Aksi penyanderaan di Markas Brimob menandai suatu babak baru terorisme di Indonesia. Tidak main-main, para narapidana terorisme yang telah dilucuti segala kekuatannya dan dikerangkeng dalam jeruji besi pada pusat kekuatan Brimob malah melakukan aksi nekat hingga menyebabkan korban jiwa.
Peristiwa di Markas Brimob itu telah menjadi teror tersendiri bagi masyarakat. Sulit dibayangkan memang. Tepat di jantung kekuatan Brimob saja teroris masih bisa melakukan aksinya apalagi terhadap masyarakat kecil dan lemah.
Teroris memang tak kenal kata takut. Bunuh diri pun telah menjadi jalan yang sering dipakai. Apalagi untuk melawan dan membunuh meski nyawa sendiri adalah taruhannya. Nekat.
Selang beberapa hari kemudian, bom bunuh diri dilakukan di tiga Gereja sekaligus oleh sebuah keluarga. Besoknya bom bunuh diri kembali dilakukan. Ketakutan pun menjalar, mulai dari Markas Brimob dan berlanjut pada bom bunuh diri di Surabaya.
Meski tagar #KamiTidakTakut dan serupanya kembali bertaburan di media social sebagaimana biasanya pasca aksi terorisme, rasa takut itu tidak mungkin hilang. Membayangkan aksi teroris di markas Brimob saja sudah sulit untuk menghilangkan rasa takut. Sifat nekatnya teroris membuat siapa saja baik rakyat kecil maupun orang-orang dengan perlengkapan senjata tercanggih pun bisa jadi sasaran.
Tujuan terorisme salah satunya adalah menciptakan rasa takut. Karena itu, segenap warga dunia maya berupaya menyebarkan keberanian dengan tagar kami tidak takut. Ini cara untuk melawan tujuan teroris.
Sayangnya perlawanan terhadap terorisme seringkali hanya ketika ada aksi seperti bom bunuh diri. Setelahnya kita semua seperti melupakan kejadian itu dan para korbannya sementara para teroris kembali berburu calon anggotanya untuk aksi-aksi berikutnya. Kita bahkan seringkali diam atau tak peduli ketika siar kebencian atau mengkafirkan orang lain bahkan seruan membunuh dilakukan. Itu bahkan terjadi pada ruang-ruang publik, tempat-tempat ibadah hingga media-media besar.
Kita pun tidak jarang membiarkan aksi-aksi main hakim sendiri oleh kelompok-kelompok tertentu hingga aparat Negara sendiri. Bahkan kita turut membenarkan aksi-aksi main hakim sendiri itu, padahal kita semua tahu hanya hakim dalam proses pengadilan yang boleh mengadili bukan presiden, gubernur, bupati, tentara atau polisi dan kelompok masyarakat tertentu.
Terhadap para terduga, sekali lagi terduga teroris, kita akan dengan sangat cepat menyetujui jika aparat menembak mati (baca: menghakimi) para terduga teroris tersebut. Siapa saja bisa menjadi terduga teroris atas dasar laporan pihak tertentu atau hasil pengamatan yang keliru.
Bayangkan saja jika Anda seorang introvert dan Anda lebih sibuk dengan dunia Anda sendiri dan hanya bergaul dengan orang-orang terdekat Anda, lalu tetangga Anda mencurigai dan melaporkannya kepada pihak berwajib karena Anda diduga sebagai teroris. Anda bisa saja dikepung lalu karena Anda terkejut terhadap situasi tersebut Anda melarikan diri dan akhirnya ditembak. Boleh saja seluruh dunia katakan jangan lari kalau Anda merasa tidak bersalah namun siapa bisa menduga kecemasan bisa membuat anda mengambil langkah seribu.
Itu berarti kita semua bisa saja menjadi terduga teroris karena hal-hal seperti itu. Bukankah itu adalah teror tersendiri bagi masyarakat?
Aksi main hakim sendiri entah siapa pun pelakunya adalah teror bagi masyarakat. Di Papua, teror jenis ini sudah menjadi lazim. Apalagi stigma sudah selalu mendahului menyelidikan. Dan banyak orang telah menjadi korban teror jenis ini dan jarang ada pelaku yang dihukum karena itu.
Melawan terorisme tidak cukup hanya dengan tagar #KamiTidakTakut pasca kejadian terorisme tetapi mesti menjadi keseharian dengan tidak pernah mentoleransi adanya siar kebencian hingga aksi main hakim sendiri.
Oleh: Flori
Discussion about this post