Bagian Pertama.

“Pelayanan mama-mama tadi luar biasa bagus.” Demikian komentar ibu Dhani setelah berbelanja di Pasar Mama-Mama Papua.
Sore itu, Kamis 17 Mei 2018, ketika matahari mulai menghilang meninggalkan langit yang kemerah-merahan, saya bersama ibu Dhani berjalan-jalan mencari ole-ole untuk dibawa ke Wamena. Kami memutuskan untuk belanja bunga pepaya dan ikan asar di Pasar Mama-Mama. Ini dua jenis barang yang sangat langka ditemukan di Wamena. Kalau pun ada, harganya sudah selangit.
Kira-kira pukul 18.00 WP, kami menyusuri trotoar dari arah hotel Fave menuju Pasar Mama-mama. Di berbagai tempat, sejumlah umat muslim baru saja berbuka puasa. Aroma sate kambing dari Warung Madura dekat Pasar Mama-Mama sangat kuat. Sementara dari balik kain yang menjadi dinding warung sejumlah orang asik menikmati makanannya. Sebagian lain terlihat tak sabar menanti pesanannya dibungkus untuk segera dibawa pulang.
Saya cukup tergoda untuk belok kanan dan mencoba menikmati sate kambing Madura. Namun, sedikit kekuatan membuat saya mampu menahan keinginan tersebut demi mencari ole-ole untuk dibawa pulang. Bersama ibu Dhani, saya terus melangkah hingga memasuki gerbang Pasar Mama-Mama.
Sejak resmi digunakan oleh Mama-Mama, ini untuk pertama kalinya saya berkesempatan untuk masuk dalam kompleks pasar dan berbelanja. Ketika masuk dalam kompleks pasar, saya kagum karena rapinya mama-mama berjualan di Pasar khusus Mama-Mama tersebut. Berbagai jenis buah ditata dengan sangat rapi. Demikian pun dengan sayur-sayurannya. Pada bagian kiri dari arah pintu masuk, barisan mama-mama dengan ikan asar ramai dikerubungi pembeli.
Pasar ini tidak seperti yang bisa dibayangkan kebanyakan orang. Jika pasar rakyat selalu dikenal sebagai tempat yang tak teratur dan berbau, tidak demikian dengan Pasar Mama-Mama Papua ini. Pengaturan tempat berjualan membuat pasar ini terlihat rapi dan hampir tidak ada aroma yang menggangu hidung kecuali aroma mangga yang tajam menggoda.
Ketika saya dan ibu Dhani lewat, beberapa mama dengan senyum lebar menunjukkan gigi-giginya yang kemerahan karena pinang menawarkan barang dagangannya. Saya mencoba mendekati seorang mama dengan setumpuk mangga di hadapannya. Harum mangganya menggoda.
“Anak, beli mangga. Ini masak di pohon.” Tawar sang mama sambal menunjukkan setumpuk buah mangga.
Ibu Dhani pun segera mengecek beberapa buah mangga. Untuk meyakinkan kami, mama tersebut segera menawarkan kami mencicipi buah mangga yang sudah disiapkan untuk dicoba oleh para pembeli.
Dengan sigap saya menerima pisau dari mama penjual buah tersebut dan mulai memotong sedikit daging buah mangga yang sudah dipotong sebagiannya.
Aromanya menyeruak. Tanda-tanda enaknya daging buah mangga sudah tampak dari harumnya.
Manisnya mangga tersebut membuat saya tidak sadar untuk terus mengiris daging buah mangga hingga tinggal biji yang tersisa.
Kami memutuskan membeli semua mangga yang tinggal 12 buah itu. Semuanya Enam Puluh Ribu Rupiah, harga yang pantas untuk sebuah kemanisan dan keramahan sekaligus.
“Mama dari Wamena ka? Itu baju Bahasa Wamena.” Tanya sang mama mengomentari tulisan di baju Ibu Dhani sambil memasukan mangga ke dalam kantong plastic.
“Hewe Degma” demikian tulisan pada bagian depan baju yang dikenakan ibu Dhani. Hewe Degma adalah sebuah frasa Bahasa Dani yang sering digunakan oleh anak muda di Wamena untuk menyemangati teman-teman. Hewe Degma secara harafiah berarti “Ko Tra Ada ka”. Secara sederhana Hewe Degma bisa dipahami sebagai ajakan untuk berpartisipasi dalam kegiatan bersama. Frasa itu sekaligus menjadi semacam pertanyaan yang menggugah orang lain untuk terlibat dan berpartisipasi untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Beberapa mama yang rupanya berasal dari Wamena pun berbalik mendengar kata Hewe Degma disebut. Rupanya beberapa penjuan buah-buahan itu berasal dari wilayah Pegunungan Tengah Papua.
“Nanas ini banyak di Wamena. Ini nanas Wamena tapi kami bawa bibitnya baru kami tanam di sini” ungkap seorang mama lainnya.
Setelah kami membayarnya, sang mama langsung menawarkan diri untuk menyimpan mangga tersebut jika kami masih ingin berbelanja.
Kami menitipkan mangga tersebut dan melanjutkan langkah mencari barang lain untuk dibawa sebagai ole-ole ke Wamena.
Sambil melangkah, saya mengingat betapa panjang perjuangan Mama-Mama Pasar bersama Solpap hingga mencapai kondisi seperti ini. Bukan hanya mengorbankan waktu yang panjang, atau menguras keringat namun perjuangan untuk memperoleh kelayakan seperti dalam pasar ini pun telah merenggut nyawa seorang pejuang yang gigih. Robert Jitmau atau sering dipanggil Rojit adalah nama yang tak akan mungkin dilupakan oleh Mama-Mama Pasar atau pun Solpap.
Rojit bertekun dan tabah memperjuangkan pasar yang layak bagi Mama-Mama. Rojit dan Solpap berjuang bagaimana mengorganisasi Mama-Mama Pasar dan bersama-sama melakukan advokasi. Dari keluhan dan harapan yang tercecer, Rojit dan Solpap membangun suatu kebersamaan bersama mama-mama untuk harapan akan pasar yang layak. Sayangnya, Rojit tidak sempat menikmati pasar baru ini. Namun Rojit akan selalu dikenang dan keteraturan, kebersihan dan ramahnya mama-mama pasar ini bagi saya adalah kenangan yang ditinggalkan Rojit untuk terus dipertahankan.
Oleh: Flori G
Discussion about this post