
Selain kemenangan Madrid yang menjadi sejarah baru dengan tiga gelar Champion beruntun yang menghebohkan, rencana aksi demo bela Salah adalah yang paling menghebohkan.
Hebohnya justeru karena aksi demo itu terjadi saat masih hangatnya peringatan 20 tahun reformasi, dan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat itu kian menjadi lucu-lucuan.
Aksi ini dilakukan sebagai tanggapan atas peristiwa yang terjadi di lapangan sepak bola yang jauh di Eropa sana. Tak satupun pemain asal Indonesia yang turut bermain atau menjadi pemain cadangan dalam laga tersebut. Namun sejumlah orang Indonesia merasa perlu melakukan aksi bela Mohamed Salah yang keluar lapangan lebih awal karena cedera bahu pasca kejadian bersama Sergio Ramos. Entah apa tujuannya yang jelas koordinator aksi mengungkapkan bahwa aksi ini didasarkan atas perasaan persaudaraan sesama umat. Sementara itu, para fans Liverpool yang tergabung dalam BIGREDS tidak terlibat dalam aksi ini.
Di Negara ini, aksi-aksi dengan tajuk “Bela” sedang menjamur. Basis aksinya adalah perasaan primordialisme. Aksi bela ini pun tidak hanya terkait dengan kejadian di tanah air tetapi menembus jarak yang bahkan sulit ditempu oleh para peserta aksi itu sendiri. Selain aksi Bela Salah, yang sudah sering kita dengarkan adalah aksi Bela Palestina.
Kalau aksi bela Salah menjadi lucu-lucuan saja oleh sebagian bangsa ini, aksi Bela Palestina menyangkut persoalan yang serius: tentang kemanusiaan. Akan tetapi kedua aksi itu tidak berbeda dari aspek basis atau alasan diadakannya aksi tersebut. Alasan primordial.
Meskipun Aksi Bela Palestina terkait dengan persoalan kemanusiaan, tetapi para peserta aksi melakukannya karena alasan primordial, SARA khususnya kesamaan agama. Meskipun di Palestina bukan hanya satu agama seperti para pelaku aksi, namun yang dilihat oleh para pelaku aksi adalah sesama saudaranya dalam satu agama sedang menjadi korban konflik Palestina dan Israel.
Hal ini jelas sekali ketika persoalan kemanusiaan di berbagai daerah di Indonesia tidak membuat para penyuka aksi “Bela-Bela” tersebut turun ke jalan menyerukan penyelesaian masalah HAM. Papua misalnya sudah puluhan tahun lamanya didera masalah kemanusiaan yang serius. Berbagai kasus pembunuhan masyarakat sipil terus terjadi bahkan hingga saat ini. Proses hukum terhadap para pelaku yang adalah aparat Negara ini tidak berjalan. Bahkan beberapa pelaku kejahatan kemanusiaan itu mendapat promosi jabatan atau kenaikan pangkat sebagai bonus atas tindakan pembunuhan yang dilakukannya.
Karena tidak merasa sebagai saudara dalam agama yang sama, kematian orang Papua sebagai korban pelanggaran HAM tidak melahirkan aksi-aksi serupa dengan aksi Bela Salah atau Bela Palestina yang jauh di sana.
Aksi-aksi ini wajar dalam konteks demokrasi. Para peserta aksi memanfaatkan ruang demokrasi yang ada pasca reformasi untuk menyampaikan pendapat secara bebas di muka umum. Namun, Indonesia pun sedang berhadapan dengan persoalan serius terkait dengan radikalisme hingga aksi-aksi terorisme. Gerakan berbasiskan alasan primordial seperti alasan agama dalam Negara demokrasi adalah petunjuk sekaligus aktus radikalisme itu sendiri. Jika terus dibiarkan berkembang, maka terorisme pun semakin menguat.
Negara ini dituntut untuk segera melawan gerakan radikal dan terorisme itu. Namun bagaimana kita bisa melawannya jika para pengambil kebijakan atau pun para wakil rakyat dan alat Negara sendiri adalah pemicu atau bahkan teroris itu sendiri yang senantiasa menakutkan bagi masyarakat?