan pegunungan Papua umumnya yang diwariskan sejak Moyang.
Tapi sayangnya, fakta hari ini berkata lain, tradisi ini mulai bergeser, cukup jauh, dan semakin menjauh, pengaruh globalisasi dan moderenisasi mulai merambah di perkampungan Wamena, pernikahan adat yang mestinya diisi dengan ritual adat mulai mengalami pergeseran ke pengaruh luar. Ia justru dirayakannya dengan diskotik. Sebagian upacara nika bagi anak-anak muda di wamena tidak lagi dirayakan dengan tradisi etai tadi, tapi dengan diskotik. Tentu saja kebutuhan untuk disko ala wamena ini tidak membutuhkan temapat dan peralatan yang mewah seperti café, bar dan tempat hiburan lainnya yang ada di kota-kota besar, tapi disini hanya membutuhkan aki/acu sebagai sumber power soun sistem, petromax/lampu gas, dan tenda. Hanya itu peralatannya. Mungkin ini juga menginspirasi Alm. Mr. Chiko menciptakan sebuah mob berjudul: Tenda Biru ”seorang bapak keluar dari ruma sejak beberapa hari lalu, ia berpestapora, mabuk dari hari ke hari, dari satu tempat ke tempat yang lain, tempat dimana orang menyelenggarakan acara diskotik. Tiba saatnya ia (masih dalam keadaan mabuk) pulang ke ruma, dari jauh Ia melihat rumahnya terpasang tenda biru. Hmmm… diruma tenda biru pasti diruma acara lagi…. Dengan hati gembira Ia mendekati ruma, banyak orang kumpul ditenda biri tadi… sesampainya dihalaman ruma ternyata tenda biru tadi bukan acara diskotik tapi anaknya Korina meninggal dunia,,,… ia pun langung memeluk anaknya dan menangis tapi tangisannya masih terbawa pengaruh lagu di acara disko, (lagunya Ray Peterson – corina-corina) Hihihi… korina-korina hihihi … bapak saying ko…” Ujar Alm. Mr. Chiko dalam Mob (sesungguhnya akan lebih cocok kalo Mr. Chiko yang ceritakan langsung dalam Mob)
“ternyata mereka suda siapkan alat-alat (sound sistem) dan tenda, jauh hari sebelumnya, setelah acara adat pas mulai gelap itu suda pasang tenda alat dan lampu acara disko sampe pagi, orang tua dorang di dapur dan di honai menyanyi ewe etai, anak-anak pemuda acara disko diluar sampe pagi” ujar Yudas Hisage, menceritakan acara disko atas pernikahan OW seorang Pemuda disala satu kampung di wamena, Kabupaten Jayawijaya. “semua pemuda yang datang ikut gabung di acara disko semua” katanya lagi.
Bagi sebagian kalangan anak muda, tradisi etai bukan zamannya lagi, wajar tidak tahu lagu tradisional Etai. mereka lebih menikmati acara diskotik, apalagi ada yang bisa polo rapat-rapat dengan lawan jenis. Aduh… Acara adat model apa ini..? pake disko polo segala…! Sebuah fenomena yang aneh tapi fakta berkata demikian. Pengaruh dunia luar sungguh sangat kuat dan semakin kuat di kampung. Ini tantangan pergeseran budaya. Banyak pernikahan anak-anak muda dikampung dirayakannya dengan Diskotik.
Berawal di Honelama Wamena.
Elimus Kosay, pegawai tua RRI Wamena, umurnya sekitar 50 tahun. Ternyata dia adalah orang yang termasuk penyelenggara acara diskotik pertama di wamena. Siang itu Kamis, 29 Oktober 2015, Elko – Sapaan akrab Elimus Kosay, menceritakan pengalamannya tentang diskotik pertama di wamena. Budaya barat yang satu ini berawal di kampung Honelama Wamena. ketika itu acara disko dilaksanakan setelah syukuran perpisahan anak-anak SD Honelama, sekitar tahun 1980 – an, “kita ini suda yang buat acara disko pertama di wamena. Waktu itu sekitar tahun 1980 – an. Saya lupa persisnya. Ada teman saya dia suda almarhum, waktu itu dia tamat SMA di Jayapura. Dia yang pertama tau disko dari jayapura jadi pertamakali dia ajak kita buat acara disko waktu itu acara perpisahan tamatan SD” Kata Elko.
Katanya, saat itu acara diskotik yang dilakukan tidak ada niatan yang lain selain sebagai hiburan ungkapan kebahagiaan atas keberhasilan dan mengisi waktu luang “hanya senang-senang saja, tidak seperti sekarang bawa lari perempuan, mabuk-mabukan bikin kacau, sampai baku bunuh begiini tidak ada dulu” ujar Elimus Kosay.
Diskotik terus ada di Wamena
Hingga saat ini diskotik sebuah kontak modernitas yang banyak diminati kalangan anak muda tersebut terus menyebar ke seantero kabupaten Jayawijaya hingga ke perkampungan yang bahkan masih sangat terpelosok daerahnya“sekarang dikampung sana sedikit-sedikit anak-anak maunya acara disko, saya bingung juga macam kita punya budaya saja, dorang bikin acara nikah atau ulang tahun saja malamnya acara disko baru mabuk-mabuk lagi itu bagimana e..?” Ungkap Benny Wetipo (49) Sembari membenarkan pernyataan Elimus Kosai.
Ada momen kebahagiaan akan berujung pada malam diskotik…….. ulang tahun, kelulusan, pernikahan ataupun keberhasilan dalam apapun, bahkan pndok natal sebagai tanda kelahiran Yesus Kristus juga ada diskotik disana, apa lagi malam penyambutan tahun baru. Semua serba diskotik.
Diskotik Ala Wamena Rawan Konflik
Keamanan dari diskotik yang dilakukan di perkampungan sana sangat tidak terjamin, rawan konflik, paling sering acara berujung konflik antar anak muda, penyababnya banyak, bisa cemburu, dendaman masa lalu, mabuk yang bikin kacau. Wajar karena selain daerah yang jauh dari jangkauan aparat keamanan tapi juga banyak pemuda yang datang dalam keadaan mabuk Alkhol, minuman lokal.
Discussion about this post