Genap dua tahun sudah Robert Jitmau atau Rojit, sang pejuang pasar Mama-Mama Papua itu meninggal dunia setelah ditabrak di jalan Ring Road, Kelurahan Hamadi, Kota Jayapura 20 Mei 2016. Kejadian tabrakan itu terjadi saat advokasi Pasar Mama-Mama mencapai puncaknya dengan kesediaan pemerintah pusat membangun Pasar baru bagi-mama mama papua. Advokasi untuk membangun pasar yang layak itu berlangsung sangat lama. Belasan tahun lamanya hingga Presiden Jokowi melakukan peletakan batu pertama pembangunan Pasar Mama-Mama Papua di Jalan Percetaan pada 30 April 2016.
Dalam proses advokasi itu, ada banyak orang yang terlibat namun tidak semuanya bertahan sampai akhir. Banyak alasannya. Ada yang terpaksa beralih focus pada persoalan lain yang kian hari kian menumpuk khususnya persoalan pelanggaran HAM, ada juga yang karena berpindah tempat tetapi ada juga yang seperti kehabisan energy untuk tetap bertahan. Meski tidak aktif melakukan advokasi, umumnya para pejuang itu tetap mendukung proses advokasi yang dilakukan teman-teman lainnya seperti Rojit.
Berbeda dari yang lain, Rojit adalah satu nama yang sulit dilupakan Mama-Mama Pasar karena keteguhannya untuk bertahan membela mama-mama. Padahal tidak jarang ia pun mendapatkan omelan dari mama-mama. Kepergian Rojit sebelum pembangunan pasar tersebut rampung pun sempat mengkhawatirkan.
“Kami Khawatir proyek pembangunan pasar ini tak akan berjalan. Sebab taka da lagi Rojit yang secara sukarela terus membantu kami selama ini,” ungkap Yosina Aribauar, salah satu pedagang dan pengurus Solpap kepada Kompas.
Rojit tidak hanya berteori tetapi ia bergumul dengan persoalan yang ada dan terjun langsung bersama masyarakat. Ia bergumul bersama Mama-Mama Papua bukan untuk menjadi terkenal tetapi untuk menuntut keadilan. Jika ada sebagian orang yang berjuang bersama masyarakat hanya sebagai batu loncatan untuk mendapat suara menjadi politisi, tidak demikian dengan Rojit. Kurang lebih Sepuluh tahun, Rojit berjuang bersama Mama-Mama Papua dan tetap setia hingga akhir hayatnya.
Bagi Rojit, perjuangan itu bukan hanya sebatas menjadi penulis status di media social seperti kebanyakan anak muda saat ini, tetapi pergumulan langsung bersama masyarakat. Tidak heran jika setiap hari Rojit selalu berada bersama Mama-Mama Pasar.
“Perubahan tidak akan terjadi kalau aktivis di Papua banyak yang hanya menjadi aktivis Facebook” tulis Rojit pada laman Facebook-nya pada 13 Desember 2013.
Ketika masyarakat Papua mulai dininabobokan dengan sedikit bantuan, perjuangan untuk menyadarkan pentingnya menuntut keadilan menjadi keharusan. Karena itu mengorganisasi dan melakukan pendidikan kritis bagi masyarakat seperti yang dilakukan Rojit menjadi penting. Hal ini membuat masyarakat tidak mudah menerima begitu saja apa yang sedang terjadi. Seperti Rojit yang bersama Mama-Mama Papua tidak menerima begitu saja tawaran membangun pasar Mama-Mama di pinggiran kota dengan alasan keindahan atau tata ruang tetapi harus di tengah kota, demikian pun mestinya masyarakat Papua tidak mudah menerima tawaran manis yang sesungguhnya menyingkirkan masyarakat asli itu sendiri.
Rojit bahkan bahkan rela meninggalkan keagungan sebagai seorang dosen Hukum di Universitas Cenderawasih dan bergelut bersama mama-mama yang seringkali dilupakan. Rojit meninggalkan segala teori di ruang kelas dan terjun langsung menciptakan teori yang abadi yaitu pengabdian.
Ketika pengabdian kian menjadi barang langka karena mental instan dan pragmatis yang mempengaruhi manusia zaman ini, Rojit justeru menunjukkan pengabdian tanpa batas itu.
