Menginjakkan kaki di Dekai, ibukota kabupaten Yahukimo, saya langsung berhadapan dengan jaringan telpon seluler yang buruk. Di Bandara Nop Goliat Dekai, tanda adanya jaringan di Handphone pun tidak muncul.
Lama setelah berada di bandara, sambil menunggu bagasi, indikator adanya jaringan baru muncul. Saya mengirim pesan via Whatsapp ke beberapa teman untuk mengabarkan bahwa saya telah tiba dengan selamat di Dekai. Whatsapp tak bergeming. Kucoba menggunakan SMS. Baru terkirim setelah beberapa kali percobaan.
“HP belum adaptasi tu” ungkap seorang teman yang menjemputku.
Saya teringat hampir dua tahun lalu seminggu setelah Presiden Jokowi datang di Dekai dan menetapkan BBM Satu Harga. Saat itu, jaringan lebih parah lagi. Butuh belasan hingga puluhan kali percobaan mengirim pesan baru terkirim. Saat itu, Dekai masih belum ada jaringan 3G hingga bulan Februari lalu. Alhasil di beberapa tempat yang menyediakan wifi penuh dengan masyarakat pengguna internet saat malam menjelang. Cahaya HP terlihat bersinar di mana-mana meski wajah para penggunanya gelap tak terlihat.
Bulan Februari lalu, beberapa teman Facebook dari Dekai menulis status tentang pemasangan jaringan 3G. Harapan untuk akses informasi yang lebih baik pun membuncah. Cukup lama masyarakat harus ke Warnet demi mengakses informasi atau untuk keperluan administrasi yang membutuhkan akses internet. Sejam di Dekai Net setiap orang mesti menguras sakunya sebesar Dua Puluh Ribu Rupiah. Jika tidak ingin mengeluarkan uang, maka harus rela berlama-lamaan di tempat-tempat yang menyediakan wifi gratis untuk sementara waktu.
Sebulan hampir berlalu, tulisan 3G yang muncul di layar telpon seluler seperti selalu memberi harapan lancar dan mudahnya komunikasi. Namun, harapan akhirnya pupus ketika kita mencoba mengakses informasi atau berkirim pesan melalui aplikasi yang membutuhkan internet. Seperti kemelut di depan gawang tanpa gol, tulisan 3G hanya memberikan hiburan penuh kegelisahan tanpa kegembiraan akhir. Kembali warnet-warnet seperti Dekai Net menjadi tumpuan terakhir.
Pikiran saya pun terbawa pada sebuah iklan. Seorang pilot pesawat perintis yang melayani wilayah-wilayah sulit di Papua dengan asiknya menggunakan gadgetnya menonton video. Kata-kata dalam iklan itu membuat haru para penonton. Berkat jaringan Telkomsel itu, ia bisa mengetahui kondisi di kampung-kampung sehingga bisa menerbangkan para petugas yang akan melayani di kampung-kampung tersebut.
Ketika menikmati harapan penuh kegelisahan ketika mengakses internet, saya makin penasaran di manakah sang pilot bisa mengakses video berkat jaringan Telkomsel itu. Sementara di kota Dekai saja, 3G hanya harapan tanpa kebahagiaan, iklan sang pilot menonton video itu seperti kebahagiaan dalam khayangan ketika apa yang tak mungkin menjadi mungkin.
Andai saja Telkomsel mau, dana yang dihabiskan untuk membuat iklan kebahagiaan di khayangan itu dipakai untuk memperkuat jaringan internet di tempat seperti Dekai ini, mungkin kebahagiaan itu tidak lagi perlu dimimpikan.
Discussion about this post