Namun pengabdiannya itu menjadi ancaman bagi banyak orang yang tidak suka dengan keadilan bagi rakyat Papua. Ketika Rojit menyuarakan tentang banyaknya perjudian di sekitar Pasar sementara Mama-Mama Papua karena bagi Rojit, ini adalah bentuk pemerasan dan penghancuran terhadap masyarakat Papua, Rojit mendapatkan SMS ancaman dari nomor yang tak dikenal.
Berbagai ancaman diterimanya dan akhirnya pada 20 Mei 2016 itu, Rojit pergi untuk selamanya. Entah ada hubungan antara ancaman-ancaman itu dengan kasus tabrakan, mestinya ada penyelidikan yang serius karena kematian Rojit sulit untuk dilihat sebagai kecelakaan.
Komnas HAM telah nyatakan bahwa kematian Rojit tidaklah sebatas kecelakaan lalu lintas. Namun tiga hari setelah kejadian atau tanggal 23 Mei 2016, pihak kepolisian dari Polres Jayapura Kota mengungkapkan bahwa Rojit meninggal akibat lakalantas dan tidak ada unsur kesengajaan dalam peristiwa tersebut.
“Tidak, tidak ada unsur kesengajaan dalam kasus ini. Kalau masyarakat atau keluarga bilang ini, itu, tidak benar,” Kata AKBP Jermias Rontini, Kapolres Jayapura Kota sebagaimana ditulis Antara 23 Mei 2016.
Ini adalah suatu kesimpulan yang tergesah-gesah dan tidak semestinya dilakukan oleh pihak kepolisian karena kesimpulan dalam setiap perkara hanya boleh diputuskan dalam suatu peradilan.
Padahal Melianus, salah seorang dari tiga rekan Rojit yang selamat saat kejadian mengungkapkan bahwa setelah Rojit ditabrak, dua orang keluar dari dalam mobil yang menabrak Rojit memukul Melianus di perut beberapa kali sebelum melarikan diri. Pemukulan setelah melakukan penabrakan mestinya menunjukkan bahwa kejadian tabrakan itu bukanlah sesuatu yang tidak sengaja.
Sementara itu, proses peradilan pun membuat keluarga dan mama-mama Papua membuat aksi di jalan untuk mencari keadilan. Keluarga menilai bahwa Dolfinus Saifan (31) yang menjadi tersangka bukanlah pelaku. Keluarga dan Mama-Mama Papua meminta pihak pengadilan untuk menghadirkan tiga saksi kunci yang namanya telah disebutkan selama persidangan demi suatu keadilan. Sayangnya pengadilan tidak peduli dengan permintaan Mama-mama Papua dan keluarga Rojit.
Kematian tak wajar Rojit menambah daftar panjang kematian tak wajar aktivis dan masyarakat Papua. Dalam sejarah Papua, ada banyak nama yang gugur secara tak wajar namun minim keadilan. Proses hukum, kalau tidak dilakukan sama sekali, tak jarang juga dijalankan dan hukuman bagi pelaku pun tidak memberikan keadilan bagi keluarga korban.
Theys Eluay misalnya ditemukan tak bernyawa setelah menghadiri undangan Koppasus. Proses hukum memutuskan beberapa orang dihukum penjara dan diberhentikan dari keanggotaan sebagai koppasus. Namun beberapa nama kemudian diketahui menduduki jabatan penting dalam militer.
Namun ketidakadilan yang terus dialami oleh masyarakat Papua tidak menyurutkan perjuangan rakyat Papua untuk kehidupan yang lebih baik bebas dari kekangan ketidakadilan. Banyak pemuda Papua yang lahir dengan semangat untuk berjuang. Semuanya dengan kesadaran bahwa berjuang menuntut keadilan di tanahnya sendiri itu penuh risiko baik ditangkap sewenang-wenang, disiksa pun dibunuh.
Kini setelah dua tahun kepergian Rojit, semangat pengabdiannya menjadi pelajaran berharga untuk generasi muda dan aktivis di Papua. Kesetiaan pada pengabdian menuntut keadilan adalah hal yang mesti menjiwai semua aktivis dan para pejuang di Papua. Bahwa tantangan selalu ada, semesta akan selalu pula memberikan jalan keluar bagi pembebasan masyarakat Papua dari ketidakadilan itu.
Melintasi dan melihat Pasar Mama-Mama Papua saat ini adalah suatu catatan sejarah tentang pentingnya kesetiaan pada perjuangan. Rojit telah memulainya. Mari semua yang lain meneruskannya sebab keadilan di tanah ini tidak akan datang dengan sendirinya tetapi dengan kesetiaan untuk memperjuangkannya.
*Flori
Discussion about this post